Women Lead Pendidikan Seks
February 17, 2022

‘All of Us Are Dead’: Ketika Wabah Zombie Terjadi di Sekolah

‘All of Us Are Dead’ berkisah tentang wabah zombie yang TKP pertamanya adalah sekolah. Di sini, para zombie hadir sebagai manifestasi ketakutan para remaja.

by Tabayyun Pasinringi, Reporter
Culture // Screen Raves
Review All of Us are Dead
Share:

Sekolah tentunya bukan tempat paling aman ketika wabah zombie terjadi. Serial All of Us Are Dead membuktikan hal itu ketika dua belas teman sekelas pontang-panting membahayakan nyawa sendiri demi mencari ruang aman, di sekolah yang dibanjiri zombie pemakan daging manusia.

Berlatar di Hyosan–kota fiktif di Korea Selatan–seorang guru sains, Lee Byeong-chan (Kim Byung-chul)  menciptakan virus yang mengubah rasa takut menjadi amarah untuk anak laki-lakinya. Alih-alih membuat sang anak kuat dan perkasa untuk melawan perundung, anaknya malah berubah menjadi zombie haus darah.

Namun, penyebaran virus tidak dimulai anak itu. Seorang siswa tanpa sengaja masuk ke dalam lab sains di sekolah lalu terpapar virus tersebut. Neraka dunia pun lahir ketika siswa itu menggigit seorang guru dan dalam hitungan menit Hyosan menjadi the new Racoon City ala waralaba Resident Evil.

Saat semua siswa dan guru berlarian menyelamatkan diri dari zombie, karakter utama Lee Cheong-san (Yoon Chan-young) hanya memikirkan satu hal: bagaimana dia dan teman sekelas yang disukainya, Nam On-jo (Park Ji-hu) dapat keluar dari sekolah dan menerima pertolongan.

Sumber: IMDB

Baca juga: ‘Moxie’ dan Andai Saya Berani Melawan Sejak Dulu

Untungnya, Lee Cheong-san dan Nam On-jo menemukan teman sekelas lain yang juga bersembunyi dan ingin selamat dari situasi mencekam itu.

Walaupun serial Netflix ini fokus pada cerita survival, plotnya dibanjiri konflik cinta segitiga, penghianatan, dan persahabatan khas anak SMA. All of Us Are Dead bukan cuma kisah tentang zombie pemakan daging manusia. Tema besarnya adalah ketakutan para remaja: merasa tidak cukup, perasaan takut menjadi manusia gagal bahkan sebelum lulus sekolah, tidak memiliki teman, atau tidak mampu membuat pilihan adil untuk melawan perundung. Zombie-zombie itu tentu saja langsung mudah dibaca sebagai manifestasi dari ketakutan mereka.

All of Us Are Dead Terdapat Plot Holes dan Kisah yang Kurang Memuaskan

Cerita zombie sudah menjadi genre favorit industri film Korea Selatan setelah kesuksesan Train to Busan (2016), prekuelnya yang berbentuk animasi Seoul Station (2016), dan sekuel yang tidak terlalu sukses, Peninsula (2020).

Dalam format serial, Korea Selatan juga punya Kingdom yang berhasil meraup perhatian internasional. Jika dibandingkan Kingdom, All of Us Are Dead kalah dalam membangun suasana mencekam. Kingdom dengan premis zombie apocalypse di masa kerajaan Joseon, berhasil memberikan bayangan berbahayanya teror zombie tanpa bantuan senjata api era modern.

Keduanya membawa cerita yang berbeda. Akan tetapi, alur All of Us Are Dead terlalu lambat karena lebih banyak memasukkan adegan percakapan dan drama percintaan, ketimbang action yang memang membantu para survivor untuk selamat. Banyak suasana mencekam yang ingin dibangun tidak pernah sampai pada puncaknya dan gagal membawa ketakutan itu ke layar kaca. 

Tidak bisa dimungkiri, beberapa adegan percakapan All of Us Are Dead lumayan menyentuh hati, seperti beratnya kehilangan sahabat sejati atau pengorbanan tanpa pamrih seorang guru karena menjadi zombie. Namun, upaya membawa narasi reflektif bak seri horor Midnight Mass, berujung anti-klimaks karena dibangun terlalu lama.

Sumber: IMDB

Baca juga: ‘City of Joy’: Ubah Luka Korban Pemerkosaan Jadi Kekuatan

All of Us Are Dead sebenarnya punya banyak kesempatan membangun suasana mencekam. Misalnya, ketika Lee Cheong-san menghindari serangan zombie dengan memanjat rak buku di perpustakaan. Sayangnya, upaya itu gagal karena plot holes yang terasa kurang diperhatikan. Lee Cheong dkk yang sudah berlarian dan melawan zombie hampir dua hari dibuat kuat sekali tanpa perlu plot mencari makanan dan minuman. Hebatnya, tidak ada dari mereka yang sekarat karena dehidrasi.

Selain itu, All of Us Are Dead membuka terlalu banyak subplot yang sebetulnya tidak terlalu terkait, sehingga cerita kurang fokus dan tidak membawa konklusi yang memuaskan. Tujuan membuka banyak cerita memang jelas, untuk menggambarkan hal yang terjadi di luar sekolah. Namun, jika menghapuskan beberapa kelompok dan cabang ceritanya, seperti Park Hee-su (Lee Chae-eun), siswa yang hamil dan melahirkan di tengah zombie, tidak akan berpengaruh pada plot utamanya. All of Us Are Dead yang dragging harusnya tak perlu sampai jadi 12 episode.

Tak Ada Keadilan Bagi Korban Bully dan Pelecehan Seksual

Seperti karya sinema Korea Selatan pada umumnya, All of Us Are Dead membawa isu sosial yang ingin dikritik. Melihat muara terjadinya wabah zombie itu sendiri, masalah utama yang ingin dikritik adalah perundungan di sekolah. Namun, jika ditonton sampai habis, All of Us Are Dead nyatanya tidak membawa keadilan bagi korban perundungan dan pelecehan seksual.

Serial ini ingin menunjukkan bahwa perundung adalah orang-orang tidak punya nyali yang mencari kekuatan dengan menakuti orang lain, seperti antagonis utamanya Yoon Gwi-nam (Yoo In-soo). Namun, ketika korban Min Eun-ji (Oh Hye-soo) memiliki kekuatan yang bisa dia gunakan untuk membalas perbuatan Yoon Gwi-nam, All of Us Are Dead tidak memberikan kepuasan itu.

Ashin (Gianna Jun), karakter utama dalam spin off serial Kingdom, Ashin of The North, punya plot cerita yang lebih memuaskan. Ia memanfaatkan wabah zombie untuk balas dendam sebagai bentuk mencari keadilan atas kematian klannya. Ketika Ashin sukses melakukannya, ada rasa kepuasan yang turut dirasakan penonton karena korban mendapatkan keadilan dengan caranya sendiri.

Baca juga: ‘Encanto’: Kisah Si Biasa Saja Tercekik Ekspektasi Keluarga

Min Eun-ji sebetulnya punya banyak potensi menjadi Ashin yang baru, tapi sayang sekali dilewatkan oleh naskah All of Us Are Dead. Ketika melihat realitas dunia pelaku bisa melangkah bebas, serial ini harusnya bisa menjadi katarsis di mana pelaku menerima ganjarannya.

Daripada punya penyelesaian yang jelas atas isu ini, All of Us Are Dead berpusat drama percintaan remaja. Tujuan menyampaikan pesan bahwa tetap ada orang baik dan rela membantu di tengah kekacauan terasa setengah-setengah karena korban tidak mendapatkan akhir yang memuaskan.

All of Us Are Dead memiliki banyak lubang yang harusnya bisa diisi di musim kedua. Walaupun tidak sempurna, setidaknya kita tetap bisa mengambil satu atau dua catatan how to survive dari serial ini, jika suatu saat wabah zombie benar-benar terjadi.

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.