Women Lead Pendidikan Seks
July 11, 2022

Apa itu 'Cyber Sexism': Rentannya Perempuan Dilecehkan di Internet

Korban 'cyber sexism' seringkali tidak menyadari mereka menjadi sasaran, terutama ketika pelakunya memiliki relasi dengannya.

by Moh. Faiz Maulana
Safe Space
Kekerasan Online Cyber Digital KBGO_KarinaTungari
Share:

Apakah kamu familier dengan meme atau gambar berikut di internet?

Meme Reaksi Cewek. Facebook

Meme serupa mungkin banyak ditemukan di internet, digunakan sebagai bahan candaan. Namun, sadarkah kita, konten meme tersebut sebenarnya mengandung pelecehan yang bersifat seksisme (perilaku atau prasangka diskriminatif berdasarkan gender)?

Pada meme tersebut, perempuan diposisikan sebagai objek yang mampu dengan mudah dipertukarkan dengan benda lain. Penggunaan kalimat yang menyertai gambar tersebut pun sangat eksploitatif. Secara keseluruhan, meme tersebut menegaskan tubuh perempuan secara umum layaknya benda yang bisa ditukarkan atau dinegosiasikan.

Fenomena seksisme di internet ini biasa dikenal dengan istilah cyber sexism.

Mengenal Cyber Sexism

Cyber sexism mengacu pada perilaku seksis, melecehkan, mempermalukan, menindas, mengucilkan individu berdasarkan identitas seksual atau gender mereka, yang terjadi di dunia maya. Individu tersebut biasanya tidak dapat membela diri.

Menurut Couchot-Schiex dan Richard, peneliti dari Université de Paris-Est Créteil, cyber sexism bisa terjadi dalam bentuk homofobia (lesbofobia), perilaku ketidaksukaan atau prasangka terhadap orang-orang gay atau lesbi.

Ketidaksukaan atau prasangka tersebut, seringkali memunculkan berbagai perilaku maupun perasaan negatif kepada kelompok gay dan lesbi, sebagai upaya menegaskan kembali norma-norma gender dominan.

Cyber sexism sendiri adalah kekerasan yang bersifat lunak dan perilakunya tidak ditampakkan secara fisik. Hal ini karena korban seringkali tidak menyadari mereka menjadi sasaran atau korban, terutama ketika pelakunya memiliki relasi dengannya.

Para pelaku cyber sexism seringkali memproduksi kekerasan simbolik melalui kata-kata, gambar, dan komunikasi yang mengandung kebencian dengan latar belakang rasis atau yang bersifat seksis. Perilaku ini muncul dari habitus pelaku yang mengadopsi norma-norma patriarki dalam setiap aspek dan seolah telah menjadi cara hidup. Karena itu, perilaku cyber sexism dianggap menjadi sebuah hal yang seolah-olah wajar dan biasa.

Praktik cyber sexism ini pada dasarnya adalah hasil dari “terinternalisasinya sosialisasi norma gender dominan”. Artinya perilaku cyber sexism ini pada dasarnya merupakan aktivitas yang saling memengaruhi dari dua dunia yang berbeda: Nyata dan maya.

Oleh karena itu, cyber sexism dan seksisme bukanlah dua praktik yang terpisah, ia adalah bentuk dominasi patriarki yang perilakunya mampu menyebar dan saling berubah bentuk. Perilaku cyber sexism dan seksisme berlangsung bolak-balik antara ruang nyata dan maya. Dengan kata lain, cybersexism merupakan bentuk upaya untuk mempertahankan dominasi gender, yang awalnya hanya di dunia nyata, ke dalam dunia maya.

Selain itu, cyber sexism juga disebabkan oleh implementasi struktur sosial dan struktur aktivitas reproduktif yang timpang gender, cenderung memberikan ruang dan kuasa sosial kepada laki-laki.

Celakanya, publik menormalisasi kondisi tersebut, menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya, dunia akan selalu mengistimewakan pihak yang dominan (laki-laki) dan menganggap dominasi mereka sebagai hal seolah muncul dengan sendirinya, dari sananya.

Baca juga: Riset: 56 Persen Pelaku KBGO adalah Orang Terdekat

Perempuan Rentan Jadi Korban

Laporan UN Broadband Commission for Digital Development Working Group on Broadband and Gender tahun 2015 menyatakan bahwa perempuan dan anak-anak perempuan seringkali menjadi target utama sasaran perilaku seksisme dan pelecahan di dunia maya.

Di saat pelecehan terhadap perempuan di dunia nyata masih menjadi masalah yang belum terselesaikan, kini perempuan juga menghadapi pelecehan di dunia maya.

Kondisi ini relevan dengan argumen Laurie Penny, feminis dan jurnalis asal Inggris, yang menyatakan bahwa “tidak ada ruang yang aman dan menjamin kebebasan bagi perempuan, termasuk internet sekalipun”.

Dari hasil laporannya, Penny juga mengungkapkan hanya sebagian kecil laki-laki yang bermain internet yang tidak melecehkan perempuan. Sebagian besar pengguna seringkali menyerang perempuan atas dasar kebencian, atau hanya sekadar ketidaksukaannya melihat perempuan muncul di ruang publik – ruang yang, dalam budaya patriarki, dianggap sebagai milik laki-laki. Ada semacam anggapan bahwa jika perempuan tidak ingin dilecehkan atau “diseksualisasi”, maka sebaiknya perempuan segera offline.

Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi perempuan, sebab eksistensi perempuan akan selalu dianggap sebagai second sex, makhluk subordinat, dan dominasi patriarki akan semakin menguat di dunia maya.

Katharine Jarmul, konsultan algoritme asal Amerika Serikat (AS) dalam sebuah wawancaranya yang ditayangkan di media daring DW Indonesia, mengungkapkan algoritme internet yang digunakan saat ini kerap kali bias gender dan seksis, serta cenderung memperkuat posisi hierarkis gender.

Misalnya saja ketika kita mengetik kata ‘sekretaris’ atau ‘perawat’ dalam mesin pencari di internet, maka yang akan muncul adalah wajah perempuan, dan ketika kita mengetik kata ‘tentara’, maka yang akan muncul adalah wajah laki-laki.

Hasil software penerjemah juga menunjukkan hal demikian. Software akan menerjemahkan pekerjaan yang seharusnya netral menjadi bias gender, misalnya ketika kita mengetik kalimat ‘dia seorang dokter’ maka yang akan muncul dalam Bahasa Inggris adalah ‘he is a doctor’. Sama halnya dengan kalimat ‘dia seorang sekretaris’ maka yang akan muncul adalah ‘she is a secretary’.

Dua profesi ini di dunia internet dipotret sebagai profesi untuk dua jenis gender yang berbeda: dokter untuk laki-laki (he), dan sekretaris untuk perempuan (she). Internet telah menggambarkan kembali stereotip dan pengertian gender yang timpang.

Baca juga: Hati-hati Di Internet dan Hal-hal yang Perlu Diketahui Soal KBGO

Cyber Sexism: Bukti Dominasi Patriarki di Dunia Maya

Perilaku cybersexism ini terkait erat dengan dominasi patriarki yang masih mengakar di kehidupan sebagian besar pengguna internet. Patriarki telah menjadi surveillance bagi seluruh kehidupan umat manusia beribu tahun lalu, dan sekarang ia telah menempati ruang baru yang mestinya memberi kebebasan kepada siapa saja.

Cybersexism dan seksisme adalah contoh bentuk dominasi patriarki yang perilakunya mampu menyebar dan saling berubah bentuk. Perilaku cybersexism dan seksisme berlangsung bolak-balik – di dunia nyata dan dunia maya – karena internet bukanlah ruang yang terpisah dari dunia nyata.

Relasi yang terjadi di internet adalah refleksi relasi yang terjalin di dunia nyata. Seksisme di internet merupakan hasil dari kulminasi perilaku kultur patriarki yang mendominasi di dunia nyata.

Internet, secara tidak langsung, telah menjadi wahana transmisi norma sosial yang menunjukkan dominasi dan pertunjukan atas stereotip feminitas dan maskulinitas. Itu sebabnya kita akan menemukan banyak perilaku seksisme di internet, sebanyak kita menemukannya di dunia nyata.

Oleh karena itu, upaya yang bisa kita lakukan untuk memerangi cyber sexism adalah dengan tidak menyebarkan kembali meme-meme seksis yang ada di internet.

Selain itu, kita juga bisa berkontribusi mendukung kampanye melawan cyber sexism di dunia maya, serta memberi ruang bagi para korban untuk berbicara mengenai pengalaman mereka, sehingga warganet bisa waspada dalam memproduksi konten maupun merespons konten-konten yang mereka dapat dari internet.

Memerangi cyber sexism bukan lagi persoalan personal, melainkan tanggung jawab bersama untuk bertindak dan mengakhirinya.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Moh. Faiz Maulana adalah Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama of Indonesia, Jakarta.