Seorang teman baru-baru ini membagikan tautan berita di Facebook dengan judul dan isi berita yang bombastis. Menurut berita tersebut, sudah ada satu pasien di Rumah Sakit Doris Sylvanus, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang diisolasi karena diduga terkena virus Corona.
Merasa skeptis karena laman media tersebut tidak meyakinkan, saya mencari tahu tentang berita tersebut di Google. Ada banyak referensi yang muncul, dan setelah saya telusuri, ternyata berita tersebut adalah hoaks. Yang benar, isolasi pasien tersebut merupakan bagian dari simulasi perawatan di RS Doris Sylvanus.
Dari sana, saya membayangkan berapa banyak orang yang tidak melakukan pengecekan fakta dengan mudahnya termakan hoaks, apalagi berita tersebut dibagikan oleh puluhan ribu orang. Arus informasi yang semakin tidak terkendali menjadikan semua orang lebih mudah terjerumus dalam berita hoaks. Belum lagi berita-berita dengan judul dan angle yang terlalu sensasional, seperti tentang pesohor Lucinta Luna.
Untuk itu, penting buat kita untuk menjadi pembaca yang lebih cerdas dan kritis. Tidak mudah percaya terhadap suatu informasi serta mencari kebenaran data, atau lebih jauh lagi mencari referensi dari isu yang sedang dibaca, merupakan salah satu ciri pembaca kritis. Membaca kritis bisa diartikan sebagai proses membaca informasi sebagai sebuah proses berpikir, mempertanyakan, dan berujung pada peningkatan pengetahuan.
First Draft, organisasi nirlaba internasional yang mengadvokasi kepercayaan dan kebenaran di dunia digital mengatakan, audiens atau pembaca merupakan salah satu pihak penting yang turut berperan dalam ekosistem pemberitaan. Setiap kali kita menerima informasi tanpa memeriksa kebenaran data, kita menjadi pihak yang juga bertanggung jawab atas beredarnya hoaks yang menjadi “polusi” di dunia digital.
Berikut adalah tips untuk menjadi pembaca yang kritis, yang saya kumpulkan dari berbagai sumber serta dari wawancara dengan peneliti media Remotivi, Roy Thaniago.
Baca juga: Perempuan dan LGBT di Media Online: Direndahkan dan Dilecehkan Demi Konten
-
Selalu merasa skeptis
Skeptis bisa diartikan sebagai perasaan ragu, yang diikuti dengan proses mencari tahu lebih dalam. Menurut Roy, sikap skeptis bisa dimulai dengan menunda penilaian terhadap sebuah informasi, apa pun itu dan di mana pun itu.
“Kita jangan terlalu percaya bahwa apa yang diberitakan media itu suatu kebenaran. Jadi kita butuh kesadaran pertama-tama bahwa informasi itu sifatnya belum final, itu hasil pekerjaan media yang tentunya ada kepentingan juga,” ujarnya pada Magdalene.
-
Cari tahu tentang kredibilitas media
Menjamurnya media abal-abal yang hanya mementingkan klik tak jarang membuat kita terkecoh, tidak bisa membedakan mana institusi media yang terverifikasi dan melakukan kerja jurnalistik, dengan institusi penyebar hoaks dan konten bermuatan sensasi. Setiap institusi media selalu punya segmen pembaca masing-masing, sehingga penting untuk memilih media mana yang lebih sesuai dengan pemikiran kita, tentunya dengan kredibilitas yang jelas. Jangan sampai kita memberi ruang pada media yang tidak kredibel untuk terus memproduksi konten-konten provokatif dan minim data. Seperti yang disebut First Draft, kita turut andil dalam eksistensi mereka di dunia digital.
“Sebagai pembaca kritis kita harus mau usaha, jangan hanya mau gampang menyimpulkan satu informasi yang diterima. Kita tidak bisa mengambil satu informasi dari satu media saja, paling tidak kita butuh untuk lebih mau repot membandingkan satu informasi dengan informasi lainnya,” ujar Roy.
Sering kali apa yang disajikan media itu informasinya tidak salah, tapi kita juga perlu melihat sudut pandang dan latar belakang medianya, tambahnya. Media yang cenderung liberal, misalnya, biasanya cenderung akan bias terhadap pandangan-pandangan konservatif dengan tidak adil.
“Sebaliknya media dengan pandangan konservatif akan menyebut media liberal sebagai tidak adil. Sehingga penting untuk membaca media-media yang beragam dimensi paradigmanya, dimensi ideologinya,” kata Roy.
Baca juga: Menjual Perempuan dalam Berita Olahraga
-
Membaca dengan pikiran terbuka
Hasil penelitian First Draft menunjukkan, ketika manusia mendengar berita yang emosional, baik menimbulkan perasaan sedih maupun marah, kemampuan untuk berpikir kritis menjadi sangat berkurang. Saat berselancar di media sosial, sering kali kita secara spontan membagikan sesuatu hanya karena dorongan emosi semata, dan keinginan untuk berkomentar sulit dibendung. Karenanya, membaca berita dengan pikiran terbuka menjadi penting. Melihat sesuatu bukan dari kacamata kuda, artinya tidak membatasi melihat masalah dari satu sisi saja.
“Kita harus menjadikan informasi atau media sebagai teman diskusi, artinya dia dipakai untuk memperkaya pengetahuan, memperkaya khazanah, bukan untuk menebalkan keyakinan kita terhadap suatu hal,” ujar Roy.
Misalnya kita yakin bahwa virus Corona itu ada, kita hanya mencari berita atau informasi yang berkorespondensi dengan apa yang kita percaya itu, lalu kita menolak informasi-informasi terbaru tentang virus tersebut yang masih belum ditemukan kasusnya.
-
Pertimbangkan judul
Judul berita menjadi hal yang pertama dilihat sebelum akhirnya kita membuka isi lengkapnya. Industri media yang hanya mementingkan perspektif pasar akan membuat judul sebombastis mungkin, yang disengaja untuk memainkan emosi dan rasa penasaran kita. Sebagai pembaca kritis, jangan sampai terjebak untuk mengklik berita semacam itu, dan menjadi salah satu penyumbang pundi-pundi rupiah bagi media semacam itu.
-
Membaca dengan santai, jangan terburu-buru
Banyak orang yang salah menginterpretasikan berita yang ia baca, hanya karena membaca berita tersebut dengan terburu-buru. Membaca merupakan proses pengolahan informasi, jadi jangan sampai seperti dikejar tenggat. Membaca secara santai bisa membuat kita lebih punya banyak waktu untuk memahami makna dalam setiap kalimat yang hendak disampaikan penulis.
“Sebaiknya kita menunda penilaian terhadap sesuatu yang hanya dilihat selintas, tanpa proses pencarian informasi pembanding,” ujar Roy.
-
Gunakan kamus atau cari referensi
Dalam membaca berita acap kali ada beberapa kata atau istilah yang terasa asing. Meski demikian, jangan hanya membiarkan kata-kata asing lewat begitu saja. Itu bisa menjadi hal baru yang makin memperkaya khazanah pengetahuan kita. Menjadi kritis artinya terbiasa mencari tahu makna dari sesuatu yang terdengar asing, dan juga mencari referensi yang tepat untuk menjelaskan secara komprehensif mengenai hal yang tidak kamu mengerti.
Comments