Banyak orang mengatakan, kriteria pasangan anak perempuan itu haruslah mirip ayahnya, entah fisik maupun karakter. Senada, anak laki-laki akan memilih perempuan, dengan ciri kepribadian yang mirip sang ibu.
Saya jadi ingat seorang teman yang mengamini pernyataan tersebut. Beberapa waktu lalu, ketika kami bertemu dan membicarakan kehidupan asmara, ia menceritakan laki-laki ideal versinya: Lemah lembut, penyayang, dan memprioritaskan dirinya.
“Pokoknya yang kayak bokap,” kata dia.
Ia juga pernah mengunggah kutipan foto di media sosial. Kurang lebih postingan itu menyatakan ayah akan selalu menjadi cinta pertama bagi anak perempuan. Karena itu, sampai saat ini, pacar dan beberapa mantannya adalah laki-laki yang memperlakukannya seperti sang ayah.
Sebenarnya, Carl Jung menyebut keinginan itu sebagai kompleks Elektra, yakni keinginan terpendam untuk membunuh ibu dan menjadikan ayah miliknya secara utuh. Ada juga istilah kompleks Oedipus bagi laki-laki, yang oleh Sigmund Freud dijelaskan, anak laki-laki punya keinginan membunuh ayahnya, untuk memiliki ibu.
Namun, psikologis modern menolak kedua teori itu. Terapis hubungan Dr Judith Wright mengatakan, ada penjelasan sederhananya. Katanya, hampir setiap anak berkesempatan untuk berinteraksi dengan orang tua, yang jenis kelaminnya berlawanan. Otomatis, interaksi itu melatih komunikasi anak dengan lawan jenis.
“Sewaktu bayi, kita mengembangkan definisi cinta berdasarkan cara orang tua, atau pengasuh utama memperlakukan kita,” tuturnya kepada Marie Claire. Alhasil, ketika dewasa, ketertarikan itu muncul terhadap seseorang yang karakternya mirip dengan orang tua.
Di sini saya sependapat dengan Wright. Soalnya, salah satu kriteria yang wajib saya temukan dalam diri pasangan, adalah mau melakukan pekerjaan domestik. Seperti bapak yang selalu ambil bagian dan menyempatkan diri untuk bersih-bersih, setiap dia lagi di rumah.
Namun, adakah faktor lain yang menyebabkan anak mencari pasangan seperti orang tuanya?
Baca Juga: Mencari Pasangan yang Punya Selera Humor Baik
Sexual Imprinting dan Gaya Kelekatan
Terlepas dari interaksi pertama dengan ayah ataupun ibu, cara pengasuhan dan sexual imprinting mereka juga berperan dalam mencari pasangan.
Psikolog dan peneliti John Gottman menyebutkan, sejak berusia 18 bulan, seorang anak tertarik pada tipe kepribadian orang tuanya, dan memiliki keinginan untuk dicintai. Karena itu, fenomena yang disebut Gottman sebagai sexual imprinting ini merupakan hasil dari cara kita menerima kasih sayang, keintiman, dan rasa aman dari orang tua atau pengasuh utama.
Kemudian, saat anak beranjak dewasa, ia akan lebih memahami karakter orang tua yang jenis kelaminnya berlawanan. Dari situ, terdapat mekanisme yang terbentuk dalam diri anak, dan memengaruhi sudut pandang mereka ketika melihat lawan jenis. Umumnya, hal ini beriringan dengan kedekatan relasi yang dibangun.
Misalnya saat anak laki-laki memiliki ibu yang bersikap independen, ia cenderung mencari kepribadian yang sama dalam diri pasangannya. Dibandingkan menjalin relasi dengan perempuan yang lebih bergantung. Pasalnya, sosok perempuan independen dalam diri ibu memberikannya kenyamanan, sehingga ketika bertemu perempuan dengan karakter serupa, ia merasa sudah mengenalnya dalam waktu lama.
Selain itu, faktor intelektual juga berpengaruh di dalamnya, seperti ditulis Celeste Perron untuk CNN, merujuk pada riset yang dilakukan peneliti di University of Iowa. “Laki-laki yang berprestasi tinggi akan menikahi perempuan, dengan tingkat pendidikan dan karier yang setara dengan ibunya,” tulis Perron.
Tak hanya karakter, sexual imprinting juga dapat berupa kemiripan anggota tubuh. Misalnya warna mata dan rambut. Menurut peneliti Agnieszka Wiszewska, dkk., aspek fisik ini lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
Baca Juga: Setop Percaya 'Soulmate' Ada dalam Hubungan Romantis
Dalam riset mereka berjudul Father-Daughter Relationship as a Moderator of Sexual Imprinting: A Facialmetric Study (2007) dijelaskan, penyebabnya adalah hubungan anak perempuan dan ayah yang lebih kuat. Karena itu, anak akan mencari karakteristik wajah ayahnya dalam diri pasangan.
Selain dengan orang tua kandung, ternyata hal ini juga bisa berdampak pada orang tua angkat. Terutama anak perempuan yang menerima dukungan emosional dari ayah angkatnya, Dibandingkan sosok ayah yang kurang memberikan suasana positif.
Pun, gaya kelekatan yang terbentuk dari pola asuh orang tua, ikut memengaruhi ketertarikan terhadap seseorang, maupun dalam mencari pasangan.
Melansir Psychology Today, gaya kelekatan terbagi dalam empat jenis: Secure, anxious-preoccupied, dismissive-avoidant, dan fearful-avoidant. Keempatnya menunjukkan bagaimana cara orang tua mengasuh, dan membentuk karakteristik individu.
Pada secure attachment, ketika anak terbiasa memberikan dan menerima kasih sayang dari orang tuanya, ia memiliki persepsi yang baik tentang hubungan. Begitu juga dalam mengomunikasikan pendapatnya, dan mengatasi permasalahan antarpribadi.
Maka itu, ia mencari pasangan dengan karakter serupa, untuk kembali memberikan dan mendapatkan yang sebelumnya diperoleh dari keluarga.
Baca Juga: Saat Tepat Bertemu Keluarga Pacar
Tidak Berlaku untuk Semua Orang
Yang perlu disadari, belum tentu semua orang menginginkan pasangan yang karakter atau fisiknya mirip dengan orang tuanya.
Mereka yang memiliki fearful-avoidant attachment, misalnya. Ada lebih banyak konflik dalam diri yang umumnya disebabkan oleh berbagai pengalaman hidup yang traumatis, seperti ditelantarkan, mengalami kekerasan, maupun kesedihan. Maka itu, mereka menghindari kesamaan tersebut agar tidak terjebak dalam lingkaran yang sama.
Namun, tanpa disadari, hal itu dapat kembali terulang dalam hubungan romantis. Psikolog William Pollack mengatakan, laki-laki yang ditelantarkan atau relasinya tidak dekat dengan sang ibu misalnya, cenderung mencari pasangan yang serupa.
“Dalam hubungan itu, dia berusaha memperbaiki hubungan sebagai anak dan ibu. Namun, biasanya enggak berhasil,” ujarnya dikutip dari Women’s Health.
Ini juga terjadi pada anak yang sering disalahkan, ditolak, dan dihakimi orang tuanya. Ia akan memilih pasangan yang memperlakukannya serupa. Pasalnya, ia merasa berada di “zona nyaman” dengan dicintai tanpa syarat oleh orang tuanya. Alhasil, kepribadian itu yang dicari dalam diri pasangan, walaupun situasi itu menyiksanya secara emosional.
Bukan berarti seseorang tidak dapat keluar dari gaya kelekatan dan imprinting yang negatif. Menurut akademisi Preston Ni, hubungan yang sehat dan bertahan lama, dapat direalisasikan apabila rantai negatif itu bisa diputuskan.
Untuk membangunnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Seperti mengidentifikasi diri, keluarga, dan masa kecil, keinginan untuk belajar dan berkembang, serta keberanian untuk mencari bantuan profesional. Yang perlu diingat, ini bukan perkara mudah untuk diselesaikan, sehingga memerlukan waktu panjang.
Dengan demikian, permasalahan yang terselesaikan akan membuat seseorang lebih fokus terhadap dirinya sendiri, dan memperbaiki relasi dengan pasangan.
Comments