Sejak pandemi COVID-19 mencengkeram, silih berganti kabar duka seliweran di linimasa media sosial kita. Ada lara dari teman sekolah, teman kuliah, rekan sekantor, orang-orang terdekat, atau bahkan sekadar kenalan yang lama tak berjumpa. Namun, bukan berarti tidak ada cerita-cerita bahagia yang tersisa.
“Aku memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi perempuan,” kata Shinta, 44, yang sehari-hari berkutat di bidang akuntansi dan perpajakan.
Ibu dari dua anak lelaki, yang sulung berusia 17 tahun dan yang bungsu 11 tahun itu sudah memasuki usia kepala empat. Namun, hasrat memiliki anak perempuan tak pernah kendur.
“Tapi aku enggak mau hamil, maunya ada yang kasih ‘gratis’. Beneran deh. Sampai saat itu kalau mendengar ada berita-berita si A adopsi bayi, si B menemukan bayi di mana gitu, aku pikir, aduh, kok bisa ya mereka mengalami kejadian seperti itu. Saya juga pengen,” kisah Shinta di tengah-tengah kesibukannya bekerja dari rumah.
Pada Oktober 2020, kesempatan itu datang. Seorang kerabat dekat menawarkan Shinta dan suami untuk mengadopsi bayi perempuan yang baru saja lahir dari keluarga tidak mampu.
Mimpi Shinta jadi nyata.
“Aku adopsi dia bukan cuma karena kasihan, tetapi juga untuk kebaikan dan demi kehidupan yang lebih baik,” kata Shinta. Dia dan suami membayar persalinan ibu sang bayi, sekaligus mengurus segala keperluan pasca-melahirkan.
“Aku ingin punya anak perempuan dari dulu, tapi Tuhan kasih dua anak laki-laki. Kalau ada yang kasih tinggal aku asuh, ya kenapa enggak? Omongan adalah doa itu benar, lho. Ini kesempatan untuk beribadah, kita berbagi ke orang yang enggak berpunya,” lanjut perempuan berjilbab ini.
Kini Shinta mengaku rumahnya semakin ceria dengan kehadiran si bayi mungil. Kedua anaknya senang punya adik perempuan. Sementara suaminya selalu memanggil ‘Baby R’ -- (nama dirahasiakan) dengan sebutan “My Princess”.
Saat aku tanya, lelah kah mengurus bayi di usia yang tidak lagi muda sembari bekerja?
“Ya memang capek mengurus anak, tapi setiap aku video call dari kantor dan melihat wajahnya, hatiku rasanya meleleh,” kata Shinta tertawa.
Di masa kini, pilihan perempuan untuk hidup mandiri semakin terbuka, termasuk hidup melajang atau tidak menikah, tetapi tetap memiliki anak. Mirda, ibu tunggal di Jakarta, punya gaya hidup semi-bohemian--Oxford Dictionary mengartikan bohemian sebagai hidup bebas, tak teratur, dan non-konvensional. Sehari-hari, dia banyak bergelut di bidang kemanusiaan dan seni. Aktivitas sosialnya sendiri meningkat selama pandemi COVID-19.
Baca juga: Dilema Mama Rawat Keluarga Positif COVID-19
“Gue sejak lama aktif ikut program bagi-bagi nasi bungkus, bekerja sama dengan teman-teman alumni SMA. Kami biasanya punya program tetap bagi-bagi nasi bungkus untuk tukang sapu jalan, dan pihak-pihak lain. Apalagi di masa sulit seperti sekarang,” kata Mirda.
Mirda bercerita pernah lima tahun tinggal bersama kekasihnya di Yogyakarta. Mereka hidup bersama dan mengaku menikah siri saat ibunya bertanya.
“Jadi sebenarnya gue enggak married sama laki-laki ini. Kami hidup bersama sejak di Yogyakarta sekitar 5-6 tahun. Gue sudah enggak percaya sama lembaga pernikahan. Abis buat apa? Saat itu sebetulnya kami sudah siap pisah. Anak gue yang paling kecil 15 tahun, yang paling besar 24 tahun, dan yang tengah 21 tahun. Semuanya laki-laki, dari dua pernikahan awal.”
Mirda mengaku saat itu Juli 2020, ketika dia dan pasangannya memutuskan untuk berpisah. Tiba-tiba dia sadar menstruasinya terlambat.
“Gue, sih enggak peduli, pokoknya gue pengen punya anak lagi, khususnya perempuan, tak peduli dengan bapaknya siapa,” kata Mirda saat ditanyakan apakah betul dia berniat punya bayi saat itu. Dia sempat meminta pacarnya untuk membelikan ‘test pack’ yang hasilnya positif hamil.
Tantangan selanjutnya memang tidak mudah. Mereka berdua baru saja tertipu oleh calon pembeli rumah di mana kekasih Mirda jadi kontraktor di sana.
“Gue senang banget sama anak perempuan ini. Pas lahiran, gue enggak punya uang sama sekali. Tabungan habis, mobil dijual,” kata Mirda.
Baca juga: Kita Tak Dirancang buat Bahagia, Tapi Kenapa Industri Kebahagiaan Subur?
Kini, putri bungsunya, Karunalaya, usianya 4 bulan. Total biaya melahirkan saat itu Rp28 Juta. Semua dibayar dengan BPJS. Sedangkan beberapa teman lain ikut membantu membelikan selimut dan peralatan bayi.
“Intinya, pada masa pandemi kita berserah diri. Ada banyak keajaiban saat pandemi. Padahal gue enggak menjalankan ibadah (agama) dengan semestinya. Anak lahir di luar nikah, tetapi berkah itu semua melampaui norma agama, norma asusila, dan kalau sudah berkah ya demikian jalannya alam semesta,” ujar Mirda.
Kelahiran bayi di masa pandemi memang ibarat keajaiban. Di saat banyak orang meninggal dunia akibat COVID-19, kelahiran manusia baru sekaligus menyemai benih harapan baru. Ini sejatinya siklus kehidupan yang wajar.
Aini Sani Hutasoit, pegiat seni di Jakarta, mengakui jika pandemi semula sangat membatasi ruang geraknya. Namun, dia meyakini ada hikmah di balik setiap bencana.
“Si kembar lahirnya sebagai hadiah tahun baru, 2 Januari 2021. Aku sendiri masih dicekam parno (paranoid) akibat pandemi, sumpek banget, enggak bisa ke mana-mana. Sewaktu si kembar lahir, rasanya enggak bisa dijelasin. Luar biasa! Ini cucu ke-2 dan 3,” cerita Aini tentang kelahiran cucu kembarnya, Jemma dan Leora, yang kini memasuki usia 7 bulan.
Aini, putri sineas legendaris Indonesia, Asrul Sani, sebelum pandemi kerap menghabiskan waktu di luar rumah. Kini dia merasa beruntung bisa menyaksikan tumbuh kembang kedua cucu tercinta, yang kebetulan tinggal serumah, sambil mengelola situs Kultural.id yang fokus di bidang seni, sastra, dan kebudayaan.
“Enggak lama setelah cucu kembarku lahir, aku kehilangan dua iparku karena COVID-19,” tambah Aini.
Dia mengaku dulu sulit memiliki anak, meskipun sudah sempat berobat. Putra satu-satunya, Pascal Hutasoit, telah memberinya 3 cucu sekarang.
“Cucu-cucu panggil aku ‘One’. ‘One’ itu dari bahasa Minang, asal orang tuaku, yang arti sebenarnya ‘Tante’. Nah, dulu itu aku panggil nenek ‘One’ dan Pascal panggil ibu aku “One” juga. Kami nggak mau dipanggil nenek,” kata Aini.
Baca juga: Berusaha Untuk Selalu Bahagia Itu Enggak Perlu
Selain kesehatan, persoalan lain saat pandemi yang tidak kalah menggelisahkan adalah PHK massal. Ada pula yang terpaksa pensiun dini karena situasi di tempat kerja mulai tidak mendukung.
Viana (bukan nama sebenarnya) bercerita kesulitan yang dia alami, mulai dari pembatasan jam kerja akibat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga peraturan pihak perusahaan yang dinilai tidak adil untuk karyawan.
Ujung-ujungnya, Viana memutuskan untuk undur diri. Berbagai rencana masa depan pun disusun. Namun siapa sangka, saat mulai merasa nyaman hidup sendiri, dia justru dilamar oleh suami kakak sepupunya.
Semua terjadi cukup cepat. Kakak sepupu Viana meninggal beberapa bulan lalu akibat COVID-19. Di usia yang sudah tak lagi muda, 50 tahun, tawaran untuk menikah membutuhkan pemikiran yang serius. Apalagi sudah sekian lama dia hidup sebagai perempuan lajang yang sangat mandiri.
Setelah menimbang baik buruknya, serta mendapat masukan dari pihak keluarga, Viana memutuskan untuk menerima lamaran suami kakak sepupu. Selisih usia dengan calon suaminya 20 tahun. Kebetulan calon suami juga sudah pensiun dan bahkan punya cucu.
Diakui, calon suami sempat bertanya,”Kamu nanti mau punya anak?”
Sambil berseloroh Viana membalas,”Memang mau nanti usia 80 tahun mengantar anak ke TK?”
“Realistis saja. Siapa yang mau menikah di saat seperti sekarang? Saya juga memutuskan untuk tidak punya anak, karena faktor usia. Kami enggak lagi muda,” kata Viana.
Kendala klasik bukannya tidak ada. Anak dari calon suami keberatan ayahnya menikah lagi. Lucunya, justru sang Ayah yang mengancam akan pulang ke kampung halaman jika tidak diizinkan menikah dengan Viana.
Pasangan ini akan menikah pada September depan, tanpa resepsi. Mereka berniat menikah di masjid di hadapan Kepala KUA, dan memberi tahu kerabat dan keluarga lewat Zoom saja untuk menghindari kerumunan. Sebuah pilihan praktis di kala pandemi.
Tulisan yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments