Sebagai anak yang dibesarkan internet, saya tak asing dengan cerita yang memiliki adegan seksual yang ditulis secara implisit sampai benar-benar eksplisit atau smut. Cerita semacam itu kali pertama saya temui dalam bentuk fanfiksi, baik serial televisi, film, bahkan grup idola K-pop sekitar tiga belas tahun lalu. Saat itu, orang tua saya memberikan kebebasan berselancar di internet menggunakan flash modem sebagai imbalan larangan bermain dengan anak tetangga sepulang sekolah.
Sebagai anak bungsu, saya baru bisa mengakses komputer saat kedua kakak saya sudah tertidur. Berbeda dengan mereka yang menggunakan internet untuk bermain gim atau mencari musik, saya terobsesi dengan serial Glee dan bisa begadang sampai pukul empat subuh hanya untuk mengulik seri musikal itu. Saya pun menghabiskan masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan jadwal tidur berantakan yang menjadi kebiasaan sampai sekarang.
Namun, semakin lama menghabiskan waktu di dunia maya, saya menemukan situs fanfiksi. Bak jatuh di surga, fanfiksi menawarkan dunia alternatif yang membuat fantasi soal Glee semakin liar. Sambil menyelam minum air, saya juga belajar Bahasa Inggris dengan membaca ceritanya.
Baca juga: Tiada Rotan Akar pun Jadi, Dilema Remaja Belajar Seks Lewat Pornografi
Awalnya, kisah yang saya baca sekadar roman picisan, ditulis dengan kualitas rendah, sampai akhirnya saya menemukan fanfiksi yang diberi tanda peringatan lime atau lemon. Lantaran penasaran, saya membacanya dan terkejut sebab si penulis menarasikan dua ribu lebih kata soal aktivitas seksual dengan sangat rinci. Curiosity killed the cat.
Satu kali membaca cerita erotis, ternyata tidak membuat saya kapok. Pasalnya, saya sangat mencintai fanfiksi dan banyak cerita yang menurut saya tulisannya “berkualitas” pasti mengandung satu atau dua adegan seksual eksplisit. Cerita smut yang awalnya asing dan “menakutkan” menjadi sesuatu yang sangat biasa.
Kegemaran membaca fanfiksi itu menjadi hobi masa kecil yang saya bawa sampai dewasa. Masalahnya, setelah tiga bulan mengonsumsi obat antidepresan akibat depresi yang tak pernah ditangani hampir satu dekade, gairah dan kesenangan yang konstan hadir saat membaca fanfiksi smut mendadak lenyap. Cerita yang jadi bacaan di kala bosan itu tak pernah lagi saya sentuh lebih dari dua bulan.
Saya pun bertanya pada diri sendiri, apakah ini pengaruh dari obat yang saya konsumsi?
Pertanyaan itu dijawab psikiater Theresia Citraningtyas, yang juga pernah saya temui untuk sesi konsultasi daring beberapa kali. Ia bilang, menurunnya libido dan gairah seksual seseorang memang efek samping dari antidepresan. Jawaban itu memberikan saya ketenangan, tetapi memunculkan pertanyaan baru. Apakah kegelisahan tak lagi menikmati cerita smut mengindikasikan kalau saya kecanduan cerita erotis bahkan pornografi?
Baca juga: Bak Jarum dalam Jerami, Sulitnya Cari ‘Anime Hentai’ yang Sehat
Apakah Saya Don Jon?
Alkisah seorang laki-laki idaman banyak perempuan, Jon Martello, yang kecanduan film biru. Walaupun, Martello memiliki kehidupan seksual yang aktif, ia tak pernah merasakan kepuasan dari hubungan seks. Laki-laki keturunan Italia itu baru bisa mencapai orgasme ketika menonton film biru.
Setiap hari ia mengakses situs pornografi dan adiksinya itu menghancurkan hubungan romantisnya dengan Barbara Sugarman. Ia sama sekali tak bisa merasakan intimasi dengan orang lain akibat kecanduan pornografi. Karenanya, Martello merasakan hidupnya hampa dan ‘menyedihkan’.
Martello memang karakter fiksi yang diperankan aktor Joseph Gordon-Levitt di film Don Jon, tetapi adiksi itu menjadi masalah nyata untuk penyanyi Billie Eilish yang terpapar pornografi sejak usia sebelas tahun. Dalam wawancaranya di The Howard Stern Show tahun lalu, Eilish blak-blakan kalau pornografi patut dicela sebab merusak otak dan pandangannya tentang hubungan seksual yang ideal.
Psikolog Risky Adinda mengatakan, hasil penelitian tentang dampak film biru sangat bervariasi, ada penelitian yang menyebut konten tersebut bisa menurunkan kepuasan hubungan romantis dengan pasangan. Pasalnya, pasangan yang aktif mengonsumsi pornografi melihat adegannya sebagai sesuatu yang terjadi di dunia nyata, alih-alih fiktif.
“Tapi karena dia membandingkannya dengan dunia nyata akhirnya hubungan romantis dan kepuasan pada pasangan ikut menurun. Ada juga penelitian yang menunjukkan pornografi meningkatkan kepuasan seksual pada pasangan yang ingin mencoba hal baru dengan eksplorasi tubuh pasangan,” jelasnya ketika saya hubungi beberapa waktu lalu.
Walaupun ada hasil yang bertolak belakang, konten pornografi memang dapat memengaruhi fungsi otak, khususnya dalam fokus dan konsentrasi. Risky berujar, ketika seseorang merasa dirinya kecanduan pornografi, pikirannya diokupasi dengan konten pornografi dan kapan bisa mengaksesnya lagi.
Pasalnya, bagian otak yang mengatur executive function untuk bekerja dalam pengambilan keputusan dan kontrol menjadi lemah dan sulit untuk dikendalikan. Konsentrasi untuk belajar sampai bekerja pun ikut menurun akibat dorongan kompulsif itu.
Ketika berefleksi seberapa sering saya memikirkan cerita smut–sekarang ada yang dilabeli porn without plot–jawabannya tidak setiap hari. Saya mulai membaca hanya di waktu tertentu, seperti malam Minggu saat penulis yang saya sukai menambah bab baru dalam ceritanya.
Selain itu, jauh sebelum cerita smut, saya sudah ada kesulitan untuk fokus dan berkonsentrasi, tapi tak pernah tertangani karena keluarga mengasumsikan saya memiliki IQ rendah. Persoalan itu baru saya upayakan benahi sendiri setelah memiliki kebebasan finansial untuk mencari akar penyebabnya.
Namun, perkataan Risky tentang mengonsumsi konten pornografi untuk memenuhi dorongan seksual sebagai pelepasan ‘ketegangan’ cocok dengan situasi yang saya alami. Membaca cerita yang saya sukai membuat saya lebih rileks. Apalagi saat kali pertama berhadapan dengan cerita semacam itu, saya sedang dalam masa pubertas, puncak-puncaknya rasa penasaran tentang seksualitas.
Sementara, pernyataan Theresia tentang ketagihan konten pornografi akibat kekurangan afeksi juga benar. Ia menuturkan, “Semua orang butuh perhatian dan afeksi. Kalau kebutuhan itu terpenuhi dia tak akan mengakses pornografi. Akan tetapi, jika hal itu tak terpenuhi dia akan mencari junk food (pornografi) itu.”
Kasih sayang yang sebenarnya tak harus datang dari sosok kekasih, tapi keluarga atau pun pertemanan juga sesuatu yang ‘hilang’ di masa kecil saya. Jika melihat ke belakang sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah isu emosional dan mental yang saya hadapi saat ini.
Baca juga: ‘Cabul’: Membaca Buku (tentang) Seks yang Benar
Cerita Erotis, Pornografi dan Kaitannya dengan Depresi
Sebenarnya cerita smut bukan konten pornografi yang pertama yang saya sentuh. Saat duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar (SD), seorang sahabat menemukan kaset porno disembunyikan di rak buku ayahnya. Ia lalu mengajak saya dan tiga teman perempuan lain
untuk menontonnya akibat penasaran setengah mati. Kami lalu berkumpul di rumah seorang teman yang memiliki komputer dan memutar kaset itu, yes girls watch porn too.
Alih-alih merasakan ada gairah, video itu membuat saya tak nyaman dan seiring beranjak dewasa saya semakin yakin tak tertarik dengan video porno. Saja juga belajar kalau ada isu eksploitasi perempuan dalam proses produksi konten pornografi. Meski demikian, justru cerita smut yang memberikan kesan paling mendalam sebab saya ketagihan membaca fanfiksi karena ada momen-momen penuh cinta kasih dalam ceritanya.
Akan tetapi, melihat keadaan saya sekarang muncul pertanyaan baru, apakah depresi yang saya alami saat ini dimulai ketika membaca cerita-cerita itu? Masalahnya banyak orang yang mengatakan terlalu banyak mengonsumsi pornografi menyebabkan seseorang mengalami depresi.
Risky mengatakan, belum ada penelitian yang secara gamblang membuktikan kalau adiksi pornografi meningkatkan seseorang mengalami depresi. Adiksi pornografi pun tak tergolong dalam kondisi kesehatan mental, tetapi adiksi perilaku, seperti ketagihan bermain gim dan belanja–yang juga bisa ditangani dengan terapi.
Meski demikian, lanjutnya, memang ada beberapa gangguan kesehatan mental yang bisa timbul akibat konsumsi pornografi yang berlebihan, seperti gangguan kecemasan. Minimnya kontrol atas diri sendiri membuat seseorang merasa bersalah sebab konten semacam itu dianggap menantang moralitas masyarakat.
Beberapa penelitian yang mengulik dampak pornografi pada kesehatan mental juga memaparkan hasil yang senada bahwa ada scrupulosity atau rasa bersalah patologi yang berkaitan dengan melanggar nilai-nilai agama.
“Akibat rasa tak berdaya dan bersalah itu dia yakin bahwa dia orang jahat, pendosa, dan secara moral orang yang menyimpang. Akhirnya, ia memiliki pandangan buruk pada dirinya sendiri. Hal tersebut membuat risiko dia mengalami gangguan kecemasan bahkan depresi juga meningkat,” kata Risky.
Apakah saya memiliki pandangan buruk tentang diri sendiri? Ya. Lalu apakah itu dipengaruhi karena saya membaca cerita smut sebagai dongeng sebelum tidur? Tidak, sebab saya menganggap kisahnya sekadar penghibur di waktu luang yang kontennya tak selalu saya akses 24/7. Lagipula libido dan gairah sangat alamiah bagi manusia.
Jika kembali mengaitkan depresi dan pornografi, Theresia juga mengatakan, “Otak memiliki dopamine reward system yang akan memberikan rasa senang pada diri kita saat berhasil mencapai sesuatu. Ini juga terjadi secara seksual. Kalau seseorang mengalami adiksi, dia akan terus ketagihan karena mengejar reward itu.”
Karenanya, lanjut Theresia, seseorang yang jatuh dalam depresi berat tak akan mengakses konten tersebut sebab depresi mengisap motivasi dan tenaga seseorang untuk melakukan apa pun. Ketika saya bertemu dengan psikiater beberapa waktu lalu, ia mengatakan, saya ada dalam fase kronis karena sudah berlangsung bertahun-tahun.
Sekarang cerita smut tergantikan dengan kisah seram yang membawa ‘ketenangan’ tersendiri di balik sosok hantu dan misteri pembunuhan yang tak terpecahkan. Sama seperti Eilish, saya juga berharap tidak terlalu cepat terpapar konten pornografi. Tapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya hanya bisa berangan-angan, “Seandainya saja dulu situasi berbeda,”
Comments