Women Lead Pendidikan Seks
February 10, 2022

Curhatan Peneliti Pasca-BRIN Dibentuk: Gabut Hingga Ancaman Riset Tersendat

Ini cerita para peneliti yang terombang-ambing seteleh akuisisi BRIN. Mulai dari Gabut di rumah, sampai ancaman mati suri riset Indonesia.

by Luthfi T. Dzulfikar
Issues
Share:

Peleburan beberapa lembaga riset ke Badan Riset & Innovasi Nasional (BRIN) sejak September tahun lalu, berdampak besar terutama kepada para peneliti. Akhmad Farid Widodo, salah satunya. Perekayasa (engineer) senior di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT ) ini merasa kariernya terombang-ambing.

“Saya masih standby di rumah. Memang sesekali ke kantor, tapi sekadar diskusi atau berkumpul dengan kolega, atau membaca paper jurnal di jaringan kantor,” terangnya.

Farid merupakan satu dari banyak peneliti Indonesia yang masih menanti kepastian pasca lembaganya terserap ke lembaga riset raksasa tersebut.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021, beragam lembaga yang dilebur ke BRIN akan dirombak menjadi beberapa organisasi dan pusat riset (OR dan PR) berdasarkan bidang penelitiannya.

Sejauh ini, BRIN telah mengajukan sebanyak 12 OR – misalnya OR Kesehatan dan OR Tenaga Nuklir – serta 85 PR di bawahnya.

Namun, per Januari 2022, para OR tersebut belum final atau resmi beroperasi. Hal ini juga masih menanti pengalihan aset riset dari lembaga lama, termasuk peneliti dan laboratorium, yang belum 100% tuntas – tanpa ada perkiraan pasti kapan selesainya.

Ada yang berdiam diri di rumah, tersangkut di kementerian mereka, dan bagi yang sudah bergabung dengan BRIN mengungkap nuansa dominasi oleh salah satu lembaga terbesar yang diserap yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), atau yang mereka sebut “LIPI-nisasi”, dalam beragam aspek pengelolaan penelitian.

Baca juga: Dear Mama-mama S2 dan S3, Kamu Hebat, Kamu Tak Sendiri

Banyak pihak khawatir hal-hal tersebut akan berdampak signifikan pada masa depan riset di Indonesia.

Bertahan dalam Kebingungan

Muhammad Haripin, 36 tahun, adalah peneliti politik eks-LIPI yang telah bergabung ke BRIN, di bawah OR Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH).

Haripin relatif mudah beradaptasi dan menempatkan diri ke struktur baru BRIN. Format organisasi BRIN tidak jauh berbeda dengan yang dulu ada di lembaga lamanya.

Namun, banyak peneliti di lembaga dan kementerian lain belum sepenuhnya beralih. Pasca BPPT melebur ke BRIN, misalnya, Farid masih belum tahu OR dan PR mana yang akan ia tempati. Pasalnya, saat ini masih terdapat ketidakjelasan tentang divisinya di bawah BRIN.

Tahun lalu, ia terlibat pengembangan Drone Kombatan Elang Hitam. Lembaganya membentuk organisasi tersebut lalu menyusun perencanaan proyek untuk beberapa tahun (multi-year).

“Masuk BRIN belum jelas kebijakannya. Apakah program sebelumnya dilanjutkan atau tidak? Beberapa OR, meski belum definitif, sudah bisa ancang-ancang. Peneliti bisa buat inisiatif sendiri, perekayasa tidak,” terang Farid.

“Sejak Desember ibaratnya enggak punya kerjaan, culture shock juga. Biasanya pada akhir tahun bisa mendefinisikan apa yang kita kerjakan pada tahun-tahun berikutnya. Tapi ini blank.”

Lain lagi dengan Franto Novico, 48 tahun, peneliti geologi kelautan yang statusnya masih terombang-ambing antara Balitbang Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BRIN.

Tahun lalu, via Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN-RB), peneliti di kementerian diberi pilihan: bertahan sebagai peneliti dan pindah ke BRIN, atau tetap di kementerian dan beralih jadi non-peneliti.

Beberapa rekannya memutuskan berhenti jadi peneliti supaya bertahan di Kementerian ESDM. Namun, Franto memilih tetap mengejar passion (minat) sebagai peneliti.

“Di luar balitbang pun ada badan geologi dengan peneliti dan perekayasa yang juga kasihan, jumlahnya cukup banyak. Sampai detik ini masih menunggu kepastian nasibnya gimana,” katanya.

Saat ini, sesuai Perpres 78/2021, balitbang kementerian secara efektif sudah tidak ada. 

Sampai saat ini, belum ada keputusan dari MENPAN-RB atau BRIN terkait peralihan para peneliti Balitbang Kementerian ESDM secara resmi.

“Kita sudah mulai mencari informasi akan ke PR mana. Latar belakang riset saya ada kesamaan dengan PR terkait geoteknologi, ke arah kebencanaan geologi. Saya sudah mendekati [rekan peneliti di sana] walau belum di BRIN secara formal,” katanya.

“Kalau harus keluar ESDM dan bawa tas saja tanpa aset memadai untuk riset geologi kelautan, ya kita pasti sedih karena enggak bakal maksimal.”

Baca juga: Kenapa Banyak Orang Salah Ambil Jurusan Studi dan Apa Solusi Masalah Ini?

Tarik Ulur Aset Riset

Selain peneliti, ada juga ketidakpastian terkait pemindahan aset riset, terutama dari lingkungan kementerian.

Menurut BRIN, setidaknya ada tiga kementerian yang belum tuntas mengalihkan aset balitbang ke tubuh BRIN – termasuk ESDM, Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Pertanian (Kementan).

Perpres 78/2021 mengatur bahwa seluruh tugas dan fungsi riset – yakni balitbang beserta seluruh perlengkapan risetnya – di kementerian akan dialihkan ke BRIN. 

Franto menggambarkan ini dengan istilah “bedol desa”.

“Tapi sepertinya di kacamata kementerian, tugas dan fungsi litbang hanya sedikit,” ungkapnya.

“Di sini, koordinasi dan sosialisasinya perlu lebih baik lagi, baik dari pihak BRIN, KEMENPAN-RB, maupun Kementerian ESDM sendiri, sehingga informasi dapat sampai ke akar bawah. Jadi kita nggak nge-blank.”

Menanggapi ini, berbagai kementerian memiliki respons yang berbeda-beda.

Di Kementerian ESDM, tiga dari empat balitbang – Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira), dan Energi Baru Terbarukan (EBTKE) – dalam waktu dekat akan menjadi balai, bukan lagi lembaga riset, untuk mempertahankan sebagian asetnya.

“Artinya yang dipindahkan hanya sumber daya periset yang mau saja [ke BRIN], dan hanya sebagian kecil aset yang akan diserahkan ke BRIN. Sumber daya peneliti yang tidak pindah ke BRIN, akan masuk ke balai besar,” kata Franto.

Sebagai dampak dari tarik ulur aset tersebut, ada juga satu balitbang yang belum mendapat kepastian perubahan menjadi balai, yakni balitbang Geologi Kelautan (P3GL).

“Perubahan nomenklatur unit litbang di ESDM menyisakan satu unit litbang yang hilang. Jadi ini di internal lebih bingung lagi karena yang nggak ke BRIN statusnya makin nggak jelas,” ungkapnya.

“Posisi kita benar-benar transisi: belum diakui [di BRIN] karena belum ada SK-nya, di sini juga belum tahu unit kita jadi apa.”

“Padahal anggaran litbang kami sudah ditarik semua ke BRIN, sudah 0 untuk 2022. Tahun 2022 ini sudah nggak ada kegiatan litbang,” pungkasnya.

Adanya Nuansa “LIPI-nisasi”

Sebagian peneliti di lingkup BRIN mengungkap adanya nuansa dominasi oleh LIPI, atau yang mereka sebut “LIPI-nisasi”.

Banyak dari mereka harus beralih ke bentuk kelembagaan dan sistem kepegawaian yang terbilang mirip dengan LIPI – organisasi riset terbesar yang diserap ke BRIN.

“Ini lucu juga [..] Temen-temen di BATAN, LAPAN, BPPT menyebut BRIN ini LIPI-nisasi dunia penelitian […] Sebagai orang LIPI ini hanya migrasi ke BRIN, ibarat hanya pindah server, karena masih sama-sama serumah jadi mungkin dapurnya sama lah,” kata Haripin.

Baca juga: Permendikbud PPKS Saja Tak Cukup, Kita Butuh Rombak Sistem

“Tapi kalau LIPI-nisasi, kita jadi kayak yang jahat, padahal kita ngga seneng juga,” lanjutnya dengan nada bercanda.

Farid pun mengungkap hal senada dengan Haripin.

“Sulit diukur tapi sangat bisa dirasakan. Misalnya, pejabat di kedeputian mayoritas eks-LIPI, sistem di internal, katakanlah IT untuk pelayanan pegawai, absensi, dan lain-lain, itu menurut cerita teman-teman rasanya mirip LIPI,” katanya.

Padahal, dalam hasil evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE, atau e-government) Tahun 2021 yang dikeluarkan KEMENPAN-RB, LIPI meraih skor 1,75 atau “kurang” – di bawah BPPT (3,15) dan LAPAN (3,66).

Sedangkan dalam Penilaian Kepatuhan Standar Layanan Publik Tahun 2021 yang dirilis Ombudsman RI, nilai LIPI sebesar 69,12 atau masuk “zona kuning” – masih di bawah BATAN (88,92), BPPT (85,47), dan juga POLRI (71,98).

Farid juga masih menanti bagaimana sistem kerja perekayasaan yang kental di BPPT akan berjalan di BRIN, hal yang masih belum jelas hingga kini.

“Kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, kemudian perekyasaaan (litbangjirap) itu kan membutuhkan proses bisnis yang beragam,” katanya.

“Kita ada kekhawatiran, proses bisnisnya BPPT sampai sekarang belum terakomodir, baru dibangun dari proses bisnis penelitian di LIPI. Perekayasa belum tahu proses bisnis yang akan di bangun.” 

Transisi yang Lebih Mulus dan Partisipatif

Dalam episode podcast yang kami terbitkan beberapa waktu lalu, pengajar politik sains di Nanyang Technological University (NTU) Singapore, Sulfikar Amir mengatakan bahwa pelembagaan BRIN yang ia rasa tergesa-gesa ini akan punya dampak besar ke dunia riset Indonesia.

“Sepertinya BRIN saat ini punya ambisi untuk menyatukan ini sebanyak mungkin secepat mungkin – tidak mungkin akan selesai dalam waktu 1-2 tahun,” katanya.

“Sebaiknya BRIN melakukan transformasi secara gradual […] Kalau sekarang tidak, jadi semuanya diambil. Akhirnya berantakan. Ada beberapa teman peneliti yang belum punya pekerjaan, enggak jelas statusnya.”

Menurut Sulfikar dan para peneliti, hal ini pun dapat berujung pada “mati suri” dunia riset Indonesia selama beberapa tahun ke depan, maupun apa yang disebut “brain-drain” – larinya para cendekiawan Indonesia ke luar negeri – di tengah ketidakstabilan iklim penelitian Indonesia.

“Saya sendiri memproyeksikan 1-2 tahun lumpuh untuk melakukan konsolidasi. Saya belum melihat ada tanda-tanda mengarah ke lebih baik,” kata Farid.

Melihat potensi ketidakpastian yang dapat berlangsung hingga beberapa tahun, para peneliti menyerukan transisi pelembagaan BRIN yang lebih partisipatif.

“Sekarang, bagaimana membuka dialog dan partisipasi yang lebih luas bagi warga BRIN dan cendekiawan, agar menjaga keberlangsungan di masa depan,” terang Farid.

“Harus ada kerja keras dari BRIN dan KEMENPAN-RB. Benar-benar berkoordinasi ke tiap kementerian dan membantu mencari jalan keluar atas masalah yang timbul akibat peralihan ini sehingga interpretasinya akan sama dari atas ke bawah. Ini kan nggak main-main, menyangkut kehidupan dan masa depan periset,” pungkas Franto.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Lutfhi merupakan lulusan Universitas Gadjah Mada dan juga alumni Erasmus+ Undergrad Exchange Program di Universitas Carlos III Madrid. Selain memiliki semangat tinggi dalam diskursus isu-isu HAM terutama kebebasan berekspresi, ia sebelumnya juga sempat berkecimpung di industri film Yogyakarta sebagai sutradara dan produser.