Setiap bulan Juni, komunitas minoritas seksual merayakan Pride Month sebagai wadah bagi mereka untuk menyuarakan aspirasi kepada publik. Seperti apa sejarahnya?
Pride Month memperingati para relawan aktivis minoritas seksual di Kota New York yang terlibat kerusuhan dengan polisi pada 28 Juni 1969 di The Stonewall Inn, Greenwich Village. The Stonewall Inn sendiri adalah sebuah gay bar tempat komunitas dari minoritas seksual ini bersosialisasi tanpa merasakan diskriminasi dari masyarakat setempat.
Pada hari itu, sembilan orang polisi menangkap karyawan dengan tuduhan menjual minuman alkohol tanpa izin. Namun tak hanya sampai di situ saja, polisi yang sama juga melakukan kekerasan pada penjaga bar, mengamankan bar, dan menangkap siapa pun yang tidak mengenakan pakaian yang mengidentifikasikan jenis kelaminnya, sesuai dengan hukum yang berlaku di New York pada saat itu. Kerusuhan tercatat berlangsung selama lima hari. Untuk mengenang peristiwa tersebut, Presiden AS ke-44, Barack Obama memerintahkan pembuatan monumen khusus di tahun 2016.
Namun, hanya beberapa negara saja di dunia ini yang mengizinkan pelaksanaan Pride Month. Juga walaupun Pride Month diperbolehkan, lantas apakah para komunitas LGBTQ+ ini sudah mendapat hak untuk dapat hidup layaknya manusia yang lain? Apakah mereka akan bebas dari persekusi orang-orang yang membenci komunitas minoritas seksual ini?
Baca juga: Kita Lupa Mendoakan Hal-hal Ini
Banyaknya persekusi yang dihadapi oleh komunitas LGBT sendiri, entah melalui keluarga, pertemanan, masyarakat, bahkan dalam lingkup pelayanan di gereja sendiri, membuat mereka menjadi takut untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Cacian, hinaan, bahkan penolakan dari orang-orang yang membenci kaum minoritas seksual sendiri membuat mereka tidak mencintai dirinya sendiri oleh karena stigma “penyakit mental yang menular”, “dosa yang sangat keji”, “bukan budaya kami”, dan “tidak bisa mempunyai anak” yang sudah melekat di pikiran para pembenci komunitas tersebut.
Tak hanya hal itu, hak mereka untuk melayani Tuhan, baik di gereja maupun di luar gereja, ikut dirampas oleh para pembenci karena menurut pihak pembenci, kaum minoritas seksual tersebut tidak layak untuk mendapat bagian dari Kerajaan Allah itu sendiri akibat gender dan seksualitas mereka. Akibatnya, beberapa dari kelompok LGBT ini meninggalkan keimanannya terhadap Kristus dan mulai mencari agama atau aliran kepercayaan lain yang dapat menerima mereka sepenuhnya, sedangkan sisanya rela menutupi atau menyangkal identitas aslinya.
Padahal, Yesus sendiri telah memberi teladan bahwa kita tidak boleh menghakimi sesama manusia agar kita tidak dihakimi oleh orang lain (Matius 7 : 1), apalagi jika kita menilai dosa seseorang sama padahal hanya Tuhan saja yang dapat menentukan (Yohanes 8 : 1-11). Kita sebagai umat manusia tidak memiliki hak untuk menghakimi satu dengan yang lainnya, melainkan kita sebagai umat kepunyaan Allah harus saling mengasihi masing-masing dari kita sama seperti kita telah mengasihi diri kita sendiri (Matius 22 : 39). Rasul Yakobus juga mengingatkan agar kita dapat menerima sesama kita, apa pun latar belakangnya (Yakobus 2 : 1-10).
Baca juga: Menemukan Kedamaian dalam Layanan Ibadah Daring
Mungkin terdengar klise bagi sebagian orang, namun jika mengatakan itu sangat klise, apakah berarti sabda Tuhan merupakan suatu hal yang memang klise di kehidupan kita? Sedangkan Tuhan penuh kasih, lemah lembut dan murah hati?
Memang manusia memiliki banyak keragaman yang unik, termasuk mengenai gender & seksualitas ini, namun janganlah kita lupa jika manusia juga diciptakan seturut dengan gambar dan rupa Allah itu sendiri atau Imago Dei (Kejadian 1 : 26-27).
Maka dari itu, kita sebagai umat kepunyaan Allah harus bisa menghargai dan mengasihi semua manusia, termasuk komunitas LGBT dalam menyuarakan hak mereka untuk dapat hidup selayaknya manusia lain. Karena Tuhan pun telah mengasihi kita, umat manusia, sehingga kita pun juga harus bisa mengasihi satu sama lain, walaupun mereka memiliki gender dan seksualitas yang berbeda.
Happy Pride Month!
Comments