R adalah bocah kelas 4 SD dari Aceh Timur yang tewas saat berusaha menyelamatkan ibunya yang diperkosa. Dengan senjata tajam, orang yang memperkosa sang ibu mengakhiri hidup R dengan sadis, menambah kebiadaban yang dilakukannya dalam satu hari itu. Tewasnya R sontak meraih perhatian publik dan media di seluruh Indonesia sampai negara-negara tetangga.
Dia disebut pahlawan kecil yang rela merenggang nyawa demi menyelamatkan ibunya. Berbagai potret diri dan rekam identitas asli R—yang seharusnya dilindungi—pun disebarluaskan lewat berita-berita itu dengan dalih menyebarluaskan kebaikan dan kisah mengharukan. Glorifikasi kematian R yang media lakukan pun mengubah sebuah kisah pilu yang memuat banyak dimensi struktural mengenai kekerasan menjadi kisah panas yang mengundang emosi publik.
Peneliti media dari Remotivi, Faris Dzaki, menyebut bahwa pemberitaan-pemberitaan media terhadap kasus R telah membuat publik dan media itu sendiri luput menyoroti akar pemasalahan yang sesungguhnya, yaitu kerangka struktural dari kasus kekerasan seksual yang berdampak pada lahirnya kekerasan-kekerasan dalam bentuk lain.
“Media memberitakan kasus ini secara periodik, dalam artian menunggalkan kasus ini menjadi heroisme dan pembunuhan yang dilakukan seseorang, alih-alih menyoroti ini sebagai adanya rantai kekerasan seksual di situ. Ini kebiasaan media yang berbahaya. Sama halnya ketika memberitakan korban kekerasan seksual secara tidak berimbang,” kata Faris kepada Magdalene.
Baca juga: Riset: Hanya 11% Perempuan Jadi Narasumber Media di Indonesia
“R memang sudah menjadi korban. Prinsip perlindungan anak kan identitas korban dilindungi supaya masa depannya enggak terganggu. Tapi prinsip yang sebenarnya perlu dipakai itu perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, yaitu ibunya. Ketika media mengungkap identitas asli R, sebenarnya jadi mudah mengenali siapa ibunya yang diperkosa ini,” ia menambahkan.
Kebiasaan buruk ini, kata Faris, didasari oleh kecenderungan media yang mendramatisasi sebuah peristiwa sehingga bisa membuat khalayak mengeluarkan emosi setelah membaca berita mereka. Misalnya dalam kasus ini, media ingin membuat khalayak merasa marah dan sedih, ujar Faris. Media kemudian jadi membingkai kasus ini secara kronologis dan menggeser fokus permasalahan yang seharusnya disoroti.
“Nature sensasionalisme ini berimplikasi pada wacana yang muncul. Ketika media memberitakan Samsul Bahri si pemerkosa ibu R itu tewas di dalam sel, itu jadi pemberitaan yang berbeda dari kasus awalnya,” ujar Faris.
“Karena di awal dibingkai dalam bentuk heroisme, maka kasus selanjutnya dia membingkai dalam bentuk pembalasan dendam. Padahal itu tidak menyelesaikan trauma korban, tidak menyelesaikan persoalan kekerasan seksual secara umum juga,” ia menambahkan.
Baca juga: ‘Framing’ Media, Sistem Peradilan yang Timpang Membunuh Tersangka Lesbian
Perlindungan korban pemerkosaan
Faris menggarisbawahi beberapa kunci permasalahan dari cara media membingkai kasus ini. Yang pertama adalah pemuatan kata kunci ibu muda sebagai embel-embel ketika menyebutkan ibu R yang menjadi korban pemerkosaan. Penggunaan terminologi “ibu muda” ini dinilai Faris sebagai justifikasi bahwa seorang ibu yang masih muda akhirnya layak dan wajar saja dijadikan objek pemerkosaan. Hal ini juga membuat pengisahan yang terbentuk berfokus pada konteks seksual.
Yang kedua adalah pemberitaan yang terfokus pada pembunuhan terhadap R dan luput menyoroti kasus kekerasan seksual sebagai sesuatu yang keji. Menurut Faris, seharusnya kasus pemerkosaannya mendapatkan banyak porsi sorotan dalam pemberitaan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
“Jadi ketika jurnalis membuat berita-berita ini, seharusnya mereka memikirkan, apakah berita ini punya implikasi terhadap ibunya R atau perempuan-perempuan lain yang ada di posisi itu,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, bahwa pemberitaan media terhadap kasus R yang mengeksploitasi identitas pribadinya akan memperlambat proses pemulihan ibu dan keluarga lainnya.
“Korban anak enggak boleh diekspos itu karena traumanya tidak hanya punya anak itu, tapi juga milik (orang lain di sekitarnya) secara keseluruhan,” kata Rita kepada Magdalene.
Pemberitaan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan seharusnya berorientasi pada fokus penyelesaian masalah ketimbang menjual derita serta identitas korban.
“Dari aspek kepahlawanan mungkin dia memang bisa menjadi salah satu model. Tapi (pemberitaan) dalam konteks identifikasi korban ini, apalagi ada foto-fotonya yang enggak pas itu, menjadi perdebatan dalam hal tindak pidana anak. Apalagi identitasnya, termasuk teman-temannya harus dilindungi,” tambahnya.
Salah fokus pemberitaan
Manajer Komunikasi dan Relasi Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia, Marsha Habib mengatakan, pemberitaan-pemberitaan media soal pemerkosaan dan kasus R ini merupakan tindakan yang tidak menghargai hak R dan keluarganya atas privasi, kendati didasarkan niat yang baik untuk membuat publik mengenali R dan keberaniannya.
“Tapi niat baik saja tidak cukup. Yang harusnya dilakukan adalah menyebarkan kepedulian dan keprihatinan. Kita jadi salah fokus. Terkadang malah terlalu fokus pada kejamnya kejahatan, tapi lalu lupa betapa korban dan keluarga juga perlu privasi dan dukungan rehabilitasi,” kata Marsha.
“Sangat disayangkan media memberitakan kasus ini lebih fokus ke bagaimana R dibunuh, alih-alih fokus pada bagaimana agar sistem pidana kita bisa memastikan tidak ada orang yang mengulangi tindakan kriminalnya,” tambahnya.
Baca juga: Jalan Panjang Mengupayakan Hak Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan
Menurut Marsha, dalam memberitakan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, media seharusnya berorientasi pada fokus penyelesaian masalah ketimbang menjual derita serta identitas korban. Hal itu juga berkaitan dengan keberadaan media yang berperan penting dalam mengedukasi khalayaknya mengenai fokus permasalahan kekerasan pada anak, katanya.
“Media juga berperan penting dalam mempromosikan berbagai layanan yang tersedia apabila terdapat korban yang mengalami hal yang sama, atau memberitakan ketidaksiapan sistem dalam mencegah dan merespons kekerasan terhadap anak dan perempuan,” ujar Marsha.
Faris dari Remotivi mengatakan, kasus ini sebenarnya bisa menjadi momentum media melaksanakan tanggung jawabnya untuk melindungi perempuan yang berada dalam kekerasan. Misalnya, dengan bingkai yang menuntut kasus ini dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menuntut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan, ujar Faris.
“Nah, ketika media memberitakan dengan kontekstual, dengan konteks-konteks yang struktural, maka media juga sudah menjadi R yang lain. Dia menjadi pelindung bagi korban-korban kekerasan seksual lainnya. Karena dia bisa menuntut adanya struktur yang bisa melindungi korban,” kata Faris.
Comments