Women Lead Pendidikan Seks
December 13, 2021

Bertabur Kekerasan, Mungkinkah ‘Fandom’ Jadi Ruang Aman Perempuan?

Sebagai kelompok yang kerap distigma oleh masyarakat, perempuan penggemar melalui fan activism membangun solidaritas dan menciptakan ruang aman.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Culture // Korean Wave
fandom kpop toxic
Share:

Secara sosial, fandom yang didominasi oleh laki-laki relatif dianggap valid. Sebaliknya, fandom yang dijejali perempuan dicap sebagai gejala disfungsi sosial atau kerumunan yang histeris. Inilah kenapa, ada kerentanan dalam fandom yang didominasi perempuan.

“Eksistensi mereka kerap dikerdilkan, dikecilkan, direndahkan hanya karena suka K-Pop misalnya. Berbagai stereotip atau stigma negatif pun melekat, mereka dicap sebagai individu militan, histeris, halu, dan bodoh,” ujar Hera Diani, co-founder Magdalene dalam webinar #SDGTalks: Fan Activism Against Gender Based Violence pada 9 Desember 2021.

Apa yang diungkapkan Hera bukan sekadar pepesan kosong. Secara historis, perempuan penggemar tidak pernah bisa lepas dari bentuk ketidakadilan gender. Dalam penelitian bertajuk Beatlemania: Girls Just Want to Have Fun (1992), Barbara Ehrenreich, Elizabeth Hess, Gloria Jacobs memaparkan bagaimana stigmatisasi kelompok perempuan penggemar telah eksis sejak zaman baheula, termasuk muncul di tengah penggemar The Beatles, Beatlemania.

Dalam penelitian itu dijelaskan, masyarakat patriarkal cenderung mendikte perempuan tentang bagaimana harus bersikap, wajib jadi orang baik dan suci (pure). Di saat bersamaan, mereka juga diberikan tanggung jawab sepihak untuk memelihara atau menjaga moral masyarakat.

Sehingga, hal-hal yang mengarah pada pembiaran kontrol, seperti berteriak, pingsan, berlari-lari dalam kelompok (yang dapat dilihat ketika para penggemar mengejar idolanya) merupakan contoh konkret kegagalan perempuan dalam menjaga kemurnian moral yang dimaksud.

Baca Juga: Tak Cuma ‘Photo Card’: Bagaimana Penggemar K-Pop Terlibat Aktivisme

Usaha mengontrol perempuan dalam bersikap lengkap dengan stigmatisasi, mengarah langsung pada kekerasan berbasis gender. Dalam hal ini, Hera mencontohkan, beberapa waktu lalu, ARMY dari Bangladesh mendapatkan pelecehan verbal di ruang publik hanya karena identitas mereka sebagai penggemar.

Tak hanya di Bangladesh, seorang remaja Turki bunuh diri karena perlakukan abusif ayahnya sendiri. Celakanya, media justru memberitakan kematiannya sebagai bagian dari kecanduan K-Pop.

“Remaja perempuan ini mengalami kekerasan berlapis, namun media malah membingkainya sebagai kasus kecanduan K-Pop dan bahaya bunuh diri di kalangan remaja. Bahkan sampai mengundang psikolog, ini kan namanya sudah memelintir fakta yang ada. Ketika fans lain ingin meluruskan dan mengelaborasi fakta yang ada, mereka justru dibilang obsesif dan emosional,” imbuh Hera.

Baca Juga:  K-Popers juga WNI: Ketika Penggemar K-Pop Tolak Omnibus Law

Aktivisme Penggemar dan Keberagaman Identitas

Fandom K-Pop di Indonesia memang didominasi oleh perempuan. Pun, mereka pula yang paling sering menerima ketidakadilan gender, mulai dari subordinasi, stigmatisasi, dan kekerasan berbasis gender di ruang fisik atau dunia maya. Beruntung, perempuan tak tinggal diam. Mereka melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Salah satunya melalui fan activism atau aktivisme fans. Praktik fan activism adalah dengan membangun diskusi dan melakukan berbagai inisiasi berbasis sosial kemanusiaan.

Karena perlawanan itulah, Pristi Gusmatahati, Deputy General Manager SM Entertainment Indonesia mengatakan, fandom merupakan lingkungan yang relatif aman. Pasalnya, selain saling berbagi pengetahuan, mereka biasanya mempunyai ikatan dan kepedulian yang kuat satu sama lain. 

Fandom adalah safe space. Fan activism ini recently increasing karena fandom semakin besar dan berkat media sosial, tapi ini sebenarnya bukan yang hal baru. Mereka banyak melakukan hal sama, crowdfunding, menyalurkan dana tersebut atas nama fandom. Sense of belonging dan collectiveness membuat mereka bisa melakukan ini.”

Gustika Jusuf-Hatta, co-director Girl, Peace, and Security dalam webinar yang sama, berujar, kekuatan kolektif para perempuan penggemar dalam menginisiasi fan activism muncul dari sebuah diskusi.

Fandom ini leaderless, berbeda dengan ormas yang memiliki ketua. Di dalam fandom, tidak ada yang mendikte kita berkata apa atau bertindak apa. Ketika idol menyuarakan sesuatu, itu tidak hanya itu menjadi kebanggaan sendiri. Namun, itu juga membangun diskusi antarpenggemar. Penggemar yang memahami isu terkait, menambahkan fakta-fakta lalu memberikan awareness, dan penggemar lain ikut penasaran tentang apa yang terjadi.”

Dari sini gerakan-gerakan tumbuh dari penggemar. ARMY misalnya, memiliki ARMY Help Center, organisasi yang bergerak dari isu kesehatan mental. Jadi berada dalam fandom membuat kita bergerak juga dan memperlihatkan kekuatan kolektif kita untuk melakukan sesuatu.”

Kendati fandom telah melakukan fan activism, kata Hera, bukan berarti aktivisme ini semata-mata adalah tanggung jawab mereka. Penekanan Hera ini dinilai perlu karena banyak sekali pihak, terutama lelaki yang masih menstigma perempuan penggemar tapi di satu sisi, meminta para perempuan penggemar melakukan aktivisme agar posisi mereka jadi bernilai.

Jangan dibebankan, kami bukan aktivis juga, sudah dilecehkan tapi dibebankan. ‘Mana, nih K-Popers, nih, kok enggak lawan sawit?’ Ya gimana ya? Yang ditanyakan justru seharusnya peran pemerintah atau policy maker. Jangan karena mereka (fandom) besar dan aktif, jadi (tanggung jawab) dibebankan ke kita,” ungkap Hera.

Baca Juga:   BTS ARMY: Perempuan Cuma Ingin Bebas Berekspresi

Fandom Membangun Ruang Aman

Fandom yang didominasi perempuan yang notabene kerap mengalami ketidakadilan gender, ada peran lebih besar yang bisa dimainkan. Atik Kumala Dewi dari Gender and Social Inclusion Officer UNDP Indonesia mengungkapkan, bagaimana kekerasan berbasis gender bisa dicegah mulai dari individu dalam fandom.

“Sebagai fans, pencegahan kekerasan berbasis gender bisa dimulai dari diri sendiri. Dari awal memahami apa itu kekerasan berbasis gender? Apa itu tindakan-tindakan sesuatu yang mengarah pada kekerasan berbasis gender? Misalnya dari bahasa-bahasa yang seksis itu seperti apa. Jadi mau tidak mau kita harus belajar. Source juga sebenarnya sekarang sudah banyak bisa kita dapatkan, mulai dari internet hingga bertanya pada teman sesama fans.”

“Ketika sudah paham, barulah kita mulai encourage, meng-influence orang-orang sekitar, dan membuat supportive ecosystem yang aman dan mengayomi korban kekerasan. Sehingga, mereka bisa melaporkan kasus yang mereka alami. Korban atau potential victim juga bisa lebih tenang nanti.”

Atika menekankan bagaimana langkah-langkah ini perlu dilakukan penggema. Ini mengingat kita sering kali tidak menyadari diskriminasi yang dialami. Dengan demikian, mendorong penggemar untuk memiliki pemahaman isu gender dan menciptakan ekosistem yang baik bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya sangat dibutuhkan.

Environment ini sangat diperlukan untuk merasa bersuara, karena kalau tidak mereka tidak akan keluar dalam sebuah siklus kekerasan ini,” ucapnya.

Hera pun lalu menambahkan, langkah kecil penggemar yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan berbasis gender yang pertama adalah dengan self-censorship. Itu penting lantaran hari-hari ini, ruang digital sangat mudah dijadikan medium bagi pelaku untuk melakukan kekerasan berbasis gender dengan akun-akun anonymous. Hera menyadari memang pada kenyataannya, seperti perempuan yang dituntut lebih untuk menjaga diri, tapi menurutnya, hal ini sebagai bagian dari keamanan digital.

Pada akhirnya, kekerasan berbasis gender tidak bisa begitu saja dicegah tanpa usaha konkret. Fan activism dalam bentuk sekecil apapun, mulai dari saling mengingatkan, mengedukasi, hingga menginisiasi gerakan adalah usaha kolektif penggemar dalam menciptakan ruang aman, tidak hanya untuk bagi diri mereka sendiri tetapi juga perempuan dan kelompok rentan lain.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.