Beberapa contoh paling jamak sumber informasi adalah media massa dan media sosial. Sayangnya, kadang ada media yang sengaja menyebarluaskan terobosan ilmiah ke publik yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Karena itulah, sebagai pembaca, kita harus hati-hati saat mengonsumsi informasi dari berbagai sumber tersebut.
Mulai dari berbagai klaim tentang efek berbahaya vaksin sampai riset yang meragukan krisis iklim, kita bisa lihat bahwa di balik berbagai judul berita atau artikel seringkali ada temuan riset yang meragukan, dilebih-lebihkan, atau disalahartikan.
Jadi, apa yang harus pembaca waspadai ketika membaca berita yang mengandung klaim ilmiah?
Banyak penelitian yang hasilnya gagal direplikasi
Hal pertama yang pembaca perlu ketahui sebelum mengambil kesimpulan usai membaca berita yang mengandung klaim riset adalah memahami, selama ini ada ‘krisis replikasi’ dalam dunia riset.
Artinya, banyak riset yang kita baca di berita gagal membuahkan hasil yang serupa saat peneliti lain mencoba untuk melakukan verifikasi dengan mengulangi eksperimennya.
Baca juga: Satgas Covid-19: Hoaks Soal Teori Konspirasi Corona Paling Banyak
Jurnal ilmah ternama Nature, misalnya, menunjukkan lebih dari 70% peneliti gagal memproduksi ulang hasil temuan peneliti lain, dan lebih dari 40% bahkan gagal memproduksi ulang hasil temuan mereka sendiri.
Senada dengan itu, sebuah riset 2012 melaporkan hanya terdapat 11% dari 53 metode baru perawatan kanker dalam satu dekade sebelumnya yang bisa direplikasi. Sementara itu, riset lain yang mengukur 159 penelitian ekonomi kuantitatif menunjukkan, 80% dari publikasi ilmiah tersebut hasilnya dilebih-lebihkan.
Terdapat berbagai alasan yang bisa menjadi penyebabnya, termasuk kesalahan manusia (human-error), pengambilan sampel yang kurang baik, sengaja hanya memilih hasil yang positif, dan pada beberapa kasus langka manipulasi data.
Sebuah survei oleh University of Melbourne di Australia yang melibatkan 800 ahli ekologi dan biologi, misalnya, menunjukkan bahwa 64% dari mereka yang disurvei pernah tidak melaporkan hasil penelitian mereka karena tidak “signifikan” secara statistik – artinya temuan eksperimennya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.
Media seringkali memanfaatkan kebutuhan kita akan “kabar baik”
Meskipun secara umum penelitian yang terbit di publikasi terkemuka dapat dipercaya, tetap saja ada potensi eror, kecurangan, atau penemuan yang dilebih-lebihkan.
Namun, terkadang media mengabaikan berbagai kekurangan tersebut – sengaja ataupun tidak – terutama ketika membahas riset medis yang kerap memberikan harapan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Coba kita kembali ke 2009, saat ada sebuah berita tentang peneliti asal Italia, Paolo Zamboni yang mengklaim bisa menyembuhkan penyakit yang diidap istrinya, yakni multiple sclerosis (MS) dengan cara “melegakan” pembuluh darah di lehernya.
Baca juga: Anggota DPR: Hoaks dan Fitnah Hambat Pengesahan RUU PKS
Dia menantang kepercayaan umum tentang MS sebagai gangguan sistem kekebalan, dan sebaliknya, berteori bahwa MS adalah penyakit vaskular – yang dapat disembuhkan dengan membersihkan pembuluh darah.
Namun, bagi media, hal yang paling menarik dari riset ini adalah kisah seorang laki-laki yang ingin menyelamatkan istrinya yang tercinta. Capaian medis yang dibalut kisah asmara ini - sesuatu yang sangat populer dalam berita kesehatan - nampaknya memulihkan harapan banyak pasien di seluruh dunia.
Sayangnya, penelitian Zamboni memiliki jumlah sampel yang sangat kecil dan desain eksperimennya memiliki beberapa kekurangan. Hal yang membuat pembaca heboh adalah kisahnya yang romantis, alih-alih riset yang saat itu bisa jadi adalah terobosan ilmiah.
Sejak saat itu, berbagai peneliti yang mencoba mereplikasi penemuannya tidak berhasil dan memunculkan berbagai insiden. Bahkan, terdapat banyak insiden yang melaporkan komplikasi pada pasien dan penyakit yang kambuh.
Kasus Zamboni hanyalah bagian kecil dari fenomena di mana media bisa menyalahartikan atau melebihkan suatu temuan riset. Riset kesehatan yang menjanjikan, yang awalnya dipromosikan di media, bahkan seringkali gagal direplikasi dan dan tidak jadi diterapkan secara klinis.
Riset 2003 yang diterbitkan dalam American Journal of Medicine mengamati 101 publikasi ilmiah yang di enam jurnal sains ternama yang menawarkan janji pengobatan baru. Namun, hanya lima yang diberi izin untuk penggunaan klinis setelah 20 tahun, dan hanya satu yang terbukti memiliki dampak kesehatan yang signifikan.
Baca juga: 4 Cara Ajari Murid Keterampilan Menangkal Hoaks
Banyak dorongan bagi peneliti untuk tidak melaporkan riset secara jujur
Di seluruh dunia, target pekerjaan, pendapatan, bonus, dan promosi kerja peneliti sering berhubungan erat dengan publikasi mereka.
Di sisi lain, media maupun jurnal ilmiah ternama bisa jadi juga lebih tertarik dengan penelitian dengan hasil yang “signifikan” atau positif. Padahal, hasil penelitian yang tidak “signifikan” dan replikasi ilmiah yang gagal pun memberikan kontribusi besar bagi ilmu pengetahuan.
Tim peneliti dari Universitas California Davis di Amerika Serikat pernah mengaji 359 riset yang diterbitkan di jurnal imliah terkemuka pada tahun 1990an. Mereka mengungkap bahwa sebagian besar dari riset tersebut “dilaporkan dengan cara yang berpotensi menyesatkan, dengan statistik yang dirancang untuk membuat hasilnya menjadi lebih positif dibandingkan dengan jika menggunakan uji statistik lain”.
Banyak staf pengajar di universitas juga mendengar laporan tentang peneliti dan mahasiswa S3 yang membingkai ulang data atau penemuan mereka untuk mendukung hipotesis yang mereka buat, atau sebaliknya. Mereka juga bisa saja menghapus, menambah, atau mengubah data mereka supaya karya penelitian mereka lebih menarik untuk diterbitkan jurnal ilmiah maupun diliput media.
Sesekali komunitas ilmiah menangkap studi dan jurnal yang dimanipulasi tersebut, kemudian jurnal ilmiah mencabutnya dari penerbitan.
Kita perlu kritis saat membaca berita
Setiap riset berpotensi untuk memperluas pemahaman kita tentang cara kerja dunia ini.
Namun, kita harus waspada atas temuan yang dilebih-lebihkan, studi yang belum direplikasi, atau penelitian yang belum diterbitkan dalam publikasi berbasis peer-review (telaah sejawat) yang kredibel.
Ini memang butuh usaha lebih, tapi pembaca perlu lebih hati-hati terutama pada riset tunggal, dan sebaliknya berusaha untuk melihat apa yang diyakini oleh komunitas ilmuwan secara umum terkait bidang ilmiah tersebut.
Pandemi COVID-19 memperlihatkan bahaya dari misinformasi dan bagaimana misinformasi bisa tersebar lebih cepat dari virus di udara. Jika penemuan yang kita baca terdengar terlalu bombastis, kemungkinan besar memang demikian!
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments