Tulisan ini mengandung spoiler.
Jangan lewatkan semua film Lucky Kuswandi, karena dari Madam X; Selamat Pagi, Malam; sampai Galih dan Ratna, dia tidak pernah gagal. Film terbarunya, Ali & Ratu Ratu Queens, yang baru saja dirilis di Netflix pada 17 Juni, juga tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Seperti film-film produksi Palari Films lainnya, ada yang unik dari film berlatar Amerika Serikat ini. Jika Posesif mengusung tema abusive relationship yang jarang dibahas di sinema Indonesia, sementara Aruna dan Lidahnya adalah sebuah penggambaran orang-orang urban kepala tiga yang hidupnya dipenuhi oleh pekerjaan dan sesekali cinta, maka Ali & Ratu Ratu Queens adalah coming-of-age story yang mendefinisikan ulang arti kata “keluarga”.
Premis Ali & Ratu Ratu Queens sederhana. Ali (Iqbaal Ramadhan) adalah remaja yang tidak mengenal ibunya. Sang ibu, Mia (Marissa Anita), meninggalkan ia sejak kecil bersama ayahnya demi mengejar mimpi di New York. Ketika ayahnya akhirnya meninggal dunia, Ali baru saja mengetahui, ibunya yang selama ini ia kira tidak peduli padanya, ternyata masih sempat memberikan surat-surat dan juga tiket pesawat yang tidak pernah sampai ke tangannya. Ali tentu saja kukuh bertemu ibunya. Keluarga besarnya jelas melarang. Mereka ingin Ali move on dengan hidupnya dan melupakan sosok ibu.
Namun, rasa kangen pada ibu tetap tersisa di hatinya, entah seasing apa pun sosok perempuan yang melahirkannya. Ali pun ngotot pergi ke New York dan mencari ibunya. Inilah yang bikin film ini menarik. Alih-alih cerita standar yang mengobral cerita dramatis pencarian anak akan ibunya, yang diakhiri reuni tak kalah menye-menye dan fantasi hidup bahagia selamanya, Ali & Ratu Ratu Queens mengambil jalur realistis. Bahwa, kadang kenyataan tidak seperti yang kita harapkan dan hidup bukan seperti di film. Dalam hal ini, Ali harus menerima kenyataan ibunya super egois.
Baca juga: 'Keluarga Cemara' dan Hilangnya Peluang Tampilkan Peran Setara Suami Istri
Mia dan Drama dengan Ibu Sendiri
Pengalaman Ali dan Mia—yang kemudian menjadi Mia Harrington mengingatkan saya pada ibu saya. Ketika kecil, sampai berusia 11 tahun, saya tinggal berdua saja dengan ibu. Ayah saya kerja di luar kota. Adik baru lahir ketika saya berusia 11 tahun, dan kakak saya tinggal berdua dengan nenek. Di atas kertas, seharusnya saya lebih dekat dengan ibu. Namun, tentu saja kenyataan tidak seindah lukisan Monet. Satu atap dengan ibu bukan berarti dia emotionally available.
Waktu kecil, ibu saya doyan main judi dadu (peserta judi menaruh uang di angka yang akan muncul dan dapat cuan kalau tebakannya tepat). Ini lumayan jadi trending topic di kampung saya yang kecil karena dia satu-satunya perempuan di area perjudian. Gatekeeper, girlboss, boss bitch lah kalau zaman sekarang.
Sebenarnya saya enggak masalah dia main judi walaupun saya jadi sasaran perundungan.
“Ibumu main judi lagi?” tanya penjual warung setiap kali saya beli mi instan.
Yang saya benci, ibu senang sekali keluar malam saat saya tidur untuk main judi. Saya sering terbangun di tengah malam dan auto-nangis karena sadar saya sendiri di rumah. Apalagi, belakang rumah saya ada pohon aren dan areal persawahan yang lumayan luas , sehingga cocok untuk jadi latar film Suzzana. Biasanya saya akan tertidur lagi karena lelah menangis.
Karena ini terjadi berulang kali, saya cerita ke nenek agar ia mau menegur anaknya. Dari kecil saya sudah tahu solusi mana yang terbaik dan mana yang cuma lip service. Solusi nenek saya adalah saya harus bilang ke ibu saya untuk setop pergi malam-malam main judi. Ingin sekali saya bilang, “Lah, aku masih enam tahun, bisa apa?”
Cerita ini hanya lah puncak dari gunung es dari drama dengan ibu yang membuat hubungan kami tak terlalu baik. Itulah sebabnya, menyaksikan adegan Mia meninggalkan Ali waktu kecil untuk mengejar mimpinya membuat saya langsung terngiang-ngiang masa kecil saya.
Baca juga: 5 Alasan Film ‘Ali dan Ratu-ratu Queens’ Layak Ditonton
Penggambaran Ibu di Ali & Ratu Ratu Queens
Ali & Ratu Ratu Queens bukan film kebanyakan yang dramanya hiperbolis. Ada drama, tapi bukan tempat jualan air mata, sebab intensitasnya masih ringan buat saya. Ia bisa saja meledak-ledak dan mencari simpati, tapi sutradaranya paham cara membuat letupan emosi jadi tetap minimalis. Kalau kamu kurang menemukan katarsis dalam penggambarannya, saya bisa mengerti, meskipun buat saya ini tetap tontonan segar.
Adegan Ali bertemu dengan ibunya untuk pertama kali, lengkap dengan adegan Mia menutup pintu di depan muka anaknya adalah jempolan. Saya bisa melihat Mia panik, rasa bersalah langsung menyerbunya, tapi dia tidak bisa menunjukkan itu semua ke orang-orang yang ada di rumahnya. Dia orang yang berbeda sekarang. Dia adalah seorang Mia Harrington. Sementara, Ali sendiri tidak bisa membuktikan orang ini ibunya, karena dia baru saja bertemu setelah sekian lama. Dalam adegan tersebut, saya paham kenapa Mia melakukan itu meskipun saya masih kesal padanya.
Saya memang tidak punya anak dan tidak tahu bagaimana rasanya punya anak. Namun, saya punya kucing, Rico, yang sudah saya anggap seperti anak dan tidak pernah saya tinggalkan lebih dari 20 jam. Saya selalu khawatir pada Rico. Ketika dia sakit, saya tidur enggak tenang. Kalau dia lesu sedikit saja, saya langsung cemas memikirkannya.
Baca juga: ‘Finding Agnes’: Upaya Anak Mencari Ibu yang Penyintas KDRT
Kalau punya kucing saja begitu meresahkan apalagi punya anak yang dari bayi sudah bonding dengan kita? Tapi Mia memutuskan untuk meninggalkan anaknya demi mengejar mimpinya.
Saya enggak bilang ibu dilarang mengejar mimpi atau memiliki cita-cita. Semua orang berhak punya mimpi dan mengejarnya. Namun menurut saya, sebagai anak yang merasakan bagaimana punya ibu yang emotionally unavailable, ketika seseorang menjadi orang tua, ada tanggung jawab yang lebih besar dari mimpimu.
“Ketika lo punya anak, hidup lo bukan cuman lo doang. Ada orang lain yang harus lo urusin.”
Memang agak susah untuk membenci Mia karena saya bisa mengerti kenapa dia melakukan hal-hal itu. Saya paham rasanya “terkungkung” karena tidak bisa melakukan apa yang saya mau. Dan sebenarnya, ayahnya Ali juga bertanggung jawab atas semua ini, sebab dalam hubungan, ada dua orang yang bertanggung jawab.
Kalau melihat latar belakang keluarganya Ali (yang sering kumpul untuk mengaji bersama, menyebut nama Tuhan ketika Ali bilang mau bertemu ibunya, yang memberi wejangan untuk enggak makan babi), sepertinya keluarga ayah Ali sangat konservatif. Sementara Mia adalah orang yang ingin bebas dan tidak memegang nilai-nilai tersebut. Saya juga tidak tahu bagaimana sejarah hubungan Mia dengan ayah Ali hingga memutuskan menikah. Ayah Ali sendiri juga egois karena menutup komunikasi ibu dan anaknya.
Terlepas dari itu semua, saya tetap ngotot menilai, Mia adalah ibu yang egois. Beruntung Ali lahir sebagai anak baik karena mungkin faktor didikan sang ayah. Maaf, mungkin saya terlalu memproyeksikan masalah saya sendiri. Tapi adil buat Ali untuk mengonfrontasi ibunya, karena ayahnya sudah meninggal. Percayalah, sulit berargumen dengan ayah yang sudah meninggal.
Seperti yang saya bilang di awal, yang saya suka dari film ini adalah pemaknaan baru arti keluarga. Keluarga enggak harus orang yang punya hubungan darah sama kamu. Keluarga bisa jadi empat ratu-ratu Queens yang langsung menerimamu dengan tangan terbuka bahkan tanpa tahu Kamu siapa, Kamu anak mana, Kamu punya apa.
Itulah kenapa film ini terasa menarik.
Ali & Ratu Ratu Queens dapat disaksikan di Netflix
Comments