Sebagai seorang transgender laki-laki atau transpria, saya cukup beruntung bisa dengan bebas untuk masuk ke toilet sesuai dengan identitas gender saya, yaitu toilet laki-laki. Meski demikian, rasa waswas dan takut tetap menghantui setiap saya ke toilet umum. Saya takut ada orang yang tiba-tiba memergoki bahwa saya terlahir sebagai perempuan yang tentu saja tidak memiliki penis. Selain itu, ada hal-hal lain dari toilet laki-laki yang selalu membuat saya risi dan merindukan toilet perempuan yang notabene lebih resik.
Walaupun sudah melakukan transisi medis selama enam tahun, hingga saat ini saya masih terkaget-kaget ketika masuk ke toilet dan disambut pemandangan sederetan laki-laki dengan celana sedikit (atau banyak) melorot menghadap urinoir. Kemudian mereka mengibas-ngibaskan penisnya untuk menghilangkan sisa air seni di ujungnya, sebelum memasukkannya kembali ke dalam celana. Saya yakin sebagian besar tidak membersihkan atau membilasnya terlebih dahulu. Tidak heran jika bau pesing menyeruak di toilet.
Selain itu, saya sering menemukan jejak-jejak tetesan air di lantai dan di atas dudukan kloset, kadang bening, kadang berwarna (ya, super eww). Belum lagi suka ada jejak pijakan kaki di atas dudukan kloset. Saat hendak membersihkan jejak kaki dan cipratan air, saya semakin menahan kesal saat menyadari tisu di dalam toilet habis dan tidak diisi ulang. Tisu memang merupakan barang langka di toilet laki-laki.
Setelah menghadapi situasi tadi, saya menenangkan diri sambil melamun di dalam bilik toilet, merindukan toilet perempuan yang lebih bersih, wangi, dan hampir selalu dilengkapi tisu. Namun suara dari bilik sebelah sering kali membuyarkan lamunan saya. Newsflash: Para pria ini tidak malu-malu mengeluarkan efek suara yang hampir tidak pernah saya temukan saat masih menggunakan toilet perempuan: “heughhhhhh. *hening* heuuuuuuuuugh *hening* *Brott* *plung* haaaaaahh..”.
Baca juga: Pengalaman Transgender Laki-laki Pasca-Operasi
Ternyata saya bukan satu-satunya transpria yang punya isu dengan toilet umum. Saat mengobrol dengan sesama transpria, beberapa isu soal toilet ini mengemuka, yang saya rangkum sebagai berikut.
-
Kebingungan dalam memilih
Sebagian besar toilet umum di Indonesia masih menggunakan pengelompokan gender yang biner, yaitu laki-laki dan perempuan. Hampir tidak pernah ada toilet yang uniseks. Kalaupun ada, toilet-toilet uniseks tersebut biasanya hanya memiliki sedikit bilik sehingga antreannya panjang jika sedang ramai, atau lagi-lagi tidak bersih. Toilet uniseks yang tersedia juga banyak yang hanya diperuntukkan untuk orang dengan disabilitas dan lansia. Karena toilet laki-laki kurang nyaman dan toilet uniseks jarang, saya sering memilih untuk menahan buang air sampai tiba di rumah.
Selain itu, isu dengan toilet laki-laki adalah, banyak yang hanya berisi urinoir dan tidak ada bilik berisi kloset. Bagi transpria yang tidak menjalani operasi rekonstruksi genital, hal ini tentu saja menyulitkan.
-
Kebersihan dan kesehatan reproduksi
Yang menyenangkan dari toilet perempuan adalah, banyak penggunanya yang rajin melap permukaan kloset sebelum atau sesudah pakai, dan meminta isi ulang tisu pada penjaga. Selain itu, banyak yang menggunakan toilet untuk touch up makeup dan menyemprot ulang parfum ke tubuh, yang sangat membantu meredakan bau pesing.
Isu lain adalah saat saya sedang menstruasi. Sejak sebelum melakukan terapi sulih hormon, saya sudah memberanikan diri masuk toilet yang sesuai dengan identitas gender saya karena secara fisik, saya cukup terlihat seperti laki-laki pada umumnya. Awalnya semua terasa lancar-lancar saja hingga tiba datang bulan.
Baca juga: Berpeci dan Sarung atau Pakai Mukena: Dilema Transgender dalam Beribadah
Di toilet perempuan, saya bisa dengan leluasa membuang pembalut bekas pakai yang terbungkus karena tempat sampah di toilet perempuan rata-rata tertutup. Jika tempat sampah tersebut terbuka, amat sangat wajar jika ada sampah pembalut di sana. Selain itu, beberapa toilet perempuan memiliki toilet basah atau minimal tersedia jetwasher yang memungkinkan kita untuk tetap menjaga kebersihan organ vital sehabis mengganti pembalut.
Sementara di toilet laki-laki, tempat sampah tertutup masih jarang ditemukan. Kebanyakan tempat sampah yang memiliki tutup pun adalah tempat sampah injak yang jika terbuka, isi tempat sampah akan terlihat. Membuang bungkusan pembalut di toilet laki-laki bisa menimbulkan kecurigaan dan rasa tidak aman.
Lalu apa solusinya? Setiap menstruasi, yang saya lakukan adalah membawa beberapa kantong plastik kecil dan beberapa lembar kertas koran untuk membungkus pembalut bekas pakai. Setelah dibungkus, sampah tersebut akan saya buang di tempat sampah di luar. Tidak jarang saya baru membuangnya saat tiba di rumah.
Ketakutan akan “tembus” saat menstruasi membuat saya membawa celana dalam, celana pendek/panjang cadangan, serta banyak pembalut pengganti. Tapi ada rasa waswas ketika mengganti pembalut di toilet laki-laki. Suara “krekeeet” saat mencopot pembalut dari celana bisa menimbulkan kecurigaan sehingga perlu trik khusus untuk mengganti pembalut secara elegan: menyalakan keran, menarik pembalut pelan-pelan, atau menekan tombol flush.
-
Rasa tidak aman dan ancaman kekerasan
Dengan ekspresi gender yang masuk dalam spektrum maskulin, masuk ke toilet perempuan berisiko kena tegur atau diteriaki oleh seisi pengguna toilet. Sementara, jika saya masuk ke toilet laki-laki, saya takut mendapat pelecehan atau kekerasan jika mereka menyadari saya bukan laki-laki secara biologis.
Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh teman sesama transpria, Reva dan Bayu. Keduanya merasa tidak cukup tampak seperti laki-laki sehingga tidak suka memakai toilet laki-laki. Namun Bayu juga kurang nyaman untuk memakai toilet perempuan.
"Saya suka bingung kalau lagi kebelet, masuk toilet laki-laki atau perempuan. Soalnya rambut saya pendek banget. Kalau masuk toilet perempuan bisa-bisa diteriakin atau digebukin. Tapi kalau masuk toilet laki-laki, rasanya gimana gitu,” ujar Bayu.
Baca juga: 'Passing' dan Rekonstruksi Patriarki ala Komunitas Trans
Seorang transpria yang berekspresi lembut seperti oppa-oppa Korea dan memilih menggunakan toilet perempuan tidak akan mengundang amukan dari pengguna lain. Biasanya mereka hanya akan mendapat tatapan aneh tapi dibiarkan begitu saja.
Sementara transpria lainnya yang memiliki ekspresi lebih maskulin dan memilih toilet perempuan akan mendapat teguran dari petugas yang menyangka bahwa mereka salah masuk toilet atau berniat mesum. Teguran itu mengakibatkan seorang transpria melakukan trik “melambai” dan mengatakan, "Mbaaak, saya cewek loh."
Sementara transpuan yang berpenampilan feminin dan berdandan akan lebih mudah diterima dan relatif aman di toilet perempuan. Walaupun para pengguna toilet ini langsung sadar bahwa ia adalah transpuan, selama mereka dandan dan ber-makeup, mereka akan dianggap "sisters".
-
Belum ada solusi yang benar-benar pas
Saya memimpikan semua toilet menjadi uniseks. Tapi toilet semacam ini juga masih menuai polemik terkait isu kekerasan dan pelecehan seksual. Pemisahan gender toilet paling tidak memberi celah rasa aman untuk transpria di tengah tingginya tingkat homofobia dan maskulinitas yang rapuh dalam masyarakat. Ada aturan tak tertulis dalam toilet laki-laki untuk tidak saling menatap atau memperhatikan satu sama lain karena akan disangka gay. Saya pernah ditatap curiga oleh seorang pria di toilet sampai kemudian dia membuang muka karena saya berlagak ngondek.
Buang air di masjid juga notabene lebih aman dan nyaman karena banyak bilik toilet laki-laki. Hal ini terkait dengan kepercayaan muslim bahwa buang air kecil harus duduk atau jongkok, mengikuti sunah Nabi.
Ketiadaan toilet yang benar-benar pas membuat kami, sesama transpria, sering masuk ke toilet barengan, saling tunggu, dan saling jaga. Kami terutama menemani mereka yang masih ragu dan takut dengan tingkat “passing” mereka. Karena masuk toilet yang sesuai adalah salah satu langkah sederhana yang dapat meningkatkan kepercayaan dan penerimaan diri seorang transgender.
Comments