Di antara tiga belas anggota grup K-Pop Seventeen, vokalis Jeonghan jadi yang paling menarik perhatian Rayan—bukan nama sebenarnya. Ia menjadi carat—sebutan penggemar Seventeen—karena ‘naksir’ pesona pretty boys yang dipancarkan Jeonghan.
Rayan sudah menyukai Seventeen selama lima tahun dan tak pernah ketinggalan berita tentang Jeonghan di media sosial. Sesekali ia juga bertukar informasi dengan sesama carat. Namun, kesukaan Rayan pada Jeonghan ternyata sering menjadi kesempatan orang lain untuk menginvalidasi orientasi seksualitasnya sebagai lesbian.
Komentar mengganggu macam “Ah, masa sih kamu lesbian?” atau “Kalau dideketin sama artis seperti Jeonghan memangnya enggak mau?” sering didengarnya. Beberapa hari lalu, seorang kenalan laki-laki bahkan dengan santainya berani bilang, “Kamu belum pernah sama laki-laki, sih,” yang tentu saja membuat Rayan risih.
“Jauh sebelum orang tahu saya ngefans sama selebritas laki-laki, saya sudah beritahu mereka kalau saya lesbian. Saya bilang saya yakin dengan seksualitas saya sebagai lesbian,” kata Rayan.
“Suka Jeonghan sebenarnya karena saya iri sama gendernya. Jadi semacam ‘oh, I want to look like you’ sama ‘I want to have your gender’ gitu,” kata Rayan, yang mengidentifikasi dirinya sebagai non-biner.
Baca juga: Saya Benci Laki-laki: Mengintip Catatan Harian si Mis(s)andri
‘Compulsory Heterosexuality’ dan Seksualisasi Selebritas
Apa yang dialami Rayan biasa disebut compulsory hetereosexuality atau comphet. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan lingkungan kita yang menganggap heteroseksual sebagai standar hidup dan satu-satunya orientasi seksual yang valid. Sehingga, semua yang di luar dari heteronormatif dianggap aneh atau tidak semestinya.
Zakia Nisa dari organisasi Solidaritas Perempuan Sabay Lampung mengatakan, comphet tidak hanya didorong heteronormativitas. Gagasan ini berasal dari pola pikir patriarkal yang mengagung-agungkan laki-laki. Sehingga identitas gender dan orientasi seksual lain, selain heteroseksual, tidak dianggap valid.
“Ini menunjukkan pengalaman dan hasrat perempuan tidak menjadi subjek penting untuk diperhitungkan dan suara perempuan pun (bisa) diwakilkan laki-laki,” jelasnya kepada Magdalene.
Feminis Adrienne Rich yang terkenal mengkritik comphet dalam artikelnya Compulsory Heterosexuality and Lesbian Existence menuliskan, heteroseksualitas yang disebut bawaan lahir biasanya menghapuskan eksistensi lesbian dengan menggolongkannya sebagai penyakit, gaya hidup alternatif, dan manifestasi dari kebencian terhadap laki-laki.
Namun, Rich berargumen, heteroseksualitas itu dipaksakan untuk mengontrol perilaku perempuan. Misalnya, perempuan yang tidak mau menikah akan dicap menyimpang.
Gagasan comphet ini berumur panjang. Mungkin umurnya sepanjang patriarki itu sendiri. Sehingga gagasan bahwa lesbian bisa mempunyai idola laki-laki terdengar sangat aneh.
Hal itu dialami Tri (bukan nama sebenarnya), lesbian non-biner yang dipandang sebelah mata oleh sesama ARMY–penggemar grup idola BTS–karena tidak melihat idolanya sebagai sosok yang diseksualisasi. Kepada Magdalene, remaja berusia 19 tahun itu bercerita, tak jarang mendengar kawannya memberi komentar ingin melakukan hal seksual ketika BTS tidak sengaja memperlihatkan dada mereka karena pakaian yang tersingkap.
“Kalau mereka sudah heboh begitu, saya biasanya left the conversation. Mereka juga melihat aneh ketika saya enggak seksualisasi BTS. Toh, saya suka karena musiknya dan RM (anggota favortinya) suka baca buku and he seems fun to talk to,” kata Tri yang saat ini kuliah di Korea Selatan.
Baca juga: Dicari: Edukasi Seksual Komprehensif untuk Orang Muda ‘Queer’
Tidak hanya itu, dia juga sering disebut memiliki daddy issues karena menggemari aktor Eric Dane dan Patrick Dempsey dari serial Grey’s Anatomy. Padahal, alasan Tri menyukai mereka karena mengidamkan karisma keduanya—yang sesuai karakter pacar ideal Tri.
Tara Imann, aktivis gender dan penggemar budaya populer, mengatakan lesbian menggemari selebritas laki-laki seharusnya dianggap normal, tetapi lingkup heteronormatif sulit melihat hal itu. Karenanya, ketika ada yang mengagumi tanpa keinginan seksual, seseorang akan dianggap ‘aneh’.
Sementara menseksualisasi selebritas, menurut Tara, adalah hal yang bisa dilakukan siapa saja. Tak peduli orientasi seksual atau gendernya.
“Sebenarnya menggemari ini sama aja kalau antara perempuan heteroseksual bilang ‘wah aku suka bajumu, deh’. Dan apa bedanya dengan laki-laki yang menggemari atlet laki-laki tertentu. Ketertarikan tidak bisa dikotakkan,” ujarnya pada Magdalene.
Baca juga: ‘Oppa’ dan ‘Unnie’ Boleh ‘Skinship’, tapi Korsel Masih Homofobik
Bifobia dan Sulit ‘Coming In’
Perkara comphet juga disorot Euphoria dalam episode spesial yang mereka rilis, berjudul “F Anyone Who’s Not A Sea Blob”. Isinya bercerita tentang karakter utaman Jules (Hunter Schafer) yang memusatkan keperempuanannya pada laki-laki. Tapi di saat bersamaan, dia sudah tidak lagi tertarik dengan laki-laki.
Plot internalisasi heteroseksualitas itu menimbulkan perdebatan ketika di musim kedua, Jules membangun relasi dengan Elliot (Dominic Fike). Di satu sisi, penggemar Euphoria berargumen internalisasi comphet Jules belum selesai, sementara lainnya mengatakan memaksakan comphet untuk mendefinisikan orientasi seksual Jules justru berimplikasi biseksual fobia (bifobia).
Comphet sendiri juga sering dipakai untuk menginvalidasi mereka yang berorientasi seksual biseksual atau panseksual. Esai dan narasi comphet sendiri, seperti artikel Rich, masih eksklusif dan belum menyentuh spektrum biseksual dan panseksual. Belum lagi, Rich yang transfobik tidak mempertimbangkan pengalaman trans-lesbian dan lesbian non-biner. Pasalnya, lesbianisme hanya dipandang sebagai seksualitas perempuan cis dan tidak untuk identitas gender lainnya.
Karenanya, dibutuhkan payung besar yang menggandeng semua pengalaman lesbian. Media The Cosmopolitan mengusulkan istilah internhet atau internalised heteronormativity, sebab comphet secara inheren belum inklusif. Tetapi, konsep comphet juga harus tetap dikembangkan karena istilahnya dianggap sudah lebih dikenal masyarakat.
Sementara Zakia berpendapat, masyarakat secara umum juga masih memandang keragaman dalam kacamata yang biner. Begitu pula dengan orientasi seksual yang dilihat heteroseksual dan homoseksual saja. Hal semacam itu kemudian melupakan pengalaman ragam orientasi seksual lainnya dan menginvalidasi keberadaannya.
“Seksualitas itu sangat cair dan tidak apa-apa kalau masih berproses. Karenanya, jangan lagi ada pemikiran seperti itu. Yang bisa memberikan validasi tentang orientasi seksual dan identitas gendernya hanya orang yang memiliki badan itu. (Kita atau orang lain selain mereka) Tidak bisa berasumsi dan menentukan identitas orang lain,” ujarnya.
Comments