“Jebule lanang, Mbak!” (Ternyata laki-laki, Mbak) keluh Joni, penjual mi ayam langganan saya dekat rumah.
Saking seringnya jajan di warung miliknya, saya terbiasa mendengar beragam curhatan dia, mulai dari urusan asmara hingga yang remeh temeh tentang kambingnya yang diam-diam dijual sang ibu saat musim kurban lalu. Kali ini ia menceritakan pengalamannya berkencan virtual dengan orang yang ia temui di Tinder. Beberapa minggu sebelumnya, ia memang meminta saya mencarikan pacar, lalu saya menyarankan ia membuat aplikasi kencan biar lebih afdol di tengah pandemi begini. Ia manut. Kemarin, (24/8), ia memberi tahu saya, pasangan yang sudah di-swipe kanan dan asyik ngobrol di platform Whatssap ternyata adalah seorang lelaki.
Joni adalah seorang heteroseksual yang beberapa waktu belakangan ngebet cari istri. Perempuan yang ia temukan, konon berwajah khas perempuan Jawa, sopan, dan mau diajak serius. Saking seriusnya, beberapa kali Joni mentransfer uang ke Shopee, Go-Pay, dan membelikannya sejumlah barang. Tak kurang dari Rp5 juta habis untuk “menyenangkan” sang pacar.
Pacar baru Joni tinggal di Cilacap, dan jika tak ada aral melintang, ia dan keluarga berencana melamar pacarnya itu, Oktober mendatang. Alasannya: Cinta mati, kata Joni. Karena alasan cinta inilah, Joni tak pernah menaruh curiga mulanya, meski si “perempuan” selalu menolak tiap kali dihubungi lewat video call. Sekalinya mengiyakan, ia biasanya tak pernah mau telepon lama-lama atau menutupi layarnya dengan alasan rusak, dan sejenisnya. Ia yakin tentang identitas pacarnya lantaran nama yang tertulis di akun Shopee dan Go-Pay miliknya adalah nama perempuan.
Baca juga: Apa Sih, yang Ada di Kepala Para Penipu di Internet?
Belakangan, ia baru sadar telah dibohongi. Sang pacar adalah lelaki yang sengaja menipunya demi alasan cinta. Akun Go-Pay dan Shopee yang dipajang pun meminjam milik saudara. Joni mengetahui identitas lelaki penipu ini setelah saya ajari memakai aplikasi GetContact. Tertangkap basah, penipu itu memblokir nomor Joni. Sebaliknya, Joni enggan memperpanjang dan memilih swipe kanan lagi di aplikasi kencan, hanya saja kini ia mengaku lebih berhati-hati.
Apa yang dialami Joni nyaris mirip dengan kejadian yang menimpa seorang lelaki di Yogyakarta dengan perempuan penipu bernama Dhea Regista. Dibayari kuliah, diberi laptop, ditraktir ini itu, dibelikan tas mahal, ternyata si lelaki ditipu mentah-mentah oleh Dhea Regista selama “pacaran” empat tahun lamanya. Kasus Dhea Regista ini sempat menyedot perhatian publik, namanya bahkan trending di linimasa berhari-hari.
Saya tentu tak peduli dengan kasus-kasus macam ini, tapi karena berita Dhea menggantikan tontonan komedi yang saya nikmati belakangan, tentang vonis rasuah bantuan sosial (bansos) Juliari Batubara, mau tak mau saya ikut menengok. Dhea yang dituding sebagai gold digger, di-doxing habis-habisan, dituduh mata-duitan, dikritik secara ad-hominem, bahkan dibongkar identitas pribadi sampai ke IPK kuliah dan alamat sekolahnya. Ia dinilai sebagai perempuan jahat karena memanfaatkan kebaikan (baca: uang transferan) si lelaki yang ingin mengajaknya menikah ini untuk menyenangkan kekasihnya yang lain.
Masalahnya, yang luput diperbincangkan dalam percakapan di media sosial adalah edukasi tentang pentingnya menghindari jebakan penipuan berkedok cinta (love scam).
Apa itu Love Scam?
Love scam adalah tindakan kejahatan dengan menggunakan identitas palsu untuk menarik korban. Para pelaku ini umumnya menawarkan ilusi hubungan romantis saat beraksi. Mereka juga menggunakan foto, video, dan identitas yang meyakinkan agar korban tak curiga sama sekali. Rayuan digencarkan, percakapan di platform media sosial dilakukan secara intens. Motifnya beragam, tapi mayoritas melibatkan uang.
Dalam Webinar Series: Love Scam yang disiarkan di Youtube Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Gadjah Mada (UGM) Maret silam, dijelaskan oleh dosen sekaligus pemerhari gender dari FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Nur Hasyim, M.A. bahwa love scam merupakan tindak kekerasan kekerasan karena mengandung unsur pemaksaan kehendak, manipulasi, serta eksploitasi. Bahkan eksploitasi yang dimaksud tak jarang mengarah pada eksploitasi seksual. Dampaknya, korban rentan mengalami gangguan kecemasan, stres, dan depresi.
Baca juga: Jenis-jenis Kebohongan di ‘Dating Apps’ dan Kenapa Orang Melakukannya
Love scam bisa dialami oleh siapa saja, lelaki, perempuan, maupun gender ketiga. Menurut Pusat Laporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di akun Instagram mereka, love scam meningkat di masa pandemi karena penggunaan internet juga naik.
“Kejahatan yang marak di masa pandemi ini antara lain adalah tindak pidana penipuan melalui media sosial dengan modus Sex Scams atau Love Scams," demikian tertulis dalam selebaran yang diunggah di akun Instagram @ppatk_indonesia.
Humas PPATK, Natsir Kongah, kepada Tempo.co, (6/8) menyebutkan, pengaduan love scam dari 2020 hingga 2021 sudah mencapai 20 kasus, tapi ia menduga banyak kasus yang tak dilaporkan. Umumnya, pelaku berasal dari luar negeri yang mengincar korban perempuan berstatus lajang atau paruh baya dengan rata-rata umur 20 hingga 50 tahun. Modusnya antara lain meminta korban untuk memberikan foto vulgar atau melakukan panggilan video. Ketika pelaku mendapatkan foto atau video korban, mereka akan menjadikannya sebagai bahan ancaman agar korban mau memberikan uang.
Di Amerika Serikat, kasus love scam lebih ngeri-ngeri sedap. Monica Vaca, direktur asosiasi di Biro Perlindungan Konsumen di Komisi Perdagangan Federal (FTC) berkata pada The New York Times, pada 2015, lembaga tersebut menerima 8.500 pengaduan love scam. Tahun lalu, jumlahnya mencapai 25.000. Ini mengecualikan kejahatan love scam yang lebih dramatis yang biasanya tak dilaporkan dengan alasan malu atau ketidakpercayaan pada hukum yang ada.
Di 2015, orang-orang melaporkan kehilangan US$33 juta karena penipuan asmara; tahun lalu, mereka kehilangan US$201 juta. Angka ini jauh lebih banyak daripada korban kalah lotere dan undian palsu atau pishing.
Baca juga: Mengenali Diri Lebih Baik lewat ‘Online Dating’
Adapun kerugian rata-rata untuk korban penipuan asmara di usia 20-an adalah US$770. Orang-orang berusia 50-an melaporkan kehilangan dua kali lebih banyak. Kerugian mencapai US$3.000 untuk korban berusia 60-an dan US$6.450 bagi mereka yang berusia 70-an. Di 2020 misalnya, jaksa federal AS menyidangkan sejumlah kasus asmara yang mengkhawatirkan. Seorang janda berusia 76 tahun di Rhode Island mengaku memberikan lebih dari US$660.000 ke rekening bank yang dia pikir milik seorang jenderal Angkatan Darat AS di Afghanistan.
Masih dikutip dari media yang sama, di Oklahoma, 10 warga Nigeria dan Amerika Serikat didakwa dalam jaringan penipuan yang menargetkan banyak korban di tiga negara bagian. Juri agung di Georgia mendakwa seorang pria yang dituduh menipu perempuan Virginia dengan alasan cinta sebesar US$6,5 juta.
Bagaimana Menghindarinya?
Kita perlu memahami, umumnya kejahatan love scam dilakukan lewat internet, tersebar di berbagai platform, tak melulu aplikasi kencan tapi juga Facebook, Instagram, Twitter, hingga Youtube. Setidaknya kita bisa menghindarinya dengan melakukan sejumlah hal, di antaranya:
- Berhati-hati mengunggah informasi pribadi di media sosial
Pelaku umumnya bakal memanfaatkan data detail yang tak sadar telah kamu bagikan secara daring untuk mengincar korban. Meskipun membicarakan soal privasi di internet lebih banyak berakhir dengan kesia-siaan, mengingat data pribadi, jejak digital kita yang sudah terlanjur disebar di berbagai aplikasi yang kurang aman, tapi kita bisa meminimalisasi dengan membagi informasi seperlunya di jagat maya. Sebaiknya, tak perlu mengunggah alamat lengkap, nama lengkap dan foto anak dengan alasan keamanan.
2. Cermat melihat profil dan foto orang
Kamu bisa menggunakan berbagai aplikasi yang memudahkanmu, termasuk aplikasi GetContact atau menelusuri foto yang mereka gunakan di Google Search Image. Tujuannya demi memastikan bahwa foto dan identitas yang digunakan asli.
3. Kritis dengan mengajukan banyak pertanyaan
Kamu harus tahu, cinta tak pernah buta. Ia punya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan mulut untuk berucap. Karena itulah, untuk menghindari jebakan batman love scam, kamu bisa mengajukan sejumlah pertanyaan, mengajak ia diskusi, lalu bertindak bak investigator. Memiliki jaringan yang luas dan terliterasi secara digital adalah kunci untuk mengidentifikasi apakah kamu tengah berhadapan dengan penipu atau tidak.
4. Buru-buru mengajak pindah platform lain di luar aplikasi kencan
Kamu perlu berpikir dua kali jika orang tersebut terlihat begitu agresif dan tergesa-gesa mengajakmu meninggalkan aplikasi kencan untuk berkomunikasi secara langsung atau bertatap muka.
5. Banyak alasan
Biasanya, sebagai veteran pengguna aplikasi kencan, saya mengutamakan untuk bertemu, seringnya dengan ditemani orang ketiga. Tujuan dari pertemuan ini adalah sekaligus mengonformasi “data diri” yang ia beberkan ke kamu sudah cukup akurat atau belum. Namun, jika ia berulang kali menolak bertemu, atau paling banter, menolak untuk video call dengan alasan tak masuk akal, kamu patut untuk mengibarkan red flag.
6. Jangan libatkan uang
Kasus yang dilakukan oleh Dhe Regista adalah pengingat (usang) bahwa dalam berelasi, kita tak perlu terlalu banyak melibatkan investasi uang. Ini memang terdengar klise, tapi buat saya cukup efektif untuk mengurangi potensi ditipu orang dengan alasan cinta.
7. Dorong pengesahan RUU PKS yang mewadahi perkara ini
Di AS, ada saluran pelaporan love scam yang disediakan, apalagi jika menyangkut hak warga negara, seperti Federal Trade Commision (FTC) atau Federal Bureau of Investigation (FBI). Di Indonesia, kita tak punya hukum atau saluran khusus yang untuk mengadukan persoalan ini. Kebanyakan saluran yang tersedia, seperti kepolisian cenderung menganggap love scam sebagai urusan remeh, sehingga tak perlu diprioritaskan.
Karena itulah, selain mendorong diri untuk terliterasi secara digital, melakukan tindak pencegahan beragam, juga mendesak pemerintah untuk menyediakan payung hukum agar tindakan love scam bisa masuk dalam kategori kekerasan, sehingga perlu ditindak tegas.
Comments