Sebagian besar dari kita mungkin lebih mengenal Korea Selatan dari budaya popnya, baik lewat serial televisi maupun musik. Siapa sangka ternyata negara itu tidak hanya memilik oppa-oppa keren tapi juga menghadapi masalah konservatisme dan fundamentalisme agama, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Indonesia, dan sejumlah negara lain.
Dalam sebuah kuliah umum yang diadakan oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada awal Juli ini, dosen Ilmu Politik Department di Universitas Wisconsin, Eunsook Jung mengatakan ada kesamaan dalam kelompok fundamentalisme Kristen di Korea Selatan dan fundamentalisme Islam di Indonesia, dan bahwa ada penguatan kelompok fundamentalisme agama ini yang mendominasi sistem politik negara demokrasi.
Meskipun masyarakat Korea Selatan secara umum tidak religius, namun kelompok Kristen konservatif memiliki kekuatan untuk memengaruhi pemerintah dengan agenda mereka, dengan membawa isu utama bagaimana moralitas nasional sedang terancam, ujar Eunsook. Salah satu contoh yang menggambarkan pengaruh mereka adalah Undang-Undang Anti-Diskriminasi yang sudah hampir 10 tahun diajukan sudah lima kali kalah suara dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Korea Selatan.
“Di Korea Selatan, kelompok ini memiliki aliansi yang sangat besar, dari mulai pengusaha hingga politikus. Mereka memiliki kesamaan dalam proses menyebarkan ide-ide dari pihak fundamentalisme agama. Mereka memiliki persepsi bahwa ada sebuah ancaman untuk mereka, seperti ancaman dari alam, narkoba, lalu LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Dan dalam ancaman tersebut merujuk pada kerugian moralitas nasional,” ujar Eunsook.
Baca juga: Fanatisme atas K-pop dan opresi terhadap perempuan
Menurutnya, masyarakat banyak yang mempercayai persepsi tersebut karena rasa tidak aman dengan perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat. Mereka kemudian memilih pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh kelompok tersebut, yang mengedepankan nilai-nilai ketahanan keluarga.
Selain itu, menurut Eunsook, Indikator moralitas yang mereka bangun saat ini juga banyak mengatur tubuh perempuan, maka dari itu gerakan perempuan saat ini bersaing berat dengan narasi dari gerakan fundamentalisme agama.
“Tubuh perempuan saat ini menjadi sebuah wilayah perang antara kubu konservatif dan progresif, ini terjadi di berbagai negara. Hal ini dikarenakan adanya sistem patriarki yang berkembang dalam masyarakat di belahan dunia mana pun,” ujarnya.
Ketidakpahaman masyarakat tentang konsep feminisme dan kesetaraan gender juga membuat adanya resistensi terhadap gerakan perempuan, yang dianggap sebagai bentuk keegoisan perempuan. Seperti halnya di Indonesia, konsep feminisme juga masih banyak disalahartikan oleh sebagian masyarakat Korea Selatan. Hasil riset daring Korean Women’s Development Institute, sebuah lembaga riset di bawah kantor Perdana Menteri Korea Selatan yang berfokus pada isu perempuan dan keluarga, menunjukkan bahwa lebih dari setengah laki-laki Korea Selatan yang berumur 20an memiliki perilaku anti-feminis dan terlibat dalam diskriminasi gender dalam bentuk “permusuhan”.
Laporan tersebut, yang dipublikasikan Korean Herald pada Februari 2019, memperlihatkan bahwa sikap anti-feminis tersebut lebih rendah pada responden pria berumur lebih dewasa. Misalnya, hanya 38,7 persen pada pria berumur 30an, 18,4 persen pada pria 40an, dan 9,5 persen pada usia 50an. Total responden ada 3.300 orang.
Baca juga: Menjadi fans oppa yang berdaya adalah mission possible!
Sementara itu, kebijakan-kebijakan Pemerintah Korea Selatan banyak yang merampas hak-hak perempuan, menurut Eunsook. Salah satunya adalah larangan aborsi yang sudah berjalan 66 tahun, yang mengandung hukuman hingga satu tahun penjara atau denda sebesar 2 juta won yang setara dengan Rp24 juta.
Eunsook mendorong adanya strategi pemenuhan hak-hak perempuan dengan kembali memperhatikan narasi-narasi yang digaungkan kelompok fundamentalisme agama, dan membuat narasi untuk menghapus moral panik yang ditimbulkan oleh kelompok tersebut.
“ Salah satu narasi yang sering digunakan oleh mereka adalah nilai ketahanan keluarga yang konservatif. Kita perlu mendefinisikan ulang nilai-nilai keluarga yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok fundamentalis. Kita perlu membuat narasi yang rasional dan sejalan dengan hak-hak perempua,”ujar Eunsook.
Selain itu, keunggulan yang dimiliki kelompok fundamentalisme agama adalah aliansi yang mereka bangun dengan berbagai sektor seperti sektor swasta dan partai politik.
“Maka dari itu, kita sangat perlu membuat aliansi untuk membantu dalam gerakan sosial dan perjuangan kita untuk menuntut peran pemerintah dalam memenuhi hak-hak perempuan,” ujar Eunsook.
Comments