Saya berasal dari keluarga yang terbuka untuk diskusi atau pengarahan. Saya ingat, Ibu, Kakak, atau anggota keluarga saya yang lebih tua tidak pernah sungkan untuk meminta masukan pada adik atau cucu mereka. Keluarga kami sangat jarang saling mengungkapkan kemarahan dengan berteriak. Suara-suara nyaring dari rumah biasanya muncul dari gelak tawa.
Di generasi yang seumuran atau di bawah saya di keluarga kami, sesekali kami mengumpat dalam obrolan dengan sesama teman, atau di media sosial agar terlihat keren. Selebihnya, kami tidak pernah mendengar kata kasar bergema di rumah kami. Semasa remaja, saya cukup sering bertengkar dengan kakak saya, kami bahkan pernah baku hantam. Namun, tak pernah sekali pun saya mendengar dia memaki saya.
Tidak, saya tidak punya pengalaman soal kekerasan verbal sampai akhirnya saya mengalaminya sendiri dalam hubungan saya bersama orang lain.
Beberapa tahun lalu, saya menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang berwawasan, jujur, dan benar-benar berhati tulus. Namun, satu kekurangannya: Dia tak akan segan memaki saya dengan kata-kata yang tidak sepantasnya saya dengar jika dia marah.
Baca juga: Waspada, Kekerasan Emosional Bisa Diam-diam Membunuhmu
Reaksi Awal Saat Dicaci Pacar
Ketika pertama kali mendengar saya diumpat oleh orang yang mengaku sangat menyayangi saya, reaksi saya adalah terdiam karena syok. Dalam pikiran saya saat itu saya bertanya-tanya, apa yang harus saya lakukan? Jika saya mengalah, apakah dia akan berhenti mengumpat saya, atau sebaliknya? Sedangkan kata-katanya itu demikian menyakitkan untuk didengar. Bagaimana jika saya melawan? Apakah ini akan memperburuk masalah?
Saya tidak siap dengan ini. Saya belum pernah mengumpat orang yang saya sayangi. Lidah saya kelu. Saya tidak terlatih untuk berteriak pada orang lain. Lagi pula, bagaimana jika orang lain mendengar? Saya pasti akan malu luar biasa.
Akhirnya, saya memutuskan diam. Beberapa waktu kemudian, saya menanyakan, mengapa dia bisa mengumpat pada saya? Jawaban dia, “Saya mengumpat karena itu salah kamu. Andai kamu tidak salah, saya tidak akan mengumpat.”
Sejak itu, pertengkaran jarang terjadi karena saya mulai selalu mengalah. Saya kira, otak saya secara otomatis menggunakan mekanisme perlindungan diri jika saya terhubung dengannya. Ketika pembicaraan mulai memanas, saya langsung mencari jalan keluar untuk mendinginkan situasi. Atau, saya mulai memilih apa saja yang bisa atau tidak bisa saya bicarakan dengannya. Misalnya, jika dalam perjalanan dia salah arah atau tidak mau berhenti saat lampu merah, saya memilih diam karena jika saya memberitahunya, pertengkaran yang berakhir dengan caci maki ke telinga saya akan terjadi.
Saya bukannya tidak menyadari bahwa pasangan saya seorang pelaku kekerasan verbal, saya sangat sadar itu. Saya bahkan menghitung secara tertulis berapa banyak kebaikannya dan berapa banyak keburukanya. Dengan semua kelebihan yang dia miliki, kebaikannya selalu lebih banyak.
Baca juga: Kekerasan dalam Pacaran Fenomena Sunyi di Indonesia
Ketika Korban Menjadi Pelaku Kekerasan Verbal
Seiring berjalannya waktu, ketika saya mulai terbiasa dengan kata-kata kasar dan saya mengetahui dengan pasti bahwa dia tidak akan menyakiti saya secara fisik, saya mempersiapkan diri untuk melawan. Saya perlahan merasa tertantang untuk mengetahui batas keberanian saya. Gol saya adalah saya ingin memberinya pelajaran yang sama agar dia tahu bagaimana rasanya dicaci. Saya ingin dia merasakan apa yang saya rasakan hingga harapannya, dia secara sukarela akan menghentikan kebiasaan buruknya.
Saya mulai memberitahunya saat dia melakukan kesalahan. Saya meninggikan suara saya jika saya kesal padanya. Dan, seperti yang sudah saya prediksi, caci maki itu muncul kembali.
"Lo kira lo siapa? Lo kira lo lebih pinter dari gue? Bangsat lo, anjing!"
Kali ini saya sudah siap. Saya membalasnya, saya berteriak lebih kencang, memaki lebih hebat. Saya luapkan semua kemarahan saya hingga tak segan menuding wajahnya dan menyebutkan semua hal yang membuatnya malu. Saya bahkan tidak keberatan jika pertengkaran itu terjadi di persimpangan jalan, di dalam taksi, di mal, di restoran, atau di mana saja yang seharusnya tidak pantas dialami oleh siapa pun. Itu bukan pengalaman yang baik.
Secara bertahap, saya akhirnya memahami bahwa saya bisa lebih kuat darinya. Saat saya tidak lagi terikat pada garis norma dan kebiasaan bawaan pola komunikasi keluarga, saya merasa bisa menjadi pahlawan bagi diri saya sendiri. Saya bukan lagi perempuan yang takut akan konflik, saya kini mengendalikan konflik. Saya bisa mengatur kapan saya ingin menikmati waktu dengannya, atau kapan saya ingin menyiksanya dengan level kekasaran yang sama.
Sebuah Titik Refleksi Diri
Kemudian saya sadar, itu bukan saya.
Dia tidak sepenuhnya salah. Saya pun berefleksi. Barangkali, saya memang bersalah dan kesalahan saya memicu emosinya. Namun, apakah kesalahan saya tidak dipicu oleh kesalahannya juga sebelumnya? Ini seperti lingkaran kesalahan yang tidak ada habisnya.
Setelah saya pikirkan lagi, masalahnya sebenarnya bukan itu. Masalahnya adalah bagaimana mencari jalan keluar tanpa melibatkan caci maki. Pasalnya, jika caci maki mulai terdengar, fokus masalah akan beralih. Apa yang seharusnya dibicarakan untuk sama-sama berjalan ke arah yang positif akan terlupakan, sebab kepala dan hati kita sudah kadung dipenuhi oleh kata-kata yang menyakitkan. Jika semula pembicaraan dibuka dengan satu poin mudah yang bisa dirunut seperti susunan abjad, fokus kini beralih pada masalah yang jauh lebih kompleks: Bagaimana menghadapi, melawan, mempertahankan diri, dan jika bisa, menyembuhkan luka akibat caci maki itu.
Semakin jauh saya melangkah, saya menyadari bahwa berkata kasar dan saling berteriak itu melelahkan. Terkadang, saya melihat perlahan diri saya berevolusi menjadi monster. Dulu, saya manusia pada umumnya yang menangis jika disakiti orang lain. Kini, saya bersisik kasar dan mulut saya menyemburkan api kemarahan seperti naga. Hubungan itu telah membuat saya jauh berubah, dan saya tidak melihat diri saya menjadi lebih baik. Saya telah menjadi seseorang dengan sikap yang menyakitkan, bahkan bagi saya sendiri setelah mengucapkannya.
Tidak ada hubungan yang akan bebas dari konflik, saya sangat paham itu. Itu juga alasan saya untuk terus bertahan kala itu. Saya sempat berpikir hubungan kami ini sempurna, dan pertengkaran adalah hal biasa. Namun, pengalaman itu juga yang mengajari saya bahwa konflik ada batasnya. Emosi negatif ada batasnya. Ada jalan lain untuk setiap masalah selain mengubur masalah itu dengan caci maki. Pasti ada sesuatu yang lembut dan tidak menyakiti siapa-siapa. Terlalu lama membiasakan diri dengan sumpah serapah ternyata bisa menumpulkan empati dan membuat kita tak lagi percaya diskusi sehat. Setidaknya, itu yang sempat saya rasakan.
Mengevaluasi Hubungan
Pada ujungnya saya berhenti menghitung baik dan buruk orang lain melalui catatan kertas. Ternyata, yang demikian belum tentu memberikan jawaban yang tepat untuk menyelamatkan akal sehat. Saya teringat salah satu teman saya pernah berpesan: Jika itu tidak terasa benar, meskipun kau belum tahu apa yang salah, maka tinggalkan.
Saya lantas berpikir, jika hubungan saya itu diteruskan, tidak tertutup kemungkinan hal tersebut akan berkembang menjadi hubungan keluarga. Saya bertanya pada diri saya, apakah saya mau mengambil risiko? Sebab, seumur hidup itu terlalu lama untuk sebuah kebiasaan yang merusak tubuh dan pikiran. Bagaimana bisa menjalani hubungan yang di dalamnya akan saya penuhi dengan trik-trik licik hanya karena saya cuma punya dua pilihan: Memangsa atau dimangsa?
Inilah saat yang paling tepat untuk mempertanyakan nurani. Ya, saya mencintai seseorang. Namun, apakah saya mencintainya lebih dari saya mencintai diri sendiri? Menyedihkan untuk diakui, meskipun semua yang saya tuliskan dari awal hingga akhir terasa seperti proses yang berani, sebenarnya semua hanya bersumber dari rasa takut saya berpisah dengannya. Saya seharusnya sudah melihat bendera merah itu dari awal, dan ya, saya melihatnya. Itu sangat jelas. Namun, saya entah bagaimana justru mengambil jalur ekstrem untuk bertahan dengannya.
Hingga saat ini, saya tidak dendam padanya. Bukan karena saya masih mencintainya, melainkan karena saya telah belajar dari hubungan kami bahwa memelihara kemarahan itu melelahkan. Saya hanya ingin keluar dari arena ini karena ini bukan habitat saya.
Saya tahu ini pengalaman buruk, tapi setidaknya perjalanan ini mengantar saya masuk jauh ke dalam proses pengenalan diri sendiri. Mengutip ucapannya, saya tidak berhak banyak omong tentangnya karena saya bukan orang yang sempurna juga. Dia benar. Yang terjadi pada kami mungkin akan disimpulkan berbeda jika dilihat dari sudut padang berbeda: Di keluarga saya, apa yang saya alami itu sudah dianggap demikian abusive. Sementara di keluarganya, mungkin saja itu cuma hal biasa. Barangkali baginya, pengalaman bersama saya adalah yang terburuk, tapi saya yakin dia juga belajar banyak hal. Itu sudah cukup.
Kini saya paham, dalam hidup, jika kita mampu menghilangkan ketakutan, maka tidak ada satu pun lagi yang bisa menghalangi langkah kita. Awalnya, saya takut melawannya, lalu saya takut menjadi monster, dan terakhir saya takut berpisah dengannya. Namun, saya telah mengambil keputusan, dan saya masih berdiri tegak hingga kini, bahkan bisa menuliskannya.
Dari pengalaman bersamanya juga saya belajar, jika kelak saya kembali berhubungan dengan orang yang bersikap abusive, saya tidak mau lagi mengeluarkan tenaga untuk melawan atau mencoba mengendalikan orang itu. Saya tidak mau mengambil risiko untuk ikut terbawa menjadi manusia yang rusak secara sukarela. Saya harus pergi dan mencari habitat baru. Saya berhak atas ketenangan dan kasih sayang yang tidak merugikan siapa-siapa.
Comments