Kurang dari seminggu setelah Lebaran, di media sosial muncul berita yang menghebohkan dari Temanggung, Jawa Tengah, tentang anak perempuan bernama “A” yang meninggal setelah menjalani proses ruqyah.
Menurut unggahan yang tersebar di Twitter dan Instagram, yang kemudian dikonfirmasi oleh berita media, kasus itu diawali sekitar empat bulan sebelumnya, saat orang tua A membawa anak itu ke dua orang dukun karena tidak tahan dengan “kenakalan” sang anak. Sang dukun, yang juga tetangga mereka, mengatakan perilaku A disebabkan oleh genderuwo yang merasuki anak berusia tujuh tahun tersebut.
Kedua dukun tersebut kemudian menenggelamkan A berkali-kali di bak mandi hingga meninggal dunia. Alih-alih dimakamkan, A dibiarkan saja di tempat tidur karena dukun tersebut mengatakan bahwa ia akan “bangkit” kembali. Kasus pembunuhan ini baru terungkap ketika kakek dan tante A berkunjung ke rumah orang tua A, hanya untuk menemukan jasadnya yang sudah kering dan dibalut tisu. Orang tua A dan kedua dukun tersebut kemudian ditangkap polisi.
Marsha Habib, Communications and Relation Manager Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA), mengatakan bahwa kasus tersebut jelas merupakan bentuk kekerasan terhadap anak dan pelanggaran undang-undang.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan kekerasan sebagai setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran.
Namun, dalam mengambil keputusan legal mengenai orang tua sebagai pelaku, ia menyarankan agar pihak penegak hukum mempertimbangkan pemahaman mereka tentang hal yang menjadi bentuk kekerasan.
“Proses peradilan juga harus memberikan kesempatan bagi orang tua untuk belajar, bukan hanya bersifat menghukum. Menghukum orang tua mungkin akan menimbulkan kerentanan bagi anak lainnya dalam keluarga karena harus menjalani masa penjara,” ujar Marsha kepada Magdalene (27/5).
Baca juga: Memimpikan Para Ibu Sehat Jiwa dari Kalangan atas Hingga Akar Rumput
Kedekatan dengan Mitos, Akses Informasi Terbatas
Psikolog anak dan remaja dari Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi, mengatakan pilihan pengobatan alternatif dipengaruhi kesenjangan status sosial ekonomi dan minimnya pendidikan maupun informasi tentang pengasuhan karena aksesibilitas pengetahuan yang tidak merata.
“Hal-hal tersebut bisa mendorong orang tua untuk terus menggunakan bantuan pengobatan alternatif seperti ruqyah dan tidak mencari informasi yang tepat mengenai tumbuh kembang anak,” ujarnya.
“Pada kalangan tertentu, pemahaman orang tua tentang pengasuhan dan kepada siapa mereka bisa berdiskusi dan berinteraksi sangat terbatas. Akibatnya misinformasi tentang pengasuhan dan mitos ini terus berulang,” ujarnya pada Magdalene (26/5).
Gisella menambahkan, stigma negatif tentang kunjungan ke psikolog, psikiater, serta isu kesehatan mental secara umum membuat masyarakat lebih mempercayai mitos tentang pengasuhan anak. Mitos dan rasa enggan untuk mencari tahu informasi lainnya mampu membuat seseorang mencoba solusi yang membahayakan anak, ujarnya.
“Dari segi penyebaran (informasi dan tenaga profesional) masih minim apalagi di desa. Walaupun masih di Pulau Jawa, tetap ada kesulitan untuk akses ahli parenting,” kata Gisella.
Baca juga: Praktik Ruqyah terhadap Kelompok LGBT adalah Tindak Kekerasan
Psikologi Perkembangan Tidak Kenal ‘Anak Nakal’
Gisella mengatakan, konsep psikologi perkembangan tidak mengenal istilah “anak nakal” karena anak berperilaku sesuai dengan fase tumbuh kembang dan usianya. Konsep anak nakal seperti yang dipahami secara umum adalah cara orang dewasa memandang anak kecil yang berperilaku tidak sesuai norma yang ditetapkan, ujarnya.
“Misalnya, anak berusia 2 atau 3 tahun, mereka sedang mengeksplorasi rasa ingin tahunya. Kalau dia menolak untuk makan atau diajak duduk bareng itu sebenarnya mereka belajar melihat respons orang di sekitar dia. Cap bandel itu negatif dan tidak konstruktif jika diberikan kepada anak,” ujarnya.
Gisella menambahkan, jika anak berperilaku sulit diatur, membuat orang tua kewalahan, solusi yang bisa dilakukan ialah membangun rasa ingin tahu tentang kondisi anak, tetap bersikap tenang, dan tidak langsung bereaksi. Orang tua juga harus menyediakan lingkungan aman terutama jika anak mengalami kesulitan dalam menyalurkan emosi dan menyakiti diri atau orang lain saat sedang tantrum atau mengamuk.
“Selanjutnya bertanya kepada anak tentang apa yang terjadi lalu follow up dengan berbagai informasi dan diskusi dari berbagai sumber,” tambahnya.
Ni Luh Putu Maitra Agastya, peneliti senior PUSKAPA menganjurkan agar orang tua berani mencari layanan bantuan ketika tidak tahu cara menghadapi anak yang mengalami perubahan sikap. Keberanian orang tua untuk mencari bantuan dan belajar memahami kondisi mental dan emosional anak juga merupakan bentuk perlindungan anak, tambahnya.
“Norma budaya dan kemampuan berpikir kritis juga berperan penting dalam memilah informasi dan memastikan metode bantuan yang dipilih akan memberikan hasil terbaik bagi semua pihak,” ujarnya kepada Magdalene (27/5).
Ia mengatakan, meski masih terbatas sudah ada beberapa layanan dukungan keluarga, seperti Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), yang memiliki program penyuluhan untuk keluarga berkualitas, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), yang umumnya menangani korban kekerasan.
Selain itu, sebagai pengasuh utama dan keluarga terdekat bagi anak sangat penting untuk memiliki pengetahuan dasar mengenai perkembangan anak dan mengakses informasi yang beragam tentang hal tersebut, ujarnya.
“Tetapi kita juga tidak bisa menuntut orang tua untuk paham begitu saja sebelum memastikan mereka punya segala dukungan yang diperlukan,” kata dosen jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia itu.
Baca juga: Benarkah KPAI Melindungi Anak?
Selalu Mencari Pengetahuan tentang Perilaku Anak
Gisella menyarankan agar orang tua selalu mencari pengetahuan tentang perilaku keseharian anak, dan tidak melakukan konseling hanya ketika sudah terjadi masalah atau saat anak melakukan tindakan destruktif
“Apa pun skala permasalahannya, mari coba kikis pemikiran tidak mau mencari bantuan karena tidak ada sekolah menjadi orang tua. Pengasuhan adalah kemampuan yang perlu dipelajari,” tambah Gisella.
Sementara itu, Agastya mengatakan konsep perlindungan mental anak bisa dimulai dari dimasukkannya edukasi mengenai kesehatan mental ke dalam kurikulum sekolah, dan guru mengenali perubahan perilaku sangat penting karena mendukung orang tua mencari rujukan. Layanan komunitas dan sekolah harus tersedia secara selaras untuk memastikan anak di dalam atau luar sekolah dapat mengakses layanan pendukung, kata Agastya.
“Jika kita mengharapkan orang tua untuk bertindak ‘benar’, maka pemerintah dan komunitas juga perlu menyediakan dukungan yang mendorong orang tua buat keputusan tepat,” ujarnya.
Comments