“Keluar, saya bilang keluar!”. Suara itu masih terngiang di telinga saya, teriakan seorang guru memerintahkan salah seorang murid keluar dari ruang guru. Ketika itu saya di sana, sedang mengisi presensi harian. Saya melihat murid yang diteriaki guru tersebut perlahan langsung meninggalkan ruangan. Tak ada dialog. Saya mematung. Tak bersuara. Tubuh masih bergetar. Entah murid tersebut mengalami hal yang sama atau tidak. Mudah-mudahan tidak. Kalau iya, saya juga memakluminya. Suara guru itu terdengar keras sekali.
Belum beres saya tertegun karena kejadian itu, hati saya kembali terenyuh setelah membaca kabar di sebuah media sosial. Ada berita viral yang beredar, murid salah satu SMP negeri mengalami kekerasan fisik dari guru di kota Surabaya. Sang guru mengaku marah karena murid tersebut tidak mampu menjawab soal di depan kelas. Emosi marah itu dia lampiaskan dengan kekerasan fisik pada muridnya. Lagi-lagi saya merasa dada ini sesak.
Saya dan teman-teman calon guru penggerak pun pernah bertanya tentang hal ini saat kami melakukan sesi berbagi kepada bapak ibu guru di sekolah: Bagaimana jika bapak/ibu mengalami keadaan ada seorang murid yang abai terhadap pelajaran ketika bapak/ibu mengajar? Misalnya murid tersebut sibuk bermain ponsel atau mendengarkan musik pada ponselnya memakai headset.
Salah seorang guru menjawab, “tentunya akan saya hukum lari atau push up”. Jawaban hukuman fisik spontan tersebut kembali membangkitkan tanya. Sampai kapan sanksi fisik masih akan menjadi solusi?
Baca juga: 5 Alasan Mengapa Kamu Perlu Baca Fanfiction Genre Angst
Kekerasan pada murid, baik fisik maupun verbal, saya yakin lebih banyak merugikan kedua belah pihak. Baik murid maupun guru. Kejadian yang saya alami di ruang guru pada awal tulisan ini merupakan bagian dari kekerasan verbal guru terhadap murid. Teriakan meminta murid keluar dengan nada tinggi, bisa jadi kenangan buruk buat murid itu.
Sang murid belum menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan sudah langsung diminta keluar. Tidak terjadi proses dialog. Buntu. Satu arah.
Bekas tindakan guru ini berpotensi berdampak pada anak. Bisa jadi, dia akan menarik diri dari proses pembelajaran atau bahkan dia akan tetap melanjutkan pembelajaran, tapi dengan pola belajar yang tidak lagi terarah.
Benang kusut ini, tentu, perlahan harus dapat diurai dan dituntaskan oleh generasi bapak ibu guru saat ini. Program pemerintah berupa Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang saat ini saya ikuti, terbukti membuka wawasan baru kepada saya. Terutama, mengenai pentingnya memahami posisi guru, mengetahui kebutuhan anak, dan apa yang dapat guru lakukan tanpa melakukan kekerasan untuk mendisiplinkan murid. Saya dan teman-teman calon guru penggerak di sekolah mempelajarinya dan sudah mulai mempraktikkannya. Termasuk berbagi kepada bapak ibu guru lain untuk perlahan turut mengadopsinya. Sehingga perlahan pemikiran dan tindakan yang berpotensi menjadi kekerasan kepada murid dapat bapak ibu guru hindari.
Baca juga: Setop ‘Book Shaming’, Berikut 5 Manfaat Baca Novel Fiktif
Dalam program guru penggerak, saya mendapatkan pemantik diskusi berupa konsep budaya positif. Dalam konsep ini, ada enam hal besar yang harus dipegang dan dipahami guru, yang kemudian harus dipraktikkan jadi prinsip melakukan upaya nonkekerasan dalam mendidik murid.
Pertama, perubahan paradigma. Guru harus merubah paradigma. Apa saja paradigma itu? Menurut William Glasser, paradigma itu berupa ilusi guru mengontrol murid, ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, ilusi bahwa membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, dan ilusi bahwa semua orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Guru harus kembali menyadari bahwa murid bukan kerbau yang bisa dicocok hidungnya begitu saja, lalu menurut. Murid adalah kumpulan individu yang memiliki otonomi atas dirinya sendiri. Posisi guru adalah sebagai pendamping untuk mengembangkan potensi mereka. Memaksa, menundukkan—apalagi dengan kekerasan—merupakan paradigma usang yang wajib bapak ibu guru lunturkan perlahan.
Kedua, guru harus memahami disiplin positif dan motivasi perilaku manusia. Guru membantu murid untuk berperilaku dengan mengacu pada nilai kebajikan universal. Proses membantu ini juga harus memperhatikan tiga motivasi yang mendasari perilaku murid. Yakni motivasi untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, motivasi untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, dan motivasi untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai yang mereka percaya. Ketika guru mampu memahami konsep ini, maka potensi untuk melakukan penghakiman awal kepada murid dapat perlahan luntur.
Ketiga, guru harus mampu membuat keyakinan keyakinan kelas. Keyakinan kelas ini merupakan fondasi yang akan menjadi landasan dalam memecahkan persoalan di sekolah/kelas. Keyakinan kelas berisi nilai-nilai kebajikan yang dirumuskan dan disepakati bersama murid. Ada beberapa prinsip keyakinan kelas yang wajib bapak ibu guru perhatikan dalam mendampingi murid mendiskusikan dan merumuskan keyakinan kelas. Prinsip itu antara lain, keyakinan kelas dibuat dalam bentuk pernyataan positif. Keyakinan kelas merupakan sesuatu yang dapat diterapkan pada lingkungan sekolah, semua murid di kelas memiliki kesempatan menyampaikan dan mengusulkan keyakinan kelasnya, dan keyakinan kelas dapat ditinjau dari waktu ke waktu menyesuaikan usul murid.
Baca juga: Gemar Baca Cerita Toksik, Apakah Saya Feminis Gagal?
Keempat, guru harus memahami pemenuhan kebutuhan dasar murid. Tiap individu, termasuk murid kita sejatinya melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Termasuk ketika mereka melakukan tindakan malasuai atau tindakan tidak sesuai keyakinan kelas yang mereka buat. Kebutuhan dasar itu bisa berupa kebutuhan kasih sayang, kebutuhan penguasaan/merasa punya kekuatan, kebutuhan kesenangan, dan kebutuhan kebebasan. Ketika menghadapi murid yang sedang melakukan tindakan malasuai, ajak murid tersebut berdialog terlebih dahulu. Tujuannya untuk mengetahui apa kebutuhan dasar yang sedang berusaha dia penuhi. Karena dari situlah guru bisa menentukan langkah berikutnya untuk memberdayakan murid melaksanakan kegiatan positif.
Kelima, guru mengetahui posisi kontrol. Ada lima posisi kontrol bagi guru: sebagai penghukum, figur yang membuat murid merasa bersalah, teman, pemantau atau yang memonitor, dan guru sebagai manajer. Harapan terbesarnya, guru dapat mengukur posisi kontrolnya saat ini dan mengupayakan untuk menghindari posisi kontrol sebagai penghukum dan membuat murid merasa bersalah. Kemudian beralih menjadi posisi kontrol manajer. Pada posisi kontrol manajer, guru berperan memberdayakan murid untuk mengenal diri mereka sendiri dan berperilaku lebih baik.
Keenam, guru memahami dan melaksanakan segitiga restitusi. Ada tiga langkah pada kegiatan ini yang guru lakukan. Pertama menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Intinya pada kegiatan ini, setelah guru mengetahui lima hal sebelumnya, guru melakukan dialog dengan skema segitiga restitusi. Guru mengajak murid merefleksikan kembali kekuatan mereka, dan menjembatani tindakan malasuai yang telah dia lakukan menjadi tindakan produktif dan positif untuk dirinya. Sehingga dia bisa kembali yakin pada dirinya, bahwa dia mampu bangkit dan belajar dari kesalahannya. Untuk kemudian berkembang menjadi pribadi positif.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments