Women Lead Pendidikan Seks
December 10, 2021

Cinta dan Kekerasan, Pentingnya Mengenal Batasan di Antara Keduanya

Saat orang begitu mencintai pacarnya, kerap kali ia luput mengenali tanda-tanda bahwa perilaku pacarnya itu sudah masuk kekerasan.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Lifestyle // Madge PCR
Share:

Belum lama ini, media sosial dan sejumlah berita diisi dengan tragedi bunuh diri seorang perempuan di sisi makam ayahnya, NWR. Oleh Randy, pacarnya sendiri yang merupakan polisi, NWR pernah diperkosa hingga hamil dan beberapa kali dipaksa melakukan aborsi. NWR sempat melaporkan kasusnya kepada berbagai lembaga advokasi seperti Komnas Perempuan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Permata Law. Namun sebelum ia mendapat keadilan, NWR memilih mengakhiri hidupnya lantaran merasa begitu tertekan. Sebelumnya, ia pun sudah sempat melukai diri sendiri.

Sebagian orang mungkin sampai saat ini masih mengalami kekerasan dalam pacaran (KDP) meski tak sampai sejauh pengalaman NWR. Walau merasa tak nyaman, terintimidasi, terkekang, hingga dirugikan, banyak dari mereka yang masih memilih diam dan bertahan dengan pasangannya sekarang. Sementara, lainnya bahkan tak sadar sama sekali bahwa dirinya menjadi korban KDP. Ini bisa dikarenakan ia merasa perilaku pasangannya berlandaskan cinta, atau ia sendiri begitu merasa sayang pada pasangannya itu sampai luput mengenali tanda-tanda kekerasan dalam relasinya.

Sebetulnya, apa saja tanda-tanda kekerasan yang sering dianggap cinta? Bagaimana kita membuat garis tegas antara cinta dan perilaku abusive?   

Baca juga: Cemburu: Kapan Ini Wajar, Kapan Jadi Tak Sehat?

Tanda Kekerasan yang Dianggap Cinta

Salah satu tanda kekerasan yang sering dianggap bentuk cinta adalah sikap posesif dan overprotektif. Kerap kali, seseorang mengatakan bahwa dirinya sangat mengkhawatirkan kondisi pasangannya, sehingga perasaan itu mendorongnya untuk membatasi ruang gerak sang pasangan. Mulai dari larangan berkomunikasi dengan laki-laki atau perempuan lain, tak boleh lama-lama hang out dengan teman, hingga menguntit pasangannya saat bepergian. 

Mungkin sebagian orang merasa sikap macam ini manis karena menunjukkan perhatian dalam relasi romantis. Namun sebenarnya, hal tersebut merupakan upaya pengekangan yang justru merugikan diri. Ketika sikap ini terus menjadi-jadi, seseorang sangat mungkin tak menjadi dirinya sendiri lagi dan hanya terperangkap dalam penjara tak kasatmata yang pasangannya ciptakan atas nama cinta. 

Sikap posesif adalah salah satu bentuk kekerasan emosional dalam relasi. Dalam wawancara Magdalene dengan psikolog dan penulis Toxic Relationsh*t Diana Mayorita, ia menyatakan, “Kekerasan emosional tidak selalu dengan ancaman. Contohnya, gaslighting. Itu kan fenomena yang membuat kita tergantung juga [pada pasangan].”

Dalam relasi romantis, perilaku gaslighting yang Diana sebutkan merujuk pada tindakan-tindakan manipulatif seseorang pada pasangannya, termasuk membuat pasangannya bersalah walau sebetulnya dialah yang melakukan kesalahan. 

Sikap manipulatif juga bisa menjadi awal tindakan kekerasan lebih besar. Contohnya, mengiming-imingi pasangan dengan hadiah atau bahkan pernikahan bila pasangannya itu mau mengikuti keinginannya. Hal ini ditemukan pada perempuan-perempuan yang mau menyerahkan keperawanannya karena pacarnya berjanji mau menikahi, tetapi akhirnya janji itu cuma jadi omong kosong. Ia pun tak bisa menuntut keadilan karena dianggap suka sama suka dalam melakukan hubungan seksual.

Ancaman akan melukai atau bunuh diri juga bisa menjadi tanda perilaku abusive lain yang dilakukan pacar. Hal ini akan menciptakan perasaan bersalah dan ketidakmampuan seseorang untuk lepas dari relasi yang sudah tidak diinginkannya. 

Memberikan hadiah dan perhatian terus menerus juga menjadi tanda lain awal mula tindakan kekerasan. Ini dikenal dengan love bombing. Setelah pacar melakukan ini, seseorang sangat mungkin merasa tidak enak untuk menolak permintaan pacarnya itu, walau permintaan tersebut berseberangan dengan keinginan dan kemampuannya. Ia menjadi  kian kabur dalam memandang hal yang sehat dan tidak sehat untuk dilakukan dalam relasi.

Baca juga: Mau Nikah tapi Pacar Toksik, Lanjut Enggak Ya?

Kenapa Orang Bertahan Setelah Menerima Kekerasan?

Ada berbagai alasan orang tetap bertahan meski ia terus menerus menerima perlakuan abusive pacarnya. Dilansir Institute for Family Studies, saat seseorang terus dikontrol, ia mungkin sekali mengalami trauma yang mendorongnya merasa bingung, merasa ragu, bahkan menyalahkan diri. Muncul distorsi dalam pikiran, ketika seharusnya ia yakin bahwa dirinya menjadi korban dan telah tersakiti, ia malah berpikir bahwa dirinya pantas menerima kekerasan dari pasangannya.

Sebagian orang bertahan karena berpikir kekerasan yang diterimanya adalah hal sepele. Ditambah lagi, banyak orang masih mewajarkan kekerasan, mulai dari lingkungan keluarga hingga diteruskan saat mereka berelasi romantis. Mereka menganggap kata-kata kasar masih bisa ditoleransi, kekerasan emosional bukanlah kekerasan betulan karena tak kelihatan bekasnya seperti kekerasan fisik. 

Ada juga yang bertahan karena menganggap pacarnya bisa berubah kelak, atau percaya “tiap orang berbuat salah” dan memaklumi tindakan kekerasan pacarnya, seburuk apa pun itu. Atau, merasa dirinya bisa “menyelamatkan” atau mengubah sang pacar. Ketika merasa begitu jatuh cinta pada seseorang, hal ini kerap terlintas dalam diri dan lama diyakini. Sampai-sampai, ia lupa untuk tetap mengutamakan diri dan tidak terlalu buta dalam berkorban demi “menyelamatkan” sang pacar.

Selain itu, ketidakpahaman tentang batasan antara cinta dan kekerasan juga menjadi alasan orang bertahan dalam relasi abusive. Hal ini bisa diperparah dengan romantisasi perilaku kekerasan, terlebih kekerasan emosional, yang ada di film, serial, musik, dan macam-macam media. 

Menurut terapis dari Kanada, Natalie Jovanic dalam situs pribadinya, orang juga bertahan dalam situasi KDP karena punya kepercayaan tak sehat soal cinta. Contohnya, cinta itu tak terbatas, tak bersyarat. Ini membuat orang kesulitan membuat batasan jelas atau meninggalkan relasi penuh kekerasan. Jadi, meski sudah tersiksa berulang kali dalam pacaran, orang masih saja bersikukuh untuk mencintai pacarnya, walau itu berarti ia tak cukup mencintai diri sendiri.

Batasan Cinta dan Relasi Sarat Kekerasan

“Bila saya tahu batasannya, saya akan melihat tanda-tanda bahayanya sejak dulu dan sudah berbuat sesuatu untuk itu… Saat itu saya tak tahu apa yang masuk dalam kekerasan…”

Kata-kata ini dituliskan Leah Zeiger dalam situs Love Is Respect. Seperti banyak perempuan lain, ia adalah penyintas KDP. 

Pengetahuan tentang hubungan penuh kekerasan memang bisa dibilang masih minim, entah itu dalam keluarga maupun di sekolah. Padahal seiring orang beranjak remaja dan dewasa, mereka mulai menjalin relasi romantis dan perlu pengetahuan tentang ini. 

Ketika bicara soal batasan antara cinta dan kekerasan, kita perlu bertanya, apakah dalam relasi kita pasangan membuat kita merasa tak berharga, memaksa kita mengubah identitas diri, atau mempengaruhi secara negatif kebahagiaan kita? Jovanic menyarankan kita untuk pergi dari relasi seperti ini, atau yang membuat kita meninggalkan prinsip dan nilai baik yang kita anut. 

“Relasi yang sehat ditandai dengan kamu mencintai pasanganmu, berbarengan dengan kamu mencintai dan menghormati dirimu sendiri,” tulis Jovanic.

Memang benar, tak ada yang luput dari kesalahan dalam berelasi. Tetapi, batasan antara cinta dan kekerasan itu berdiri di antara perilaku yang terjadi sekali waktu dan langsung disesali, diikuti perubahan sikap, dan perilaku yang berpola atau berulang tanpa adanya rasa bersalah. 

Menurut psikoterapis Avery Neal dalam situsnya, dalam relasi abusive, umumnya perilaku kekerasan bersifat siklus dan terjadi pula tidak hanya kepada seseorang yang menjadi pasangannya, tetapi juga orang lain di sekitar pelaku. Selain itu Neal mengatakan, perilaku pelaku juga sering kali tak konsisten dengan kata-katanya sendiri. 

Pada intinya, tanda KDP bisa dikenali ketika kita mendapati adanya ketidakberdayaan seseorang untuk berkata tidak pada pasangannya, adanya ketergantungan yang tidak sehat sehingga merugikan salah satu pihak, kontrol penuh dan berlebih, pembatasan ruang gerak, serta perlakuan di mana salah satu pihak dipandang lebih rendah.

Dengan mengetahui tanda-tanda dan batasan-batasan semacam ini, diharapkan kita bisa lebih kritis dan waspada dalam memandang relasi sendiri. 

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop