Kamu hobi marah-marah atau sering melihat orang julid, ngamuk, dan baku hantam di Twitter? Jika iya, berarti aku dan kamu punya keresahan yang sama. Rasa-rasanya relatif tak lengkap jika tak ada drama di platform yang baru saja dibeli taipan Elon Musk tersebut. Bahkan, berbagai drama ini sengaja difasilitasi di akun-akun macam @infotwitwor yang diikuti 332.000, juga @AREAJULID yang terverifikasi dan mendapat sejuta pengikut.
Tak cuma akun-akun partikelir seperti di atas, kemarahan dan ke-julid-an itu tampaknya memang sudah melekat pada diri para penggunanya. Dalam konteks terkini misalnya, komentar soal sepatu Docmart saja bisa memicu pertengkaran seru, lengkap dengan sederet meme buatan, guyonan, hingga intimidasi pada akun perempuan. Ada pula drama Safa, perempuan yang ingin dituntut dan panen ancaman pengguna Twitter lain, yang mengaku dirinya aktivis HAM dengan segala koneksinya.
Dari drama ini kita bisa melihat bagaimana Twitter menjadi tempat yang “pas” untuk orang-orang melampiaskan amarah dan menjadi sejulid-julidnya manusia. Pertanyaan pun kemudian muncul. Apakah benar Twitter membuat orang jadi mudah marah sekaligus menambah level julid kita?
Baca Juga: Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial
Angry by Design, Ketika Sosial Media Didesain untuk Marah-Marah
Belakangan ini Twitter diberikan predikat oleh para warganet sebagai “Angriest Place on Earth”. Predikat ini tidak datang dari ruang hampa. Tom de Bruyne, pendiri dari Sue Behavioural Design–konsultan dan lembaga riset yang fokus pada perubahan perilaku–menceritakan bagaimana ia memutuskan keluar dari Twitter karena merasa jadi temperamental.
Ia memerhatikan setiap kali membuka Twitter, platform ini berusaha keras membuatnya masuk dalam mode marah. Di bawah judul "Recommendation for you", pesan politik partisipan atau twit-twit berisi kemarahan dan aksi julid warganet selalu disarankan kepada dia. Twitter seakan membawanya dalam lingkaran amarah tak berujung padahal ia tidak pernah terlibat dalam perbincangan panas dengan warganet lain atau saling lempar cuitan kebencian.
Pengalaman Bruyne mengenai kemarahan di Twitter didukung penelitian bertajuk How social learning amplifies moral outrage expression in online social networks (2021). Riset yang dilakukam William Brady, peneliti postdoctoral di Departemen Psikologi Universitas Yale dan lainnya, menemukan bahwa Twitter nyatanya didesain dari kemarahan.
Melalui observasi di Twitter dengan total 7.331 pengguna dan 12,7 juta total cuitan, Brady dan rekannya menemukan bagaimana moral outrage atau kemarahan moral dipelihara di Twitter. Hal ini terlihat dari peningkatan kemungkinan munculnya cuitan ekspresi kemarahan di masa depan, yang secara kuantitatif meningkat 2 hingga 3 persen. Misalnya, pengguna Twitter yang rata-rata mendapatkan 5 likes/ retweet per cuitan, akan menerima 10 likes/ retweet tambahan ketika mereka mengekspresikan kemarahan.
Selain itu, Brady dan rekannya juga menemukan, ada kecenderungan di Twitter dalam menampilkan cuitan bermuatan kemarahan yang diambil dari empat topik politik yang kontroversial dan cuitan kemarahan. Dalam hal ini, tercatat 75 persen cuitan yang ditampilkan oleh Twitter berisi ekspresi kemarahan, sedangkan 25 persennya berisi ekspresi netral. Cuitan kemarahan juga menampilkan lebih banyak likes dan share daripada cuitan netral.
Senada dengan temuan Brady dan rekannya, Karlina Octaviany, antropolog digital juga mengungkapkan bagaimana Twitter didesain untuk memelihara lingkaran amarah ini karena dua faktor. Pertama, keterbatasan karakter yang bisa dibagikan pengguna di Twitter. Setiap pengguna Twitter hanya dimampukan untuk menulis gagasannya dalam 280 karakter saja dalam satu cuitan. Hal ini tentunya berdampak pada penyampaian pesan atau informasi yang tidak lengkap atau komprehensif di antara pengguna.
“Orang jadinya punya kecenderungan menangkap ujungnya aja atau dengan persepsi bermasalah dari bias pribadi mereka masing-masing. Oleh karena itu, informasi sepotong ini mendorong orang-orang pingin langsung berkomentar, meledek, marah-marah,” ungkap Karlina pada Magdalene.
Pembatasan karakter in, kata dia, membuat sebagian individu yang memang ingin mendulang popularitas di media sosial semakin gencar membuat cuitan yang bernada julid.
“Orang-orang ini berusaha merangkai kata dengan membuatnya se-catchy mungkin dengan membuatnya makin julid karena itu popularitas utamanya,” lanjutnya.
Kedua, algoritme Twitter yang “sengaja” menampilkan cuitan bermuatan negatif. Cuitan yang memiliki kualitas moral dan emosional negatif seperti kemarahan dan aksi julid adalah konten yang paling menarik dengan engagement yang tinggi. Hal ini membantu algoritme mempelajari pola perilaku pengguna dengan memilih cuitan apa yang sebaiknya ditampilkan kepada pengguna.
Dengan demikian, algoritme menciptakan ekosistem informasi di mana ada semacam proses seleksi dengan konten paling engaging adalah konten yang akan selalu dinaikkan ke dalam rekomendasi. Bahkan jika desainer platform tidak bermaksud untuk memelihara kemarahan dalam Twitter, algoritma Twitter nyatanya memenuhi tujuan ekonomi, yaitu maksimalisasi keuntungan melalui engagement pengguna.
“Biasanya yang direkomendasikan itu tweet-tweet viral yang biasanya negatif, karena engagementnya tinggi. Mengundang untuk orang berkomentar dan bersama-sama judging. Jadi ya algoritmenya membantu memviralkan hal-hal negatif dan ini punya nilai ekonomi.”
Menyoal algoritme Twitter ini, kami pun berusaha mengonfirmasi ke pihak Twitter secara langsung. Kami juga ingin mengonfirmasi kebijakan hingga kultur platform ini. Akan tetapi, sampai akhir diterbitkannya artikel, kami belum berkesempatan mewawancarai mereka.
Baca Juga: Hentikan Debat Kusir dan BuzzeRp: 6 Tips Berargumen di Media Sosial
Apakah Benar Twitter Bikin Kita Mudah Marah?
Lantas, bagaimana dari sudut pandang Psikologi? Apakah Twitter secara harfiah membuat kita jadi mudah marah dan julid kepada orang lain? Psikolog Klinis Anggita Panjaitan bilang, Twitter sebenarnya memiliki kekhasan yang sama dengan media sosial lain seperti Facebook atau Instagram misalnya. Mereka dibuat agar pengguna bisa berinteraksi, berdiskusi, dan membangun komunitas yang memiliki pandangan atau ideologi yang sama, like-minded people.
Sebenarnya tidak masalah jika desain platform ini dikembangkan untuk kebaikan bersama melalui diskusi dan penyebaran informasi yang konstruktif. Menjadi masalah ketika media sosial seperti Twitter secara tidak langsung memberikan imbalan atau reward berupa likes atau retweet pada orang-orang yang mengekspresikan kemarahannya dalam cuitan mereka. Jumlah likes dan retweet ini secara psikologis membuat orang-orang mereka tervalidasi amarahnya. Mereka merasa didukung dengan orang lain, sehingga timbul rasa puas.
“Sebuah perilaku semakin kuat apabila ada reward dan melemah apabila ada punishment. Selama ada orang yang mendukung dari belakang, ngasih reward berupa likes dan retweets, so that’s fine mereka mikirnya,” jelasnya.
Tervalidasinya rasa amarah inilah yang menurut Anggita, membuat penggunanya menjadi lebih impulsif. Pengguna tidak lagi menggunakan pemikiran logis dan rasional dalam mengekspresikan rasa marah mereka karena ada orang-orang like-minded seperti mereka. Orang-orang ini lalu berkumpul, secara berantai membuat cuitan dengan emosi negatif yang sama yang dalam prosesnya menciptakan polarisasi pandangan.
“Hal inilah yang membuat emosi-emosi negatif seperti kemarahan kemudian lebih cepat tersebar dan terlihat di Twitter,” tuturnya.
Predikat sebagai Angriest Place on Earth kemudian menurut Anggita juga tidak terlepas dari bagaimana sosial media seperti Twitter juga memfasilitasi individu untuk berlindung dalam anonimitasnya atau menggunakan persona mereka yang berbeda. Ini adalah efek dari disinhibisi online. Efek yang terjadi karena kurangnya pengekangan yang dirasakan seseorang saat berkomunikasi daring dibandingkan dengan berkomunikasi secara langsung.
Jika manusia melakukan percakapan luring dengan tatap muka, saling melihat mata, dan memerhatikan gestur tubuh, maka komunikasi yang tercipta akan lebih asertif dengan mengedepankan rasa empati dan konteks dalam prosesnya. Belum lagi dalam bertutur kata setiap masyarakat memiliki normanya masing-masing yang tentunya secara tak kasat mata mengikat tiap individu untuk menjaga sikapnya.
“Nah, di Twitter ini tidak bisa dilakukan. Orang-orang jadi lebih aman untuk mengatakan hal-hal secara daring yang tidak akan mereka katakan dalam kehidupan nyata karena mereka memiliki kemampuan untuk tetap sepenuhnya anonim dan tidak terlihat di balik layar komputer. Sikap ‘bodo amat’ pun terbentuk dan kita menjadi lebih bebas mengekspresikan emosi yang sayangnya disalurkan dengan cara yang salah,” tukas Anggita.
Sayangnya, Twitter sebagai ruang emosi pun semakin terbentuk apalagi semenjak pandemi. Anggita mengungkapkan efek psikologis yang terjadi karena pandemi terlihat dari cara kita berkomunikasi lewat media sosial. Selama pandemi kita mengalami periode stress di mana kita kehilangan me time. Ketika dahulu kita setidaknya memiliki me time misalnya saat bekerja selama perjalanan kita bisa meluangkan waktu sendiri mendengarkan musik, mendengar podcast, dan pergi setelah office hours, kesempatan ini tiba-tiba hilang saat pandemi.
“Me time jadi terbatas, karena ada anak sekolah di rumah atau kita harus bantu-bantu keluarga sebagainya. Media sosial seperti Twitter kemudian jadi pilihan me time, pilihan hiburan, dan pilihan untuk terhubung dengan orang lain. Akibatnya terlihat dari perilaku sosial medianya jadi lebih toksik karena tidak diimbangi,” jelas Anggita.
Karlina pun juga membagikan perspektifnya. Ia menjelaskan peningkatan penggunaan media sosial selama pandemi memengaruhi dinamika percakapan manusia belakangan ini. Emosi-emosi itu terutama rasa marah yang kita lihat di Twitter sebenarnya ada dalam kehidupan sehari-hari. Marahnya orang di Twitter sama dengan di dunia nyata tapi dinamikanya berubah utamanya karena pandemi.
Baca juga: Ramai-ramai Memusuhi Gerakan Feminis Medsos
Ketika pandemi sosial media menjadi satu-satunya medium agar manusia bisa saling berinteraksi. Maka setelah lepas pandemi ada kebiasaan yang dibangun secara tidak sadar untuk berkumpul di media sosial, berkomentar bersama, itu sudah jadi bagian dari keseharian hidupnya.
“Cuma pindah medium komunikasi. Kita kan dikasih predikat sebagai netizen paling julid, memang mungkin seperti itu. Ngegosipin tetangga, ngejulidin orang, ngejulidin artis sekarang bisa ngegosipin, ngejulidin di media sosial yang tadinya di tongkrongan.”
Lalu adakah cara yang sekiranya bisa kita lakukan untuk tidak terlalu terpengaruh dengan kemarahan di Twitter? Dua hal yang perlu dilakukan menurut Anggita adalah untuk mengetahui esensi kenapa kita bermedia sosial dan menyadari media sosial adalah bagian hidup kita bukan keseluruhan hidup kita.
Kita harus menjawab pertanyaan pada diri kita sendiri. Apakah kita bermedia sosial untuk sekedar mencari informasi atau untuk mencari hiburan alternatif? Jika kita tau akan jawaban ini, maka kita akan secara otomatis menyortir apa saja yang kita dapatkan di Twitter. Kita pun jadi lebih bisa menahan diri untuk merespons sesuatu yang sekiranya tidak begitu berguna atau berpengaruh pada hidup kita.
“Cek realitas kita, tujuan kita pake media sosial apa. Kita harus hidup fokus right at the moment dan jangan biarkan media sosial mendikte hidup kamu. Karena jangan lupakan media sosial itu adalah produk dari sebuah pekerjaan yang di dalamnya ada agenda untuk membentuk opini dan mental state masyarakat yang membuat kita secara agresif tergantung.”
Comments