Komika Sakdiyah Ma’ruf menggambarkan rasa takjubnya saat pertama kali memasuki salah satu mal mewah di Jakarta Selatan, beberapa bulan setelah resmi pindah ke ibukota dari Pekalongan, Jawa Tengah, tahun lalu.
“Begitu masuk, saya langsung teriak, ‘ALLAHU AKBAR!’ Bukaaan, bukan mau ledakin bom,” tukasnya, disambut gemuruh tawa penonton. “Tapi karpetnya aja jauh lebih bagus daripada baju yang saya pakai!”
Ciri khas materi komedi Sakdiyah yang menyentil kelompok-kelompok konservatif agama sekaligus sentimen Islamofobia mengemuka dalam acara perdana Magdalene’s Mind Live Podcast yang diselenggarakan Magdalene pada 15 Mei lalu.
Berjudul “Berbagi Cerita Beragama: An Intimate Evening of Comedy and Stories” dan dibungkus dalam buka puasa bersama, acara ini bertujuan untuk membahas pengalaman beragama, sesuatu yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
“Kami memilih topik agama bukan hanya karena acara ini berlangsung pada bulan Ramadan, namun juga karena isu ini selalu menarik perhatian pembaca dan followers kami. Dan dalam agama itu ada keragaman, baik dalam ritual maupun interpretasi ajaran,” ujar Devi Asmarani, Pemimpin Redaksi Magdalene, saat membuka acara sore itu.
“Daripada membuat sebuah panel dengan tema agama, kami memilih untuk mengadakan acara yang lebih santai dan inklusif yang seperti ini. Kebetulan kita juga sudah sangat tegang akibat Pemilu, jadi lebih baik kita ketawa-ketawa,” tambahnya.
Acara Rabu malam itu juga merupakan debut siaran langsung podcast Magdalene’s Mind yang dapat didengarkan di Spotify, Soundcloud, Castbox dan juga KBR Prime. Magdalene juga sekalian meluncurkan buku keduanya, yaitu The Feminist Minds: Two Years of Collected Essays From Magdalene yang berisi kumpulan-kumpulan artikel terbaik berbahasa Inggris selama dua tahun pertama, yang diterbitkan oleh Elex Media Computindo.
Selain Sakdiyah, penampil lain dalam acara yang didukung oleh Femometer dari Danpac Pharma itu adalah aktris Hannah Al Rashid dan komika Ligwina Hananto dan Mega Syalsabillah.
Hannah, yang juga giat dalam aktivisme membela kesetaraan gender, mengisahkan pengalamannya hidup dalam keluarga plural, dari ayahnya yang muslim berdarah Bugis dari Sulawesi Selatan, dan ibunya, warga Perancis yang datang dari keluarga Katolik. Menurutnya, toleransi beragama itu mudah diajarkan dan dipraktikkan dalam keluarga.
“Nenek saya yang seorang Katolik selalu memastikan bahwa makanan yang tersedia di rumahnya halal dan dia selalu menunjukkan arah kiblat agar saya bisa salat di rumahnya,” ujar Hannah, yang salah satu esainya juga dimuat dalam buku The Feminist Minds.
Bagi Hannah yang besar di London sampai lulus kuliah, tantangan muncul justru dari sesama muslim, baru kemudian dari kelompok Islamofobik. Saat sempat berhijab pada 2007, ia mendapatkan penghakiman dari perempuan-perempuan berhijab yang menganggap baju dan penutup kepalanya kurang panjang.
“Orang-orang yang saya anggap akan merangkul saya justru adalah orang-orang yang tidak menerima cara saya berpakaian atau berperilaku. Seakan-akan menjadi seorang muslim yang baik itu hanya satu bentuk, yaitu Muslim yang bisa mengaji, yang menutup tubuhnya dengan kain panjang sampai kaki,” kata Hannah.
Mega Syalsabillah, komika lulusan acara pencarian bakat Stand Up Comedy Academy (SUCA) produksi stasiun TV Indosiar, juga bercerita bagaimana ia sering dihakimi karena ia berhijab namun memiliki tato di tangan.
Lelucon-leluconnya yang mengundang tawa terutama yang terkait dengan stigma terhadapnya yang janda dan ibu tunggal. Ia menertawakan dirinya yang “sulit mencari pahala”, dibandingkan dengan para istri yang menyediakan makanan untuk suami saja sudah mendapatkan pahala.
Sementara itu, konsultan keuangan Ligwina Hananto membuat penonton terpingkal-pingkal karena penggambaran keluarganya sangat homogen dalam hal agama dan juga bagaimana budaya Sunda telah mendominasi keluarga besarnya.
Selain para penampil utama, beberapa pengunjung juga berpartisipasi dalam open mic, dengan spontan berbagi cerita di panggung. Salah satunya adalah Ayu Kartika Dewi, Co-Founder Sabang Merauke dan Milenial Islami yang mendorong toleransi beragama di kalangan anak-anak dan remaja, salah satunya lewat kunjungan ke tempat-tempat ibadah.
“Sebelum berkunjung, kami mengadakan survei dan melihat tingginya prasangka anak-anak terhadap pemeluk agama lain, terutama yang selain Islam. Jika tidak diluruskan, prasangka ini akan menjadi sebuah kebenaran bagi mereka. Setelah kunjungan, ternyata prasangka-prasangka itu luruh,” ujar Ayu.
Beberapa peserta lain berbagi cerita antara lain mengenai keputusannya untuk memasukkan anaknya ke sekolah Kristen untuk belajar toleransi beragama (“walaupun disebut akan masuk neraka oleh sesama Muslim”), sampai keputusannya membuka jilbab.
Jilbab bisa dibilang menjadi tema sentral malam itu, termasuk bagi Sakdiyah, yang berjilbab sejak masih SD “meski lengan dan rok saya masih pendek. Ya, saya di madrasah liberal.”
“Waktu saya memasuki SMP negeri, saya memutuskan untuk tidak memakai jilbab. Karena motto hidup saya adalah ‘jilbab itu jangan sampai menghalangi kita untuk melakukan apa pun, termasuk melepas jilbab’,” candanya.
“Guru saya mendatangi saya dan menyarankan saya untuk terus memakai jilbab. Pada akhirnya pada SMP kelas dua saya kembali memakai hijab. Motivasi? Tertekan. Menyesal juga berjilbab dari dulu, jadi sekarang tidak bisa hijrah,” ujarnya, menyindir fenomena yang meningkat di kalangan muslim negara ini.
Penampilan Sakdiyah menjadi klimaks acara yang meriah dan full house di Metro Coffee and Bar, Jakarta Pusat. Mungkin perkataannya selama ini adalah benar, bahwa radikalisme dapat dilawan dengan berbagai cara, tetapi cara terbaik adalah dengan komedi.
Baca juga mengenai peran laki-laki dalam kesetaraan gender.
Comments