Christine Hakim adalah legenda film Indonesia. Kariernya telah berlangsung selama empat dekade, dengan akting fenomenal dan karakter-karakter kuat, seperti Tjoet Nja' Dhien (1988). Selain sebagai aktris, dia juga sempat menjadi salah satu juri Festival Film Canes pada 2002, bersama dengan aktris Michelle Yeoh.
Christine telah bermain dalam 29 film sepanjang kariernya selama empat dekade, namun baru kali ini ia berakting dalam film horor thriller, yakni Perempuan Tanah Jahanam (PTJ, 2019) besutan sutradara Joko Anwar.
Dalam PTJ, ia tampil memukau sebagai seorang ibu yang dominan dan manipulatif, mengingatkan pada karakter Meryl Streep dalam The Manchurian Candidate (2004), namun dengan sentuhan Jawa yang kental serta adegan berdarah-darah. Gerak tari Christine dalam PTJ dengan rambut abu-abu tergerai panjang di tengah hutan sukses membuat terpukau sekaligus bulu kuduk merinding.
Berperan sebagai Nyi Misni dalam PTJ membuat Christine semakin disadarkan bahwa tanpa kebudayaan, generasi muda Indonesia akan rentan kehilangan identitas mereka sebagai warga Indonesia.
“Kebudayaan diibaratkan sebagai kulit, dalam film ini. Ketika bayi-bayi terlahir tanpa kulit, betapa rentannya kehidupan bayi tersebut dari penyakit, begitu juga generasi muda yang tercerabut dari budaya mereka,” ujar Christine, 62, kepada Magdalene, Senin, (28/10).
Ia membahas lebih lanjut film horor pertamanya ini serta perkembangan karakter perempuan dari masa ke masa dalam obrolan singkat dengan Magdalene. Berikut adalah cuplikannya.
Magdalene: Bagaimana kesan Ibu dengan karakter dan cerita dari ‘Perempuan Tanah Jahanam’?
Banyak sekali pesan-pesan yang Ibu tangkap setelah proses syuting selesai. Salah satu yang paling mengena di Ibu adalah metafora kulit dalam film ini. Kita sering kali lupa bahwa kulit itu juga bagian penting tubuh kita. Ketika melihat situasi dan kondisi yang saat ini terjadi, kulit diibaratkan sebagai kebudayaan yang melindungi bangsa dan negara kita. Di film ini, bayi-bayi terlahir tanpa kulit, dan membuat mereka rentan tidak berdaya. Begitu pula dengan generasi muda ketika mereka terlepas dari budaya Indonesia yang beragam.
Baca juga: Tara Basro: Permasalahan Perempuan Tidak Pernah Usang
Kalau dari karakter, Ibu lebih melihat bagaimana penduduk di film ini mengikuti seorang pemimpin tetapi tidak memakai nalar mereka. Penduduk yang berpikir secara jernih itu salah satunya Ratih, dia enggak cuma menggunakan nalarnya saja, tetapi juga rasa. Seharusnya kita-kita ya juga seperti itu.
Mengapa akhirnya Ibu mau main film horor?
Awalnya ketika Mas Joko menawarkan peran pada Ibu, Ibu belum sempat membaca naskahnya. Karena waktu itu Mas Joko minta keputusan secepatnya, Ibu akhirnya menerima perannya, karena ibu percaya kerja Mas Joko Anwar sangat baik selama ini.
Ketika saya membaca naskah ini, yang pertama kali saya rasakan adalah syok, dari mulai karakter, juga cerita. Saya merasa Christine Hakim terlahir kembali setelah 40 tahun menjadi aktris di industri perfilman Indonesia. Karakter Nyi Misni sangat berbeda dengan karakter yang Ibu perankan di film-film sebelumnya.
Selama 40 tahun bekerja di dunia perfilman Indonesia, apakah Ibu pernah menghadapi diskriminasi dan seksisme?
Saya bersyukur perempuan di dalam industri perfilman Indonesia mempunyai tempat setara dengan pekerja laki-laki. Contohnya, kita tidak memiliki masalah perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki seperti yang di Hollywood. Lalu di saat perfilman Indonesia sangat lesu, produser perempuan di tahun 2000an menggebrak dengan film-film yang berbeda.
Saat ini, posisi-posisi yang dulunya dianggap hanya bisa diisi laki-laki, sekarang dipegang juga oleh banyak perempuan, contohnya Director of Photography (DOP). Artinya dalam hal ini, pekerja perempuan dalam industri film Indonesia setara, tinggal bagaimana kita saling support.
Jadi dengan banyaknya perempuan menempati posisi-posisi strategis di perfilman, ini juga mendorong munculnya karakter perempuan yang beragam muncul?
Ya, hal ini sangat membantu untuk menempatkan karakter perempuan yang tidak sebagai objek saja. Kalau dulu, kita beruntungnya, sutradara-sutradara yang mendominasi industri perfilman Indonesia, seperti Teguh Karya, Arifin C. Noer, Ami Prijono, Eros Djarot, Slamet Raharjo, mereka adalah pendukung perempuan. Tetapi ada juga cerita-cerita yang mengangkat karakter perempuan hostess, misalnya, karena ya memang mengikuti zaman di tahun-tahun tersebut.
Baca juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor
Pernah enggak mendapat karakter yang bikin enggak sreg karena ada stereotip, lalu berujung memprotes karakter tersebut ke sutradara?
Enggak. Sejak awal Ibu berkarier, yang paling utama Ibu lihat dari film tersebut, siapa sutradaranya. Berapa banyak yang memproduksi film horor, tetapi di tangan seorang Joko Anwar, menjadi berbeda, bukan hanya pocong loncat-loncat saja.
Ini yang paling saya syukuri. Ini pertama kali saya bermain horor, dan bukan hantu yang menakut-nakuti manusia di sini, tetapi manusia-manusia itu sendiri yang menjadi iblis.
Kalau ngomongin standar kecantikan di awal-awal ibu berkarier hingga sekarang bagaimana ibu memotret standar kecantikan perempuan Indonesia?
Berapa abad yang lalu, perempuan yang seksi itu kan perempuan yang gemuk. Nah, ketika mulai muncul tren film Hollywood, berubahlah tatanan kecantikan dunia. Buat saya perempuan Indonesia memiliki nilai kecantikan mereka sendiri. Dan menurut saya lagi, perempuan yang cantik dan menarik itu adalah perempuan yang memiliki karakter, karena ketika kamu melihat fisiknya saja, itu mudah sekali digantikan. Tetapi ketika perempuan itu memiliki karakter, dia akan sulit digantikan dengan yang lain.
Tadi Ibu menyebut bagaimana kebudayaan itu penting, apa pesan dari ‘Perempuan Tanah Jahanam’ untuk pemangku kebijakan?
Sayangnya, para pemangku kebijakan masih melihat film, apalagi film horor hanya sebagai hiburan semata, padahal menurut saya mereka penting sekali untuk menonton film ini. Dari pantauan saya, masalah kebudayaan ini sering kali diremehkan oleh pemangku kebijakan dibandingkan dengan isu-isu lain. Padahal, tanpa generasi yang berkarakter dan punya moral dan nilai-nilai, saya tidak yakin generasi Indonesia akan berhasil menghadapi tantangan industri 4.0. Karena untuk mengasah dan memelihara panca indra sebagai elemen untuk menjalankan roda kehidupan ini, itu hanya bisa diasah dengan kebudayaan.
Foto diambil dari IMDB
Comments