Kalau kamu aktif di media sosial belakangan ini, mungkin cukup familier dengan sosok Andrew Tate—seorang influencer sekaligus mantan kickboxer, yang dijuluki “King of Toxic Masculinity”. Pasalnya, media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan Youtube menghapus akun Tate yang memiliki jutaan pengikut.
Semua berawal dari konten milik Tate yang kontroversial. Nama peserta reality show Big Brother UK musim ke-17 itu kesohor, karena pernyataan misoginis dan homofobik yang disampaikannya dalam sejumlah video. Ia membandingkan perempuan dengan properti, mendomestifikasi perempuan, dan mencontohkan caranya melakukan kekerasan terhadap perempuan yang menuduhnya berselingkuh.
Selain itu, pria 35 tahun tersebut mengatakan lebih suka berkencan dengan perempuan 18 dan 19 tahun, lantaran belum banyak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki. Andrew Tate juga mengaku enggan melakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR) kepada laki-laki, karena enggak ingin menjadi homoseksual.
Baca Juga: Magdalene Primer: Perbedaan Misogini dan Seksisme
Sebagai pengguna media sosial, sebenarnya Tate punya kebebasan untuk berekspresi dan mempublikasikan konten. Namun, yang dipublikasikan dianggap membahayakan anak dan remaja—terutama laki-laki—yang menyaksikan kontennya. Ia menyebarkan maskulinitas toksik sehingga dikhawatirkan perilaku misoginisnya akan ditiru anak-anak dan remaja. Pun ia dinilai melanggar kebijakan di sejumlah platform media sosial.
Ini bukan kali pertama media sosial menghapus akun milik Tate. Pada 2017, Twitter sudah lebih dulu melakukannya. Saat itu gerakan #MeToo sedang aktif disuarakan. Lalu, ia mengatakan perempuan harus bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang dialaminya. Katanya, perempuan juga layak disalahkan atas pelecehan seksual yang mereka terima.
Kini Instagram, Facebook, Youtube, dan TikTok mengikuti langkah tersebut. Kepada NBC News, juru bicara Youtube, Ivy Choi mengatakan, Tate melakukan beberapa pelanggaran Pedoman Komunitas dan Persyaratan Layanan, termasuk ujaran kebencian.
“Jika channel-nya dihentikan, pengunggah tidak dapat menggunakan, memiliki, atau membuat saluran Youtube lainnya,” kata Choi.
Dalam kebijakannya, Youtube menyebutkan akan menghapus konten yang mengungkapkan kekerasan atau kebencian terhadap individu atau kelompok. Salah satu yang termasuk di dalamnya adalah jenis kelamin serta identitas dan ekspresi gender. Pun mereka akan menghentikan channel jika pelanggaran dilakukan berulang.
Sementara TikTok menuliskan pada laman Pedoman Komunitas, bahwa mereka melarang unggahan konten misoginis yang termasuk dalam ideologi kebencian, sehingga menghapus akun tate secara permanen.
Kemudian, Meta memblokir akun Facebook dan Instagram Tate karena pelanggaran kebijakan perusahaan tentang individu dan organisasi yang berbahaya. Secara spesifik terkait ideologi atau pernyataan yang menyerang gender dan orientasi seksual.
Menanggapi pemblokiran tersebut, Tate mengatakan kepada NBC News kalau ia menyayangkan langkah Meta karena patuh terhadap tekanan dari publik. Menurutnya, sensasi di internet telah memotretnya sebagai sosok yang anti terhadap perempuan. Hal ini juga memperkuat narasi yang salah tentangnya.
Namun, narasi yang dianggap Andrew Tate sebagai kesalahan telah dibuktikan oleh dampak yang merugikan, jika publikasi kontennya dibiarkan. Kekhawatiran akan mencontoh dan memperlakukan Andrew Tate layaknya idola sudah terjadi. Lewat akun TikTok dengan handle @Risa, seorang guru kelas enam SD menceritakan beberapa murid laki-lakinya menyukai Tate. Bahkan, salah satu di antaranya melakukan body shaming terhadap teman perempuannya.
Baca Juga: Diserang Wibu Misoginis, Ini Pelajaran yang Bisa Saya Tarik
Kata murid itu, temannya bertubuh gemuk padahal perempuan seharusnya bertubuh langsing. “Kerjaannya cuma makan dan diam di rumah. Dia kayak kebanyakan perempuan lainnya yang memanfaatkan laki-laki untuk mendapatkan uang,” ujar Risa menirukan kalimat yang diucapkan si murid.
Peristiwa tersebut merupakan contoh bagaimana anak-anak menginternalisasi ucapan Tate. Dalam Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory (1986), psikolog Albert Bandura memaparkan bahwa seseorang cenderung mengamati dan meniru perilaku yang mereka lihat di media.
Sementara Hannah Ruschen, petugas kebijakan dari National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), sebuah lembaga amal di Inggris, mengatakan kepada The Guardian tentang bahayanya konten seperti yang dipublikasikan Tate bagi anak-anak.
“Konten itu bisa membentuk pengalaman dan sikap anak. Akibatnya menimbulkan kerugian bagi perempuan, baik di dalam maupun luar sekolah, serta di lingkup daring,” jelasnya.
Hal itu menjelaskan mengapa anak-anak dan remaja dikhawatirkan—bahkan telah meniru, ucapan dan perilaku Tate. Mungkin mereka termasuk di antara 13,7 miliar audiens dari video bertagar #AndrewTate di TikTok.
Permasalahannya sekarang, meskipun Tate sudah tidak dapat mengakses media sosialnya, ada banyak followers-nya yang mengunggah kembali konten-konten kontroversial tersebut dan tetap membentuk manosphere.
Andrew Tate Melanggengkan Manosphere
Manosphere adalah sebutan untuk kumpulan situs, forum online, dan blog yang mempromosikan misoginis, maskulinitas, dan perlawanan terhadap feminisme.
Awalnya, manosphere berkembang dari gerakan pembebasan laki-laki pada 1970 dan 1980-an. Namun, istilah itu baru dipopulerkan oleh Ian Ironwood, seorang pemasar pornografi, dalam bukunya The Manosphere: A New Hope for Masculinity (2013) yang berisi kumpulan blog dan forum.
Kemudian, semakin dikenal ketika media menggunakannya dalam pemberitaan kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender online (KBGO), dan tindakan kekerasan yang didasarkan pada perilaku misoginis.
Enggak dimungkiri, keberadaan media sosial menambah jajaran platform yang memberikan tempat untuk manosphere berkembang. Akademisi dan jurnalis Emma Jane sependapat dengan hal tersebut. Dalam risetnya berjudul Systemic misogyny exposed: Translating Rapeglish from the Manosphere with a Random Rape Threat Generator (2017), Jane mengidentifikasi bahwa akhir 2000-an dan awal 2010-an menjadi tipping point bagi komunitas manosphere.
Pada era tersebut, mereka mulai memanfaatkan internet sebagai medium untuk berkumpul. Berdasarkan hipotesis Jane dalam penelitiannya, penyebabnya adalah kehadiran Web 2.0—generasi kedua dari pengembangan World Wide Web yang ditandai dengan pertumbuhan media sosial. Kemunculan itu beriringan dengan misogini sistemis yang disebabkan budaya patriarki.
Sekarang kita dapat melihat bagaimana Tate menciptakan manosphere lewat kontennya di media sosial. Ia memiliki Hustlers University, sebuah komunitas untuk kursus pemasaran yang dilakukan online, dengan jumlah anggota 127 ribu orang—kebanyakan pria dan anak laki-laki dari Inggris dan Amerika Serikat.
Melalui Hustlers University, Tate tidak hanya mengajarkan anggotanya mulai dari copywriting hingga investasi di kripto. Sensasionalismenya di media sosial tak luput dari peran anggota komunitasnya. Dengan memakai nama dan wajah Tate profilnya, mereka diminta meramaikan media sosial dengan mempublikasikan konten terkait Tate, tak terkecuali videonya yang kontroversial dengan perilakunya yang misoginis.
Baca Juga: Laki-laki Bertanggung Jawab Belum Cukup, Karena Belum Tentu Dia Tak Misoginis
Melansir The Guardian, klip-klip itu sengaja dipilih untuk memanipulasi algoritme. Tujuannya adalah mencapai jumlah audiens dan engagement yang tinggi.
Enggak heran mengapa popularitasnya melejit dalam waktu kurang dari tiga bulan. Dikutip dari Rolling Stone, warga Rumania itu memiliki lebih dari 740 ribu subscribers di Youtube dan 4,6 juta pengikut Instagram. Belum lagi videonya yang muncul di For Your Page (FYP) TikTok, yang dipublikasikan sejumlah akun podcast dan penggemarnya.
Sementara anggotanya, termasuk yang paling muda berusia 13 tahun, ditawarkan penghasilan mencapai 10 ribu poundsterling—sekitar 175 juta tiap bulannya dengan berinvestasi di kripto.
Namun, di balik keinginannya mengedukasi banyak orang dan mengajak mereka agar meraup keuntungan finansial, Tate justru memanfaatkan misogini untuk memperkaya dirinya sendiri. Sebagai sosok yang berada di posisi puncak jika merujuk pada model bisnis skema piramida, ia adalah orang yang paling diuntungkan.
Pun dengan dihapusnya akun Tate dari media sosial, bukan berarti akan menghentikan peredaran videonya di dunia maya. Masih banyak akun penggemarnya yang mengunggah konten kontroversial Tate, dan bisa kembali disaksikan oleh siapa pun.
Menurut Joshua Roose, peneliti ekstremisme di Deakin University, Australia, keberhasilan Tate akan mendorong sosok lain untuk melakukan hal serupa. Tindakannya justru kembali menggerakan manosphere, yang kontennya selalu memiliki target audiens.
Pun sebelum Tate, beberapa sosok laki-laki lain sudah melanggengkan manosphere. Sebut saja Dan Bilzerian, pemain poker dan influencer yang mengobjektifikasi perempuan hampir di setiap unggahan Instagramnya. Lalu SNEAKO, Youtuber yang kontennya homofobik dan belakangan ini merendahkan laki-laki yang tidak bisa menghasilkan banyak uang, ataupun berhubungan seksual dengan banyak perempuan.
Ada juga profesor psikologi Jordan Peterson yang kontroversial karena berbagai pernyataannya. Mulai dari menganggap patriarki dan bentuk penindasan lainnya adalah ilusi belaka, sampai kata “Islamofobia” yang diciptakan oleh para fasis dan digunakan untuk memanipulasi.
Menurut Roose, manosphere akan terus eksis karena cara kerja media sosial yang memfasilitasinya. “Ada jaringan dan orang-orang yang terus menginginkan konten seperti itu,” terangnya dilansir dari ABC Australia.
Media sosial memang diciptakan untuk menarik perhatian publik. Orang akan melihat dan mengikuti keberadaan mereka yang memiliki karakter, sampai memiliki segudang followers dan meraih penghasilan dari kepribadiannya di media sosial.
Dari sini, kita juga dapat menyimpulkan, media sosial akan tetap memberikan ruang untuk manosphere. Sebab, mereka memperoleh keuntungan dari konten yang dapat meradikalkan penggunanya. Itulah mengapa sosok di balik “penggerak” manosphere seperti Tate, Bilzerian, dan SNEAKO akan tetap menunjukkan eksistensinya.
Seperti yang ditulis Donna Zuckerberg dalam Not All Dead White Men: Classics and Misogyny in the Digital Age (2018), bahwa laki-laki yang menganggap feminisme mendominasi masyarakat, merepresentasikan babak baru dalam misogini di dunia maya.
“Mereka tidak hanya merendahkan perempuan, tapi juga percaya bahwa laki-laki ditindas oleh perempuan,” tulisnya.
Comments