Kasus ujaran kebencian yang berujung pada kriminalisasi seseorang kerap terjadi di Indonesia. Dua tahun lalu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat ada 255 kasus terkait ujaran kebencian. Banyak di antaranya yang merupakan ujaran kebencian di media sosial. Belum lama ini, musikus I Gede “Jerinx” Ari Astina dijatuhi vonis penjara karena terlibat kasus macam itu.
Vonis Jerinx kembali memunculkan pro dan kontra terkait definisi ujaran kebencian di dunia maya. Tidak hanya di Indonesia, pro dan kontra juga terjadi di negara-negara lain yang memiliki kebijakan terkait dengan ujaran kebencian seperti Jerman, India, dan Singapura.
Pendefinisian ujaran kebencian di beberapa negara itu dikhawatirkan menekan kebebasan berpendapat, menghalangi demokrasi, dan memperbesar ruang atas sensor konten di internet. Dalam konteks pendefinisian ujaran kebencian di Indonesia, ada dua masalah yang patut kita diskusikan lebih lanjut.
Pertama, definisi ujaran kebencian yang cenderung terlalu luas. Kedua, asumsi sederhana terhadap efek media sosial. Apakah sebuah unggahan seorang individu di akun media sosial pribadinya mampu menimbulkan dampak destruktif?
Mendefinisikan ujaran kebencian
Hingga saat ini, tidak ada definisi tunggal yang digunakan secara global untuk mendefinisikan ujaran kebencian. Laporan UNESCO pada 2015 justru menyebutkan bahwa meskipun terdapat beberapa kesepakatan internasional terkait definisi ujaran kebencian, tetap diperlukan ruang untuk pendefinisian berdasar konteks lokal di masing-masing daerah.
Berdasarkan beberapa konvensi internasional, definisi ujaran kebencian dikelompokkan menjadi empat kategori. Pertama, definisi yang melihat ujaran kebencian sebagai penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis tertentu. Kedua, definisi yang menimbang ujaran kebencian sebagai seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan. Kategori ketiga mencakup ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan tindak terorisme. Dan dalam kategori keempat, ujaran kebencian didefinisikan sebagai hasutan untuk melakukan genosida.
Dalam tiga dari empat definisi tersebut, sebuah pesan dikategorikan sebagai ujaran kebencian apabila memiliki unsur ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan.
Selain konvensi internasional, definisi terkait ujaran kebencian juga dirumuskan oleh platform media sosial. Definisi ini kemudian dijadikan dasar perusahaan media sosial untuk melakukan tindakan atas sebuah konten yang dianggap bermasalah.
Baca juga: Dialog atau Diblok? Aktivis Denmark Beri Tips Keluar dari 'Echo Chamber'
Perusahaan media sosial mengimplementasikan definisi ini secara global tanpa memandang hukum lokal sebuah negara. Facebook, misalnya, mendefinisikan ujaran kebencian sebagai serangan langsung kepada orang terkait karakteristik yang menurut Facebook harus dilindungi. Contohnya adalah ras, etnis, kewarganegaraan, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, Facebook menjelaskan serangan langsung sebagai ujaran keras atau tidak memanusiakan, stereotip berbahaya, merendahkan, pengucilan, atau pengasingan.
Twitter dan YouTube juga memiliki definisi yang senada dengan Facebook terkait ujaran kebencian. Pendefinisian ujaran kebencian oleh platform-platform tersebut menekankan pada batasan isu dan bentuk serangan.
Aturan karet ujaran kebencian
Di Indonesia sendiri, definisi ujaran kebencian dapat ditemui di UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan surat edaran Polri.
UU ITE melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
Sementara Surat Edaran Kepala Polri No. SE/6/X/2015 menjelaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP.
Bentuk tindak pidana tersebut adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong, dan tindakan yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial.
Berbeda dengan konvensi internasional dan platform media sosial, definisi di Indonesia ini memiliki bentuk tindakan dan cakupan isu yang luas. Definisi yang luas ini berpotensi menjadikan dua aturan ini sebagai aturan karet yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Dampak unggahan
Denis McQuail, profesor ilmu komunikasi di University of Amsterdam, Belanda, berargumen bahwa audiens bukan makhluk pasif yang menyerap keseluruhan pesan yang mereka terima. Penerimaan pesan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti media, lingkungan, rangkaian pengalaman, serta keyakinan yang telah mereka miliki sebelumnya.
Katherine Gelber, profesor ilmu politik dan kebijakan publik di University of Queensland, Australia, berargumen bahwa ujaran kebencian bisa berdampak destruktif. Ini terjadi apabila pengirim pesan memiliki kekuatan relasional dan struktural atas target audiensnya, baik secara formal maupun informal.
Baca juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri
Kekuatan relasional dan struktural mengacu pada kemampuan pemilik pesan untuk berada di posisi yang lebih superior dibanding audiensnya. Akibatnya, ia dapat memberikan pengaruh atas pesan yang diberikan. Posisi yang superior ini didapatkan melalui legitimasi formal (misalnya jabatan) maupun informal (posisi sosial).
Sebagai contoh, cuitan Donald Trump memiliki kekuatan besar karena jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat; atau unggahan Abdul Somad yang memiliki jutaan pengikut di Instagram juga memiliki kekuatan besar akibat posisi sosial dia sebagai tokoh agama.
Studi lainnya menambahkan bahwa selain popularitas komunikator, faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi emosi audiens, bentuk pesan yang berupa ajakan, serta konteks sejarah dan sosial. Oleh karena itu, asumsi bahwa sebuah pesan - apalagi berupa unggahan di akun pribadi - oleh seorang individu dapat langsung mempengaruhi perilaku individu lain tanpa melihat lebih jauh posisi individu tersebut di masyarakat dan konteks sosial cenderung menyederhanakan hubungan media dan audiens.
Literasi digital dan narasi sandingan
Bagaimana pun, ujaran kebencian di dunia digital merupakan isu serius dan sepatutnya diantisipasi. Ujaran kebencian sering kali diasosiasikan dengan meningkatnya kejahatan terhadap kaum minoritas, seperti terjadi pada penembakan di sinagoga di Amerika Serikat dan tragedi etnis Rohingya di Myanmar.
Menurut saya, selain perlu meninjau ulang definisi ujaran kebencian, para pemangku kepentingan perlu melakukan beberapa aksi kolaborasi. Pertama, sosialisasi literasi digital dan cara berpikir kritis kepada pengguna internet, baik dalam kapasitas mereka sebagai pencipta maupun penikmat konten.
Pengguna perlu memiliki pemahaman atas tentang perbedaan karakteristik media sosial dan konvensional, cara bermedia sosial yang baik, perlunya verifikasi informasi yang diterima, hingga pemahaman risiko atas konten yang mereka buat atau sebarkan.
Kedua, perlunya menghadirkan narasi kontra yang dapat menandingi konten terkait ujaran kebencian yang telah beredar. Konten positif dan narasi terkait keberagaman perlu dibuat lebih masif dan menarik.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments