Women Lead Pendidikan Seks
October 06, 2022

Dari Diana, Kini Marilyn: Obsesi Kita terhadap Penderitaan Perempuan

Dari Diana hingga Marilyn Monroe, kita melihat dunia terobsesi dengan penderitaan yang mereka alami. Dari mana obsesi ini datang?

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues
Diana
Share:

Hari Sabtu lalu (1/10) mungkin bisa dinobatkan sebagai salah satu momen yang pernah aku sesali seumur hidup. Malam itu aku memutuskan untuk menonton Blonde, film terbaru Andrew Dominik yang dirilis di Netflix. Film yang diadaptasi dari novel Joyce Carol Oates berjudul sama.

Blonde sudah lama menarik perhatianku karena ingin mengangkat kisah hidup Marilyn Monroe. Tadinya aku berharap film ini bisa memberikanku lebih banyak perspektif mengenai Marilyn Monroe. Sosok yang hingga kini hanya dikenal masyarakat luas sebagai simbol western sex bomb.

Sumber: IMDB

Nyatanya, bukan mendapatkan perspektif baru tentang kehidupan dan pribadi Monroe yang saya dapatkan cuma trauma. Sepanjang film yang berdurasi 2 jam 47 menit ini yang hanya tragedi dan penderitaan Monroe saja yang ditampilkan begitu leluasa.

Prolog film ini saja sudah dimulai dengan masa kecil Monroe yang kelam bersama sang ibu yang bahkan berusaha membunuhnya. Bagaimana dengan adegan-adegan selanjutnya? Tak usah ditanya. Isinya tak lebih dari penderitaan Monroe. Mulai dari dirinya diperkosa tak lebih dari sekali, aborsi, hingga keguguran. Semua dinarasikan penuh drama dan sensasionalisme. Monroe di Blonde digambarkan tak lebih dari luka dan traumanya.

Baca Juga: ‘City of Joy’: Ubah Luka Korban Pemerkosaan Jadi Kekuatan

Penggambaran derita Monroe di media sayangnya bukan terjadi satu dua kali saja. Mirisnya, dia pun bukan perempuan satu-satunya yang penderitaan dan tragedinya dieksploitasi oleh media. Kita mengenal Diana Spencer yang sejak kematiannya 25 tahun lalu sosoknya kerap dijadikan bahan sob story. Berbagai film dan serial TV dirilis untuk menggambarkan penderitaan selama menjadi putri Wales di kerajaan Britania Raya.

Mirisnya, banyak orang menyukainya. Lihat saja kesuksesan season keempat serial Netflix The Crown yang secara khusus menggarisbawahi kisah hidup Diana. Atau berbagai pujian yang dilayangkan kritikus dan penikmat film terhadap film Spencer (2021).

Sumber: IMDB

Misery Porn, Genre Literatur yang Kemudian Meluas

Dalam memahaminya obsesi manusia terhadap penderitaan, aku pun berusaha mencari istilah apa yang tepat paling menggambarkan obsesi kita ini beserta alasan dibaliknya. Aku pun menemukan jawabannya melalui istilah misery porn. Istilah yang bahkan masuk dalam daftar kategori film di Letterbox yang dibuat oleh beberapa usernya.

Istilah misery porn jika mengacu pada artikel The Guardian dan BBC pertama kali dikenal dan dipakai bukan dari dunia perfilman atau serial TV, tetapi dari dunia literatur. Seperti namanya, misery porn adalah genre yang menekankan pada aspek kesengsaraan atau penderitaan protagonisnya. Maka, isinya pun tak lebih adalah kumpulan trauma dan luka melalui penggambaran rinci berbagai kekerasan dan pelecehan. Baik secara emosional, fisik, maupun ekonomi yang dialami protagonisnya.

Dengan menekankan kesengsaraan atau penderitaan, genre misery porn juga terkenal dengan gaya penulisan yang mendramatisir dengan sebagian besar diceritakan tanpa akhir bahagia. Dalam sejarahnya, awal kemunculan genre ini ditandai dengan kemunculan memoar Helen Forrester, Twopence to Cross the Mersey pada 1974. Memoar yang berkisah tentang kesengsaraan hidupnya yang harus jatuh miskin akibat era Great Depression (1929 – 1939).

Baca Juga: Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya

Namun, kritikus sastra berpendapat kepopuleran genre ini baru mencapai titik tertingginya lewat memoir Dave Pelzer pada 1995 berjudul A Child Called It. Utamanya karena memoar Pelzer sangat menggambarkan esensi dari misery porn itu sendiri. Melalui memoarnya, Pelzer menulis pengalaman kekerasan dan pelecehan seksual yang ia terima dari ibunya yang seorang pecandu alkohol. Penggambarannya begitu rinci dan dengan cepat memoarnya jadi buku terlaris pada masa itu yang tercatat telah terjual lebih dari 3,5 juta buku di Inggris saja.

Melalui Pelzer, genre ini kemudian mulai banyak diminati. Dilansir dari The Independent, pada 2007 genre ini bahkan digadang sebagai ledakan genre terbesar di dunia literatur. Jaringan pengecer buku Inggris di Waterstone dan WH Smit bahkan sampai melembagakan seksi buku khusus (fiksi dan non-fiksi) dengan masing-masing namanya adalah “Painful Lives" dan “Tragic Life Stories”.

Istilah misery porn yang sudah dikenal di dunia sastra pun kemudian meluas dan dipakai untuk mendeskripsikan genre serupa dalam film atau serial TV beberapa tahun belakangan ini. Saat film Blonde rilis misalnya beberapa ulasan awal mengkategorikan film ini sebagai film misery porn. Namun, dilansir dari artikel Bustle, salah satu contoh paling menonjol genre misery porn dalam dunia perfilman atau serial TV dapat dilihat dari kemunculan The Handmaid’s Tale (2017).

Walaupun The Handmaid’s Tale sendiri diadaptasi dari novel Margaret Atwood yang diklaim sebagai novel feminis, eksekusi dari Bruce Miller dinilai oleh beberapa jurnalis perempuan dan kritikus telah melucuti semua harapan dan membuang komentar sosial Atwood mengenai perjuangan serta kehidupan perempuan di masyarakat patriarki. Hal yang tertinggal dan jadi atraksi utamanya hanyalah kekejaman yang sinis. Utamanya lewat berbagai gambaran eksplisit kekerasan seksual berulang dan trauma karakter-karakter perempuan.

Kita Secara Sepsifik Suka Melihat Penderitaan Perempuan

Dr. Ramani Durvusala, seorang psikolog klinis dan profesor psikologi di California State University, Los Angeles dalam wawancaranya Bustle sempat menjelaskan salah satu alasan dibalik ketertarikan kita terhadap tontonan misery porn. Menurutnya secara esensi manusia itu punya ketakutannya masing-masing dan sering kali kita terjebak dalam ketakutan kita sendiri.

Kita tak bisa mengendalikan rasa takut kita ini. Tapi dengan mengkonsumsi narasi misery porn, kita diberikan kesempatan untuk terlibat dalam fantasi dan memiliki pengalaman ketakutan yang mampu kita kendalikan sendiri. Hal ini tak lain karena kita tak mengalaminya langsung. Kita melihatnya dalam kacamata orang ketiga.

Sehingga kita tak hanya mendapatkan luapan adrenalin selama menontonnya, kita juga mendapatkan “latihan mental” dalam mempertimbangkan apa yang mungkin kita lakukan dalam situasi serupa. Situasi yang kemungkinan besar tidak akan pernah kita alami sendiri. There’s a sign of relief because everything is under control.

Tetapi dari semua penjelasan ini masih ada satu hal yang masih tak terjawab. Mengapa secara sepsifik kita suka melihat penderitaan perempuan? Mungkin Leslie Sierra Jamison, novelis dan penulis esai Amerika bisa menjawabnya.

Dalam tulisannya Grand Unified Theory of Female Pain yang diterbitkan oleh Universitas Virgiana Jamison menuliskan kita sebenarnya sejak dulu sudah sering kali melihat perempuan yang terluka. Dalam mitologi, cerita rakyat, dan dongeng misalnya rasa sakit dan penderitaan para perempuan mengubah mereka menjadi dewi atau makhluk mistik lain.

“Derita dari segala kekerasan yang mereka terima membuat mereka surgawi. Kita tidak bisa berhenti membayangkan cara baru untuk menyakiti mereka (perempuan)."

Kesedihan membuat perempuan “menarik”, karena kesedihan adalah tanda dari kelembutan, kepekaan, dan ketidakberdayaan.  Hal-hal yang membuat perempuan terlihat ideal dalam pandangan masyarakat.

Baca Juga:    Film Sebagai Katarsis Bagi Penyintas Kekerasan Seksual

Maka saat kita mulai berbicara tentang perempuan yang terluka, kita mengubah penderitaan mereka menjadi suatu hiperbola. Bahwasanya rasa sakit, penderitaan, dan kesedihan secara esensi yang membentuk mereka.  Seorang perempuan membutuhkan rasa sakit dan rasa sakit itu adalah perekat tanpa akhir dan prasyarat kesadaran mereka.

Pernyataan Jamison ini kemudian senada dengan pemikiran Simone de Beauvoir dalam tulisannya di The Second Sex (1949). Beauvoir mengatakan kemanusiaan itu adalah laki-laki. Masyarakat patriarkal yang masih didominasi oleh kuasa maskulin laki-laki mendefinisikan perempuan bukan dalam dirinya sendiri, tetapi dalam hubungannya dengan orang lain.

Citra mereka dibentuk dan sebarkan oleh laki-laki dan keberadaannya didasarkan pada hubungan mereka dengan patriarki. Maka tak heran jika perempuan kerap kali kita lihat digambarkan hanya lewat manifestasi luka dan penderitannya saja. Mereka tak berdaya dan tak punya kuasa sampai laki-laki memutuskan sebaliknya.

Dalam sinema, penggambaran perempuan lewat penderitaanya ini bisa kita lihat dalam tulisan Claire Johnston, ahli teori film feminis. Dalam esainya Women's cinema as counter-cinema (1973) mengungkapkan bagaimana laki-laki berada di pusat alam semesta dalam teks yang berfokus pada citra perempuan.

Karena itulah produk-produk seperti film, mengemas jalan cerita, dialog, dan musik agar sejalan dengan pesan perempuan tak setara dan berbeda dengan lelaki”. Cara laki-laki me-liyan-kan perempuan dalam film tergambar dari bagaimana mereka menggambarkan kelompok ini sebagai pihak yang tak berdaya. Mereka selamanya adalah korban yang tak punya suara beserta penderitaan yang tak kenal ujungnya.

Melihat bagaimana citra perempuan dibentuk sedemikian rupa, memang sudah waktunya kita memutar balikkan keadaan. Perempuan itu lebih dari luka dan penderitaannya. Sama seperti cerita Diana dan Monroe yang berulang kali diangkat media.

Mereka bukan sekedar perempuan yang mati tragis dan dieksploitasi. Diana berulang kali jadi simbol perlawanan dan kemanusiaan. Ia tak takut tampil dan bertindak di luar batas norma Kerajaan Inggris dan ia berjasa dalam mengikis stigma orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Begitupula dengan Monroe. Ia aktif mendorong kebebasan artistik sejawatnya, mengaungkan upah setara di tengah diskriminasi upah tajam di Amerika, dan kondisi kerja kerja yang baik bagi perempuan.

Kita butuh cerita-cerita perempuan berdaya lebih diangkat dari penderitaan. Seperti kata Jamison, ada cara lain untuk mewakili citra dan kesadaran perempuan yang lebih besar rasa sakit itu sendiri. Cara itu adalah memperlihatkan bagaimana mereka tumbuh dan menyembuhkan diri dari rasa sakit dan penderitaan mereka.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.