Kemarin sore saya bertukar kabar melalui WhatsApp dengan aktivis veteran Ibu Saparinah Sadli dan Mbak Nursyahbani Katjasungkana. Saya bertanya isu seputar CEDAW, mengingat hari ini 24 Juli 2020 menandai 36 tahun diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan itu oleh Indonesia.
Ibu Sap, demikian kami biasa menyapanya, adalah tokoh paling penting. Bersama Ibu Achi Luhulima, Ibu T.O. Ichromi (alm.), Ibu Syamsiah Ahmad, Mbak Nursyahbani Katjasungkana dan beberapa tokoh lainnya, Ibu Sap aktif sekali mensosialisasikan CEDAW. Namun tadi sore Ibu Sap membalas WA saya dengan nada pesimistis.
"Selain kalian para aktivis dan teman-teman di Komnas Perempuan, apa pejabat-pejabat pemerintah, anggota legislatif, masih ada yang ingat CEDAW?” tanyanya.
Pertanyaan itu tak urung membuat saya menenung. Siapa yang (masih) ingat CEDAW?
CEDAW merupakan salah satu perjanjian hak asasi paling pokok dalam sistem kesepakatan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Isinya memuat jaminan kesetaraan substantif bagi perempuan melalui penghapusan segala bentuk diskriminasi berbasis prasangka gender.
Baca juga: Sejarah Perempuan dan Bulan Maret
Konvensi ini disahkan PBB tahun 1979. Ini merupakan kesepakatan global yang mendefinisikan prinsip-prinsip Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia. Di dalamnya ada norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi ini. Pada 24 Juli 1984, Indonesia meratifikasinya menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Dengan begitu, Indonesia sebetulnya terikat secara hukum untuk melakukan upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender kepada perempuan, dan melaporkan perkembangannya. Pemerintah Indonesia berkewajiban membuat laporan perkembangan pelaksanaan penghapusan diskriminasi gender itu.
Pertanyaan Ibu Saparinah Sadli menjadi relevan di sini, “Apa ada yang masih ingat CEDAW?”. Artinya, apakah Pemerintah Indonesia sudah mengecek bagaimana upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender dilakukan dan mengirimkan laporan pelaksanaannya kepada Komite CEDAW di PBB? Wallau'alam, mudah-mudahan sih sudah. Cuma sudah lama Indonesia mangkir lapor.
Isu paling relevan terkait praktik diskriminasi sebetulnya masih sama dari tahun ke tahun. Mbak Nur mengingatkan dua hal: Penghapusan stereotyping perempuan yang saat ini justru makin kental akibat menguatnya pandangan primordial keagamaan yang semakin konservatif dalam mendefinisikan peran dan status perempuan.
Baca juga: Kampanye KemenPPPA Soal Ketahanan Keluarga Hapus Beragam Identitas Perempuan
Kita patut bersyukur usia kawin sudah sama antara lelaki dan perempuan, 19 tahun. Namun upaya pencegahan perkawinan anak masih harus kerja keras mengingat masih ada 20 daerah yang kedapatan angka kawin anaknya ampun-ampunan.
Lalu UU Perkawinan No. 1/1974 yang belum kunjung direvisi, terutama pasal yang meletakkan secara tidak setara antara laki-laki (suami) yang diberi predikat kepala keluarga, dan perempuan (istri) sebagai ibu rumah tangga. Padahal definisi ini melahirkan praktik diskriminasi yang bukan main kepada perempuan dan terbawa ke mana-mana, antara lain dalam dunia kerja.
Secara normatif, perempuan keukeuh dianggap sebagai pencari nafkah tambahan apa pun status perkawinannya. Padahal perempuan kepala keluarga dengan status menikah, atau suami minggat, atau cerai, atau lajang adalah para pencari nafkah utama. Namun dengan status pencari nafkah tambahan, perempuan pekerja di sektor apa pun rentan untuk dipinggirkan atau disingkirkan.
CEDAW bagi Indonesia adalah mutiara yang sangat tinggi kualitasnya dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, tapi di mana mutiara itu disembunyikan?
Comments