Belum lama ini, Menteri Agama Cholil Yaqut Qoumas menjadi sasaran kecaman dan pujian publik karena mengucapkan selamat kepada penganut agama Baha'i yang merayakan Hari Raya Nowruz. Nowruz adalah Hari Tahun Baru dalam kalender Bahaʼi dan merupakan salah satu dari sembilan hari suci bagi penganut Bahaʼi.
Ucapan selamat hari raya oleh pejabat negara dan pemerintah kepada pemeluk agama mayoritas merupakan praktik umum di Indonesia. Hal ini kerap dinilai sebagai praktik toleransi. Namun, mengucapkan selamat kepada komunitas pemeluk agama minoritas, terutama yang tidak diakui secara resmi oleh negara, masih dianggap sebagai dosa politik dan dosa sosial besar.
Selama bertahun-tahun, pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama besar – yaitu Buddha, Hindu, Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, dan Konghucu.
Ucapan selamat hari raya dari Cholil kepada penganut Baha'i bukanlah langkah “progresif” pertamanya sebagai menteri agama. Setelah dilantik akhir tahun lalu, ia berjanji untuk menegakkan hak-hak kaum Ahmadiyah dan Syiah, dua kepercayaan minoritas dengan pengikut yang cukup besar di Indonesia. Awal tahun ini, ia meminta agar doa dari semua agama – tidak hanya Islam – dibacakan di acara-acara yang diselenggarakan kementeriannya.
Terlepas dari sikapnya yang terkesan lebih progresif dan liberal, Cholil tampaknya tidak akan berhasil membawa reformasi besar yang diharapkan dapat meningkatkan perlakuan setara terhadap agama minoritas. Pasalnya, ia menghadapi budaya yang sudah berakar dalam di kalangan pejabat negara, yang cenderung melestarikan “tatanan sosial mayoritas”. Dalam tatanan demikian, kelompok mayoritas (baik menurut agama, etnis, kelas sosial, atau identitas lain) di suatu populasi mampu memegang kekuasaan tertentu atau dapat membuat keputusan untuk seluruh masyarakat.
Usaha Menjaga Ketertiban Sosial
Kecenderungan untuk memelihara ketertiban sosial dimulai pada zaman penjajahan Belanda dan terus berkembang sejak berdirinya negara Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa budaya ini bertahan dari zaman ke zaman, meski tingkat penerapannya bervariasi dari waktu ke waktu.
Di bawah rezim otoriter Soeharto, negara sangat menekankan konsep kerukunan dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan penindasan terhadap perbedaan pendapat. Rezim ini kerap menuduh para pemrotes atau oposisi sebagai kelompok perusak tatanan sosial negara yang ada.
Di era pasca-Soeharto, semua lembaga kekuasaan negara, termasuk badan peradilan, melanjutkan budaya ini. Agama mayoritas mendapat hak istimewa, dengan mengorbankan orang-orang yang menganut agama minoritas. Salah satu contohnya adalah persidangan Tajul Muluk, seorang pemimpin Syiah, yang dihukum setelah didakwa menodai Islam dan mengganggu keharmonisan sosial.
Pengadilan Negeri Sampang, dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur memvonis Tajul Muluk dengan dua tahun penjara pada 2013. Dia mengajukan banding, tapi Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi malah menggandakan hukumannya menjadi empat tahun penjara.
Baca juga: Ibadah Seharusnya Milik Semua, Termasuk Siswa Agama Minoritas di Sekolah
Banyak tokoh agama Indonesia lainnya telah dipenjara karena tuduhan penodaan agama setelah mencoba memperkenalkan praktik atau kebiasaan keagamaan baru yang dianggap menyimpang dari ritual keagamaan yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas.
Penekanan pada Monoteisme
Sila pertama dalam Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan faktor penting yang menghambat terwujudnya perlakuan yang setara. Para pendiri negara Indonesia merumuskan ideologi dasar ini dalam serangkaian pertemuan sebelum kemerdekaan.
Menurut sarjana politik B.J. Boland, prinsip itu kemudian digunakan oleh Kementerian Agama sebagai “prinsip operasi” untuk mendukung kelompok mayoritas Muslim. Sebagai imbasnya, keyakinan minoritas telah ditekan dalam tahun-tahun awal berdirinya negara Indonesia ini.
Nilai ini, yang mendorong monoteisme dan pembentukan negara yang lebih religius, memberi pengaruh yang cukup kuat kepada perumusan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan-peraturan di Indonesia ini, termasuk keputusan presiden tentang penodaan agama tahun 1965, sering digunakan untuk menindas pemeluk agama minoritas.
Pada 1965, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah keputusan untuk mencegah konflik antara pemeluk kepercayaan mistik atau agama rakyat dan pemeluk agama mayoritas seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Keputusan tersebut menjadi undang-undang empat tahun kemudian. Hingga hari ini, aparat negara sering menggunakan undang-undang ini untuk mengekang aliran yang dituduh sesat dan mengkriminalisasi pemimpinnya.
Praktik yang Diskriminatif
Nilai-nilai budaya dan ideologis ini begitu mengakar dalam praktik negara Indonesia sehingga setiap upaya untuk mereformasi undang-undang dan praktik diskriminatif tertentu akan gagal. Misalnya, orang Indonesia harus mencantumkan agama dalam dokumen identitas - mencantumkan satu dari enam agama yang diakui negara selama puluhan tahun.
Pengikut agama minoritas dan kepercayaan asli mendapat diskriminasi karena gagal mematuhi persyaratan ini. Mereka kerap mendapatkan hambatan dalam menerima pelayanan publik, seperti fasilitas mendapatkan akta nikah.
Baca juga: Intoleransi Sistematis Halangi Komunitas Sunda Wiwitan Jalankan Keyakinan
Baru pada 2012 pemerintah Indonesia mengizinkan warga negara, terutama penganut kepercayaan, untuk tidak menyatakan keyakinan agama atau keyakinan mereka di kartu identitas. Penganut kepercayaan mendapatkan hak mereka untuk mencantumkan nama keyakinan mereka di kartu identitas sejak 2015
Walau ada langkah-langkah progresif tersebut, dan meskipun menteri agama saat ini telah menunjukkan beberapa kecenderungan progresif, reformasi yang lebih mendasar sangat diperlukan untuk menghapus undang-undang dan praktik yang diskriminatif.
Proses reformasi ini memerlukan perombakan besar-besaran terhadap nilai-nilai budaya dan ideologis yang diskriminatif di balik undang-undang dan praktik-praktik diskriminatif. Kegagalan melakukan perombakan ini akan terus melanggengkan diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments