Women Lead Pendidikan Seks
July 13, 2022

Dari Hitler hingga Pattimura, Obsesi Mengislamkan Semua Orang

Ada dua penjelasan kenapa kita gemar melakukan “islamisasi” pada figur pahlawan hingga objek sejarah.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues
Obsesi Mengislamkan Semua Orang
Share:

Banyak orang familier dengan Kapitan Pattimura, pahlawan Maluku yang tampangnya abadi di uang pecahan Rp1000. Tak hanya berani melawan penjajah, ia juga dikenal sebagai umat Kristen pribumi yang taat.

Belakangan, identitas agamanya jadi bahan perdebatan di media sosial. Dalam ceramah yang viral di Twitter, Ustaz Adi Hidayat menjelaskan, Kapitan Pattimura sebenarnya adalah seorang Muslim. Namanya bukan Kapitan Pattimura, kata dia, tapi Ahmad Lussy. Menurut ustaz itu, Ahmad Lussy adalah kyai yang memimpin pesantren, yang santrinya punya semangat bela negara.

“Siapa orang yang mempermainkan sejarah Indonesia sampai-sampai kita semua tidak mengetahui fakta ini?” kata Adi Hidayat.

Ia lantas menuduh tanpa bukti bahwa orang Barat yang bertanggung jawab atas penghapusan sejarah tokoh Muslim ini.

Guna mendukung pernyataannya, ia mencontohkan nama-nama cendekiawan Muslim berpengaruh, seperti Ibn Sina dan Ibnu Rusyd. Nama Islam mereka sengaja dihapuskan oleh orang Barat, dan digantikan dengan nama Latin Avicenna dan Averroes.

“Diganti namanya supaya generasi berikutnya tidak ingat ada orang yang ketika mewujudkan kemerdekaan, mereka malamnya tahajud, siangnya puasa,” imbuhnya.

Baca Juga: Kasus Rendang Babiambo: Banyak Muslim Mabuk dan Zina tapi Tolak Makan Babi

Mari Mengislamkan Semuanya

Ketika pertama kali saya mendengar isi ceramah tersebut, saya tak bisa menahan diri untuk tertawa. Bukan apa-apa, narasinya ini mengingatkan saya pada fenomena berulang yang terjadi di Indonesia soal pahlawan yang “diislamkan”.

Napoleon Bonaparte, tokoh militer dan politik Prancis misalnya. Dalam buku berjudul Rahasia yang Tersimpan: Napoleon Bonaparte Ternyata Muslim (2012), disusun dengan metode serampangan, penulis R. M. Irwan menjelaskan Bonaparte adalah Muslim yang “diduga” dari Makassar. 

Sosok Bonaparte yang “diduga” Muslim juga dituliskan dalam buku Api Sejarah (2015) karya Ahmad Mansur Suryanegara. Buku ini juga menjelaskan Kapitan Pattimura dan Sisingamangaraja XII sebenarnya adalah Muslim. Tanpa rujukan dan metodologi sejarah yang jelas, Ahmad bilang, Bonaparte “diduga” Muslim karena ia mengimplementasikan ajaran dan hukum Islam di Prancis.

Yang dimaksud Ahmad ini adalah ajaran Rasulullah tentang Islam yang universal. Agama yang berdasarkan rasa persaudaraan, tak mengenal status sosial seseorang. Dengan ajaran ini kata Ahmad, Bonaparte menggerakkan petani Prancis untuk berpartisipasi dalam Revolusi Perancis. Sementara, hukum Islam sendiri dipakai Bonaparte untuk menetapkan ukuran dan takaran dalam hubungan berniaga ala Umar bin Khattab dan hukum Mesir.

Bukan hanya tokoh atau pahlawan saja yang diislamkan, peninggalan sejarah yang mendunia berasal dari agama lain pun tak boleh ketinggalan. Lihat saja buku K.H. Fahmi Basya berjudul Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman (2012). Mengklaim telah melakukan riset selama 33 tahun, ia bilang, Negeri Saba yang disebutkan dalam Alquran ada di Jawa, lebih tepatnya di Magelang. Ia begitu yakin dengan klaim itu karena relief-relief Borobudur diambil dari kisah-kisah Alquran dan sudah ada sebelum tahun masehi.

Melihat buku-buku yang dicap sebagai buku sejarah dengan penelitian yang digadang-gadang dilakukan puluhan tahun ini membuat saya tak habis pikir. Nampaknya memang orang Muslim apalagi Muslim Indonesia punya semacam obsesi mengislamkan semua orang bahkan semua hal. Obsesi yang dalam ranah akademik dikenal sebagai Islamisasi. Sebuah proses di mana suatu masyarakat bergeser ke arah agama Islam dan menjadi sebagian besar Muslim.

Obsesi tersebut mengandaikan dunia itu tidak akan tentram dan aman sentosa jika orang berbeda dengan mereka. Hanya orang Muslim yang pantas disebut pahlawan. Hanya peninggalan sejarah Islam saja yang patut mendapatkan predikat berpengaruh dan megah. Jurus cocoklogi pun jadi andalan, dan tak sedikit pula yang akhirnya menelan mentah-mentah informasi dari buku yang bahkan metodolog sejarahnya saja tak jelas.

Baca Juga:   Kampanye #PositifkanIstri Bukti Kebodohan Tak Bertepi

Mencoba Merasionalisasi Fenomena Islamisasi

Sebagai seorang Muslim, saya penasaran, adakah alasan yang bisa kita rasionalisasi dari fenomena ini? Saya berbincang dengan adik laki-laki. Orang yang dalam ukuran orang Muslim Indonesia termasuk orang Muslim “Kaffah”. Ia tak pernah absen salat Subuh dan Isya di masjid sebelum dan sudah mengakhiri hari.

Dalam perbincangan saya, ia berujar, fenomena Islamisasi hadir karena orang Muslim sangat mendambakan kejayaan Islam di masa lalu. Ia mengungkapkan bagaimana di masa kejayaan Islam dulu, roda ilmu pengetahuan dan ekonomi dunia digerakkan oleh Islam. Nama-nama seperti Ibn Sina, Ibnu Rusyd, atau Al-Khwārizmī misalnya, adalah tanda bagaimana Islam dulu memerankan peran yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dunia, dari Kedokteran, Matematika, Astronomi, hingga Filsafat.

Kebesaran kesultanan Islam seperti Ottoman pun juga jadi alasan rindunya orang-orang Muslim pada kejayaan Islam. Dalam pemerintahan kesultanan Ottoman, Islam sempat mencicipi masa keemasannya. Dilansir dari halaman resmi History, kesultanan Ottoman mencapai puncaknya antara 1520 dan 1566, pada masa pemerintahan Suleiman yang Agung. Periode ini ditandai dengan kekuatan besar, stabilitas dan kekayaan. Suleiman menciptakan sistem hukum yang seragam dan menyambut berbagai bentuk seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Sains dianggap pada masa kejayaan Islam dipandang sebagai bidang studi yang penting. Kesultanan Ottoman dalam hal ini mempelajari dan mempraktikkan matematika tingkat lanjut, astronomi, filsafat, fisika, geografi, dan kimia.

Hal ini tentu saja berdampak pada beberapa kemajuan terbesar dalam pengobatan yang ternyata dibuat selama kesultanan Ottoman. Mereka menemukan beberapa instrumen bedah yang masih digunakan sampai sekarang, seperti forsep, kateter, pisau bedah, penjepit dan lanset.

Maka tak heran dari kejayaan Islam melalui kesultanan Ottoman, masyarakat Islam berhasil menghasilkan pencapaian penting dalam seni, ilmu pengetahuan, agama, dan budaya yang pada prosesnya diadopsi oleh Barat. Tak ayal, inilah yang kemudian dirindukan Muslim saat ini. Keadaan mereka yang kini terpecah belah karena konflik perang hingga konflik dengan saudara seiman sendiri, saling mengkafirkan satu sama lain misalnya, membuat masyarakat Islam tak bisa semaju dahulu. Dengan mengislamkan tokoh atau peninggalan sejarah, kerinduan akan kejayaan Islam setidaknya bisa sedikit terobati. Cause reminiscing good all days will make you happy and powerful right?

Selain karena rindu kejayaan Islam di masa lalu, penyebab islamisasi adalah kurangnya kehadiran para ahli atau pakar. Dalam bukunya The Death of Expertise (2017), Tom Nichols menjelaskan bagaimana orang awam berani menghina atau bahkan menggurui para pakar (expert). Teknologi dan peningkatan tingkat pendidikan telah membuat orang lebih banyak mendapatkan informasi daripada sebelumnya. Namun, keuntungan sosial ini juga telah melumpuhkan daya kritis banyak orang.

Baca Juga: Valentine’s Day Memang Patut Diharamkan!

Hari ini, semua orang tahu merasa paling tahu segalanya. Hanya dengan sapuan tangan di Google, tiap orang bisa mencari informasi baru dan menyerapnya dengan cepat pula. Kemudahan ini tak hanya berdampak positif, namun juga berimbas pada kepercayaan diri individu yang merasa paling pintar.

“Semua suara, bahkan yang paling konyol sekali pun, menuntut untuk ditanggapi dengan keseriusan yang sama, dan setiap klaim yang bertentangan akan ditolak sebagai elitisme yang tidak demokratis,” tulis Nichols.

Apa yang dijelaskan Nichols ini nyata terjadi di Indonesia, tidak terkecuali di kalangan Muslim dengan banyak bermunculannya para pendakwah agama. Dalam kasus ceramah Adi Hidayat dan narasi Kapitan Pattimuranya jelas terlihat, ia bukan sejarawan. Namun, karena secuil informasi tanpa keinginan untuk memverifikasinya, ia spontan menyebarkan itu kepada publik.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.