Women Lead Pendidikan Seks
April 15, 2020

Di Tengah Pandemi, DPR Curi Kesempatan Bahas RKUHP Problematik

DPR diminta untuk menunda pembahasan RKUHP sampai wabah COVID-19 mereda.

by Elma Adisya, Reporter
Issues
RUUKUHP_KUHP_SarahArifin
Share:

Di tengah wabah virus corona (COVID-19) yang semakin meluas di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata  tetap membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang oleh sejumlah pihak dianggap problematik dan represif bagi masyarakat sipil, terutama dalam hal kebebasan beragama dan keyakinan.

Pengesahan RKUHP ini telah ditunda menyusul demonstrasi besar-besaran pertengahan tahun lalu. Setelah itu RKUHP pun masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2020. Pada 2 April, Komisi III DPR yang membidangi bidang hukum, hak asasi manusia dan keamanan, meminta agar pembahasan RKUHP kembali dimulai.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi pembahasan rancangan undang-undang ini.

Mantan anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, yang sekarang menjadi anggota Dewan Kehormatan ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), mengatakan, DPR seharusnya menunda pembahasan hingga wabah COVID-19 mereda.

“Kami berharap agar DPR meninjau kembali pasal-pasal yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ujar Eva dalam konferensi pers daring APHR, Kamis (9/4).

Eva memberi contoh Pasal 2 RKUHP tentang hukum yang hidup dalam masyarakat:

"Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab".

Pasal ini problematik, menurut Eva, karena berpotensi menjadi landasan hukum pembuatan Peraturan Daerah (Perda) yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama.   

“Selain Pasal 2, kami juga melihat dalam BAB VII, Pasal 304-308 yang masih memuat soal penodaan agama. Ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-Undang No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, karena sudah tidak relevan lagi,” tambah Eva.

Baca juga: Aliansi Nasional: RKUHP Masih Berpotensi Kriminalisasi Kelompok Rentan

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Naipospos mengatakan, pasal-pasal penodaan agama ini dilatarbelakangi oleh kondisi politik masa lalu yang tidak kontekstual lagi dengan zaman sekarang.

“Meskipun lahir pada masa Sukarno, Undang-Undang PNPS ini muncul karena dorongan kelompok-kelompok Islam ortodoks yang khawatir dengan perkembangan kelompok-kelompok kebatinan yang terkadang dalam praktik ritualnya menggunakan ajaran-ajaran Islam,” kata Bonar dalam acara yang sama.

Bonar menambahkan, selain konteks politik, di tahun 1965 juga terjadi peristiwa Kanigoro di mana kelompok kiri menyerang kelompok pelajar islam yang sedang melakukan pelatihan dan di situ diduga terjadi pembakaran Al-Quran.

“Namun, UU ini tidak sempat teraplikasikan di masa Sukarno, dan baru digunakan di masa Orde Baru. Pada masa Orba terdapat 9 kasus yang juga menyasar pada kelompok minoritas atau individu yang berbeda tafsir keagamaan. Dan ironisnya setelah Reformasi ,angka kasus penodaan agama meningkat sekarang hampir 150-an kasus,” ujar Bonar.

Riset Setara Institute mengenai latar belakang penggunaan pasal penodaan agama mulai dari tahun 1965 hingga 2017 menunjukkan, alasan-alasan penggunaan pasal penodaan agama bukan hanya dilatarbelakangi karena alasan agama saja.

“Ketika kami teliti lagi, dari 88 kasus yang kami temukan, konteksnya ada yang karena putus cinta, dendam pribadi, persaingan bisnis, dan yang paling fenomenal motif politik seperti yang terjadi pada (mantan gubernur Jakarta) Basuki Tjahaja Purnama,” kata Bonar.

Tertutup dan tidak inklusif

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari mengatakan, selama ini DPR sangat tertutup dan tidak inklusif dalam pembahasan RKUHP.

“Untuk saat ini, kami melihat DPR sudah mulai mengadakan rapat lewat aplikasi Zoom atau teleconference. Kami berharap rapat-rapat RKUHP di forum berikutnya bisa lebih mudah diakses publik. Begitu juga akses terhadap draf-draf pembahasan terbaru dari RKUHP,” ujar Iftitah, dalam konferensi pers yang sama.

Baca juga: Pasal Soal Gelandangan di RKUHP Ancam Perempuan

Ia mengatakan bahwa ICJR, yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, melihat pembahasan RKUHP di periode sebelumnya minim pelibatan ahli dari berbagai lintas isu.

“RKUHP itu kan lintas sektor, isunya beragam, seperti isu kesehatan reproduksi, ekonomi. Namun selama ini hanya ahli hukum pidana saja yang dilibatkan. Kami meminta agar DPR membentuk komite ahli yang membidangi semua sektor untuk membantu me-review RKUHP,” ujar Iftitah.

Iftitah meminta DPR menunda pembahasan RKUHP ditunda karena jika memaksakan selesai dalam kondisi saat ini, hal itu akan kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam menangani COVID-19.

“Jadi kalau RKUHP getol untuk disahkan di situasi seperti, ini bakal backfire juga dengan sistem lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang saat ini mengalami kelebihan kapasitas. Saat ini  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) juga sedang berupaya mengurangi penghuni lapas untuk memitigasi adanya penyebaran masif COVID-19 di lapas,” tambahnya.  

Menanggapi para pembicara lainnya, anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, DPR belum berencana untuk mengesahkan RKUHP ini dalam waktu dekat.

“Kami hanya menjalankan prosedur saja, mengenai jadwal-jadwalnya kami pun belum menyusun dan kami sedang memantau perkembangan COVID-19. Dari fraksi kami, yaitu Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) sendiri memang meminta untuk tidak terburu-buru dalam pembahasan RKUHP,” ujar Taufik.

“Saat ini kami juga tengah menyusun rencana bagaimana pembahasan-pembahasan RKUHP bisa diakses untuk masyarakat. Kami setuju bahwa harus ada akademisi dari lintas sektor untuk mengawal RKUHP ini dan memberi masukan pada tim pembahas.”

Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.