Women Lead Pendidikan Seks
October 04, 2022

Dear Baim Wong dan Paula, KDRT itu Bukan Bahan Candaan

Alih-alih bersimpati kepada korban KDRT, konten kreator Baim Wong dan Paula justru anomali. Mereka ‘prank’ polisi dan menjadikan KDRT bahan candaan.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues
Share:

Dear Baim Wong dan Paula Verhoeven,

Dua hari lalu (2/10), saya melihat banyak orang geram karena kamu bikin video konten prank kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Saya berusaha tak terpancing, tapi ternyata diam tak merespons ulahmu itu lebih sulit dari yang saya bayangkan. Saya nyaris misuh“Asu” andaikan saja orang tua tak duduk di samping saya.

Benar-benar saya tak habis pikir. Saya kira sejak hujatan massal orang-orang atas tindakanmu mendaftarkan merek Citayam Fashion Week, enggak bakal lagi ada kecerobohan lainnya. Eh, sekarang kamu dengan tanpa beban membuat konten prank soal KDRT. Lengkap dengan sandiwara pelaporan palsu ke kantor polisi. Serius tanya, biar apa, sih? Saya tahu riding the wave dalam membuat konten itu penting, tapi tolong jangan begini-begini amat mengemis klik.

Atau jangan-jangan, ini memang strategi agar sorot kamera beralih kepadamu? Alih-alih mencoba bersimpati pada cerita para korban KDRT, termasuk bintang dangdut Lesti Kejora.

Baca Juga:  Nyaring dan Sunyi KDRT: Suramnya Budaya Kepemilikan dalam Keluarga

KDRT adalah Momok Banyak Perempuan

Baim dan Paula. Yang pertama dan paling utama, tolong pahami, KDRT itu bukan bahan candaan. Saya paham kalian sudah minta maaf dan menghapus konten prank KDRT pada (3/10). Akan tetapi, rasanya kalian berdua belum menyadari seberapa fatal kesalahan tersebut.

Apalagi permohonan maaf kalian enggak ditunjukkan secara khusus buat para korban. Pihak kepolisian yang selalu digarisbawahi dan jadi pihak pertama yang kalian ucapkan maaf. Bukan korban dan penyintas yang pengalamannya dijadikan bahan olok-olok.

Karenanya, di sini saya mau sedikit memberikan pencerahan. Baim dan Paula harus tahu, KDRT itu jenis kekerasan berbasis gender (KBG) yang paling sering dan umum terjadi pada perempuan di seluruh dunia. Enggak percaya?

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dalam laporan mereka pada 2021 mencatat, secara global 81.000 perempuan dan anak perempuan terbunuh pada 2020. Sebanyak 47.000 dari mereka (58 persen) meninggal di tangan pasangan intim atau anggota keluarga. Artinya apa? Seorang perempuan setidaknya dibunuh setiap 11 menit di rumah mereka sendiri.

Selain itu, lebih dari satu dari empat perempuan atau sebesar 27 persen mengalami kekerasan pasangan intim sebelum usia 50 tahun. Data ini diperoleh melalui analisis yang mencakup 366 studi yang melibatkan dua juta perempuan di 161 negara oleh para peneliti dari Universitas McGill dan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mengingat kalian berdua warga Indonesia, jadi saya rasa penting memahami situasi genting KDRT di sini. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 Komnas Perempuan disebutkan, KDRT selalu jadi kasus yang paling menonjol tiap tahunnya.

Dalam hal ini, Komnas Perempuan seperti yang pernah dilaporkan dalam Magdalene, mencatat, 7.770 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah personal. Merujuk pada data dari lembaga layanan, tercatat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menduduki peringkat satu sebanyak 2.633 kasus.

Angka-angka ini adalah angka tercatat. Masih banyak sekali kasus KDRT yang tak dilaporkan. Jadi tolong pahami ya, Baim dan Paula, konten kalian itu sangat enggak empatik and sorry to say, enggak bermutu.

Mencari klik dan adsense dengan konten KDRT ibarat menari-nari di atas luka para korban. Padahal kalian paham, perempuan enggak pernah bisa aman bahkan di rumahnya sendiri. Ini belum termasuk ekses yang timbul dari KDRT.

Korban dan penyintas KDRT pasti mengalami trauma emosional dan psikologis. Trauma ini berjalan seumur hidup ini dan berefek pada kesehatan fisik, mental, dan emosional perempuan korban dan penyintas. Perempuan jadi lebih rentan mengalami depresi hingga bisa melukai diri sendiri.

Belum lagi, KDRT yang dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan kekerasan fisik. Perempuan bisa mengalami cedera permanen yang tak bisa ditangani medis. Contoh, pengalaman IN (34) yang badannya 90 persen terkena luka bakar saat mantan suaminya membakar ia pada September lalu.

Selain itu, KDRT juga berdampak pada rentannya perempuan menjadi tunawisma. Dilansir dari NSW Government Communities & Justice, 1 dari 3 perempuan yang mencari bantuan dari layanan tunawisma bilang, KDRT adalah masalah utama. Mereka inilah yang pada prosesnya kehilangan berbagai hak dasar, termasuk mendapatkan hak kesehatan ketika tak memiliki dokumen kependudukan pascakabur dari rumah.

Baca Juga: Beranilah untuk Berpisah

Setop Jadikan KDRT Bahan Candaan

Coba bayangkan jika masalah KDRT dinormalisasi jadi candaan lewat konten kalian ini. Saat ada korban bercerita tentang pengalamannya, kita justru meremehkan pengalaman mereka dan tak menganggap serius masalahnya.

Ya elah lebay banget sih!”

Kalau gue mah mau digituin, masa gitu doang ngadu.

Mungkin ini akan jadi kalimat yang lebih sering dilontarkan pada korban. Ini enggak hanya akan menambah trauma, tapi juga berpotensi melanggengkan budaya kekerasan. Budaya yang sudah lama dipelihara dan jadi akar masalah mengapa KDRT jadi kekerasan sunyi.

Mas Baim dan Mbak Paula harus tahu, budaya kekerasan ini melihat KDRT sebagai sebuah aib yang harus ditutupi. Ia tak pernah sekali-kali dianggap sebagai masalah yang perlu diintervensi. Perempuan dituntut jadi yang paling mengayomi seakan tanggung jawab penuh bertahannya sebuah relasi ada di tangan mereka. Mereka dipaksa untuk paling mengerti, memahami, dan mengalah dengan segala perilaku pasangannya, walau kekerasan harus diterima.

Maka enggak heran, banyak perempuan yang menyalahkan diri sendiri atas KDRT tersebut. Mereka akhirnya juga jadi enggan untuk melapor karena takut kena sanksi sosial akibat menyebarkan aib keluarga.

Dalam budaya ini pula, relasi kuasa timpang dipelihara. Melakukan kekerasan terhadap perempuan jadi benar, karena istri sepenuhnya milik laki-laki. Mereka harus patuh kepada kepala keluarga yang punya kuasa. Jadi, Baim dan Paula, KDRT jarang berdimensi tunggal. Ia cenderung berulang, kadang terus-menerus, dan dalam jangka waktu yang lama.

Karena itu, menurut hemat saya, konten prank kalian ini berbahaya sekali karena berpotensi mereviktimisasi korban. Korban yang berani melapor dan benar mengalami kekerasan kemungkinan justru tak dipercaya pernyataannya oleh aparat penegak hukum. Konten kalian itu bisa jadi justifikasi aparat penegak hukum menginvalidasi pengalaman korban. Menganggapnya remeh, bahkan disalahkan kembali.

Baca Juga: Infografik: Jenis-jenis KDRT

Ujung-ujungnya korban KDRT jadi semakin sulit mengakses keadilan. Kasus yang tak terlaporkan mungkin saja akan semakin banyak. Karena seperti apa yang pernah diungkapkan Siti Aminah, Komnas Perempuan dalam wawancaranya bersama Detik.com, konten prank kalian ini bisa mengkerdilkan keberanian korban untuk melapor. Keberanian yang beberapa tahun belakangan sudah mulai muncul dan terpupuk.

Jadi, Baim dan Paula, saya mohon setop bikin konten nirfaedah begini. Biasa-biasa saja lah. Masih banyak hal lain yang bisa diangkat tanpa harus melukai perasaan korban kekerasan. Ingat, kalian itu figur publik yang tentu saja punya pengaruh besar.

Yang tak kalah penting, lain kali kalau buat permintaan maaf, usahakan ke korban dan penyintas dulu, bukan ke pihak yang punya kuasa. Karena kita semua tahu, yang paling berdampak dari pengalaman kekerasan itu korban dan penyintas. Empatinya dipupuk ya, Shay.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.