Pertengahan Juni lalu, Pengadilan Negeri Balikpapan menjatuhkan hukuman penjara kepada tujuh tahanan politik asal Papua dengan dakwaan makar karena terlibat demonstrasi anti-rasialisme di Papua pada Agustus 2019. Hal yang sama terjadi kepada enam orang asli Papua (OAP) yang ditangkap karena melakukan aksi protes anti-rasialisme di depan Istana Kepresidenan; tiga mahasiswa OAP di Manokwari, Papua Barat; delapan aktivis OAP di Jayapura, Papua; dan banyak lainnya.
Sejak lama, segala bentuk aksi protes warga Papua kerap diasosiasikan dengan separatisme. Akibatnya mereka sering dibungkam atas nama persatuan. Padahal, aksi protes warga Papua bukan hanya tentang eksploitasi ekonomi atau tuntutan penentuan nasib sendiri saja, namun ada juga dimensi rasialisme yang nyata terwujud dalam kehidupan sehari-hari tetapi sering kali dilupakan. OAP, misalnya, sering mendapat cap sebagai pembuat onar dan pemabuk.
Tetapi mengapa masyarakat Indonesia cenderung menutup mata terhadap tuntutan anti-rasialisme warga Papua dan hanya fokus pada masalah separatisme saja?
Jebakan SARA
Masyarakat Indonesia melakukan bias rasial secara terbuka terhadap OAP, namun jarang membicarakan soal rasialisme. Pasalnya, masyarakat Indonesia sudah “terlatih” untuk menjauhi perbincangan terkait SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) yang dianggap sensitif. “Jangan membawa-bawa SARA!” adalah kalimat yang berulang digunakan jika sebuah diskusi sudah mulai mengarah ke perbedaan identitas.
Baca juga: Komnas HAM Didesak Selidiki Kasus Asrama Mahasiswa Papua
Istilah SARA pertama kali dipopulerkan oleh Sudomo, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada masa Soeharto tahun 1980-an. SARA kerap disebut-sebut sebagai sumber konflik yang mengancam stabilitas sosial politik pada era itu.
Mengutip ahli sejarah Taufik Abdullah dalam tulisan di harian Kompas pada Maret 1997, konsep SARA mengandung pengertian konflik horizontal yang dimotori oleh “suku, agama, dan ras”, dan konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan “ekonomi-politik” antargolongan.
Timbul pandangan bahwa SARA ialah “biang kerok” konflik-konflik sosial sehingga pembicaraan mengenai unsur-unsur tersebut harus dihindari demi keharmonisan.
Persepsi negatif juga disematkan pada karakteristik perawakan fisik OAP yang berbeda dari masyarakat Indonesia non-Papua. Pemikiran ini tentu problematik sebab kemajemukan masyarakat Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu didiskusikan lebih lanjut karena sudah diterima sebagai takdir bangsa. Sementara, membicarakan perbedaan tersebut dianggap menciptakan perpecahan.
Baca juga: Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik!
Konsekuensinya, perbincangan mengenai rasialisme di Papua sering kali dihindari dan bahkan dilarang. Padahal, rasialisme di Papua tidak dapat dibongkar tanpa membuka ruang diskusi mengenai perbedaan SARA secara menyeluruh dan substantif.
Mendewakan narasi persatuan tanpa mengakui adanya rasialisme yang dipelihara oleh negara dan masyarakat membuat kita abai terhadap ketidakadilan sistemis yang telah menghilangkan kesetaraan bagi OAP. Sebaliknya, menutup kesempatan untuk memperbincangkannya secara komprehensif akan mengecilkan terwujudnya keadilan sosial yang inklusif, keadilan yang justru akan melanggengkan persatuan.
Rasialisme struktural
Rasialisme terhadap masyarakat Papua merupakan refleksi dari rasialisme struktural yang mengakar dalam sejarah. Sejak masa kolonial Hindia Belanda, OAP tidak memiliki posisi yang setara dengan orang Indonesia non-Papua. Hal ini karena penjajah enggan menugaskan warga Belanda di tanah Papua sehingga sebagian besar jabatan pemerintahan kolonial diserahkan kepada orang Indonesia-non Papua. OAP menyebut mereka “amberi”.
Masyarakat asli Papua lalu menganggap amberi adalah kaki tangan pemerintah kolonial. Sementara, OAP yang memiliki kulit gelap, ditempatkan sebagai masyarakat primitif dan tidak kompeten untuk mewakili kelompoknya sendiri.
Rasialisme langgeng hingga hari ini bukan hanya karena aktor politik sengaja memeliharanya, tetapi juga karena kita berdiam diri dan tidak sadar telah membiarkannya menggurita.
Secara institusional, OAP tersingkir dari pemerintahan di tanahnya. Hal ini memupuk perasaan superioritas amberi atas OAP yang termanifestasi melalui buruknya perlakuan amberi kepada OAP.
Struktur yang berakar pada rasialisme ini kemudian dipelihara untuk mempertahankan relasi kuasa pasca-kemerdekaan, yaitu sebagai proyek integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Identitas dan budaya Papua yang berbeda diasimilasi paksa untuk menjadi bagian ‘bangsa.’
Di titik ini, rasialisme menyokong proyek politik negara untuk menciptakan citra spesifik tentang Indonesia; sebuah citra yang tidak memperhitungkan identitas serta suara OAP di dalamnya. Implikasinya, pembangunan nasional yang Jawa-sentris menjadikan Papua tertinggal serta dimiskinkan di tengah eksploitasi sumber daya.
Toleran saja tidak cukup
Banyak resep untuk menangani konflik di Papua, mulai dari dialog hingga pembangunan infrastruktur. Tetapi, semua upaya itu harus berangkat dari semangat bersolidaritas yang anti-rasialis.
Dalam masalah rasialisme, menjadi toleran atau non-rasialis saja tidak cukup. Pasalnya, sekadar menerima perbedaan belum tentu menjamin kesetaraan.
Langkah paling penting untuk dilakukan adalah aktif mendengarkan suara dan pengalaman OAP itu sendiri. Terdengar mudah, tapi nyatanya, narasi “NKRI harga mati!” yang sering kali disuarakan oleh masyarakat non-Papua, secara sengaja maupun tidak, mengubur kegelisahan OAP tanpa memberi kesempatan untuk memahaminya.
Baca juga: Serangan terhadap Diskusi Rasialisme Papua, Ancaman Nyata Demokrasi
Kami pun menyadari penuh posisi kami sebagai non-Papua. Tulisan ini tidak bermaksud untuk bicara di atas OAP, subjek yang paling berhak bersuara mengenai opresi yang dialaminya.
Sulit bagi kelompok minoritas untuk bebas dari opresi jika dalam bermasyarakat, kelompok mayoritas masih aktif memelihara atau membiarkan narasi rasialis beredar. Sementara, sistem yang ada sudah terlebih dahulu merugikan OAP.
Suka atau tidak suka, masyarakat Indonesia yang diuntungkan oleh sistem yang rasialis ini harus menyadari privilesenya, menggunakannya untuk melawan praktik rasialisme sehari-hari, mengedukasi diri, dan menyebarkan informasi yang tidak melulu mengantagoniskan OAP.
Rasialisme langgeng hingga hari ini bukan hanya karena aktor politik sengaja memeliharanya, tetapi juga karena kita berdiam diri dan tidak sadar telah membiarkannya menggurita.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments