Women Lead Pendidikan Seks
November 02, 2021

Distigma dan Direndahkan: Sulitnya Jadi Perempuan Jomblo di Jepang

Pemerintah Jepang melihat perempuan lajang dan child free adalah beban negara. Pasalnya, saat tua, mereka bakal hidup di rumah perawatan yang dibiayai oleh negara.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues // Relationship
Share:

Sejak 1990-an, angka singlehood atau orang yang memutuskan untuk melajang kian meningkat di Jepang. Laporan pemerintah Jepang menunjukkan, pada 2015, sebanyak 47,1 persen laki-laki dan 34,6 persen perempuan berusia 30 hingga 34 tahun belum menikah. Sementara untuk kelompok usia 35 hingga 39 tahun, 35 persen laki-laki dan 23,9 persen perempuan memutuskan tetap melajang.

Lebih lanjut, dalam survei 2015 oleh National Institute of Population and Social Security Research di negara yang sama disimpulkan, di antara para lajang berusia 18–34 tahun, sekitar 69,8 persen laki-laki dan 59,1 persen perempuan tidak terlibat dalam hubungan yang stabil. Sekitar setengah dari responden, 30,2 persen laki-laki dan 25,9 persen perempuan, juga menyatakan tidak memiliki niatan apapun untuk mencari pasangan atau terlibat dalam sebuah hubungan.

Untuk perempuan Jepang sendiri, tingginya perempuan karier dan berpendidikan diyakini sebagai alasan utama tren perempuan menghindari pernikahan. Apalagi setelah diterapkannya Employment Opportunity Act pada 1986, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja meningkat drastis.

Dilansir dari Nikkei Asia, persentase angkatan kerja perempuan pada 2018 usia 15 hingga 24 tahun, lebih tinggi dibandingkan laki-laki di usia yang sama, yaitu sebesar 50,5 persen. Lebih lanjut, 78,1 persen perempuan berusia 25 hingga 34 tahun bekerja, dan 77,8 persen perempuan berusia 35 hingga 44 tahun memiliki pekerjaan. Angka-angka ini naik lebih dari 10 persen dari dekade lalu.

Kenaikan ini pun juga berdampak langsung pada keputusan perempuan untuk fokus berkarier dan tidak ingin menjadi ibu rumah tangga. Misalnya saja, menurut survei pemerintah Jepang pada 2012, hanya 20 persen perempuan Jepang ingin menjadi ibu rumah tangga.

Baca Juga:  Melajang Bukan Karena Tak Ketemu Jodoh, Tapi Karena Jodoh Tak Sesuai Harapan

Stigma Negatif Perempuan Lajang di Jepang

Dilansir dari The Guardian, pada 2018, Kanji Kato, anggota partai Demokrat Liberal mengatakan, perempuan memiliki “tanggung jawab” untuk menikah dan memiliki kurang lebih tiga anak. Ia melihat perempuan lajang dan child free adalah beban negara karena ketika tua, mereka akan hidup di rumah perawatan yang dibiayai oleh negara.

Pernyataan Kato yang sangat seksis ini adalah sebuah ironi dan kenyataan yang harus dihadapi oleh banyak perempuan lajang di Jepang. Keputusan perempuan untuk melajang sebenarnya merupakan hak pribadi individu yang tidak bisa diganggu gugat, layaknya laki-laki yang melakukan hal yang sama. Namun, pada kenyataannya perempuan yang memutuskan untuk melajang dan fokus pada kariernya, distigma berbeda dari laki-laki.

Dalam penelitian Beyond The “Parasite Single” (2019), Lynne Nakano selaku profesor di The Chinese University of Hong Kong menjelaskan, secara historis, perempuan yang memutuskan untuk melajang dan hidup di luar dari “kodrat” sosial mereka sebagai perempuan telah mendapatkan beragam julukan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk mempermalukan mereka. Julukan-julukan ini misalnya antara lain adalah Christmas cake, parasite singles, dan makeinu.

Pada 1970-an dan 1980-an, perempuan lajang di atas usia 25 disebut Christmas cake karena menyerupai kue Natal yang biasanya dimakan pada 25 Desember, mereka seharusnya tidak diinginkan setelah usia 25. Pada 1990-an istilah Christmas cake ini pun berubah menjadi parasite singles.

Istilah parasite singles pertama kali digunakan oleh Profesor Masahiro Yamada dari Universitas Tokyo Gakugei dalam buku larisnya The Age of Parasite Singles (parasaito shinguru no jidai, 1999). Istilah ini pada awalnya secara umum mengacu pada laki-laki atau perempuan yang memutuskan untuk melajang dan tetap hidup bersama orang tua mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah tersebut secara khusus disematkan untuk perempuan saja.

Sementara, istilah makeinu atau secara harfiah diterjemahkan sebagai anjing pecundang muncul setelah diterbitkannya buku Distant Cry of the Loser Dog (Makeinu no toboe, 2003) oleh Sakai Junko. Dalam penelitian 'Loser Dogs' and 'Demon Hags': Single Women in Japan and the Declining Birth Rate (2006), Tomomi Yamaguchi antropolog dari Universitas Michigan menjelaskan, Sakai Junko yang juga merupakan perempuan lajang menggunakan istilah makeinu untuk menekankan kesulitan yang dihadapi oleh perempuan lajang. Meskipun Sakai menggunakan istilah itu secara ironis, media justru menggunakan istilah itu untuk merendahkan dengan secara harfiah memosisikan mereka sebagai seorang pecundang, berbeda dengan perempuan yang sudah menikah.

Baca Juga:  Ramai-ramai ‘Waithood’, Tak Apa Menikah di Atas Usia 30

Alasan Perempuan Jepang Melajang

Keputusan perempuan Jepang untuk melajang pada nyatanya tidak semata-mata diprakarsai oleh adanya kesempatan untuk berkarier berkat Employment Opportunity Act. Keputusan mereka ini sebenarnya lebih mengacu pada permasalahan struktural yang berkelindan dengan peran gender tradisional.

Yunuen Ysela Mandujano-Salazar, associate professor dari Universitas Ciudad Juarez mengatakan dalam penelitiannya  It is Not that I Can't, It is that I Won't: The Struggle of Japanese Women to Redefine Female Singlehood through Television Dramas 92017) bahwa sejak mengalami industrialisasi besar-besaran pada tahun 1960-an, para elit Jepang (pemerintah, perusahaan, pemimpin intelektual, dan media) mempromosikan cita-cita sosial “keluarga inti perkotaan” sebagai representatif kesuksesan ekonomi di era pasca perang.‬

Cita-cita sosial ini dipimpin oleh peran salaryman dan sengyöshufu (pekerja kerah putih) yang pada akhirnya menciptakan arketipe nasional maskulinitas dan feminitas yang secara intrinsik terkait dengan pernikahan heteroseksual, reproduksi dan pembagian kerja berdasarkan gender. Dari sini pula, istilah ryousai kenbo 賢母良妻 atau istri yang baik dan ibu yang bijak muncul.

Laki-laki dikirim ke ruang publik dan dibebankan tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan dikirim ke ruang privat untuk bekerja sebagai ibu rumah tangga. Walau jika dilihat dari periodisasinya cita-cita ideal ini sudah ketinggalan zaman, tapi pada kenyataannya peran gender tradisional yang diciptakan melalui cita-cita sosial ini masih melekat dalam tubuh masyarakat Jepang.

Baca Juga:  ‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang

Mari Miura, profesor ilmu politik di Universitas Sophia dalam wawancaranya bersama The New York Times mengungkapkan bahwa perempuan Jepang harus mengorbankan banyak hal ketika mereka menikah. Para istri dan ibu di Jepang seperti diwajibkan untuk serba bisa dan melakukan semuanya sendirian. Mulai dari mengurus anak, mengerjakan pekerjaan rumah, dan menolong saudara mereka yang sudah tua. Belum lagi ditambah dengan jam kerja yang gila di Jepang. Perempuan pada akhirnya berjuang sendirian tanpa bantuan dari pasangannya.

Hanaoka, perempuan yang diwawancarai juga oleh The New York Times kemudian menambahkan alasan kenapa perempuan memutuskan melajang. Menurutnya, banyak perempuan Jepang berpikiran sama seperti dirinya bahwa mereka takut dengan ekspektasi masyarakat terhadap mereka nantinya sebagai ibu yang harus serba bisa.

“Jika aku menjadi seorang ibu, aku takut kalau aku diharapkan untuk berperan seperti seorang ibu yang diinginkan penduduk Jepang dan tidak bisa menjadi diri sendiri. Jadi lebih baik aku melakukan apa yang aku mau."

Dampak Serius

Kendati sudah menjadi suatu hak pribadi perempuan untuk memutuskan melajang, namun tidak bisa dipungkiri, terus naiknya angka singlehood di Jepang berdampak pada masa depan masyarakat.

Dalam Japan: Super-Aging Society Preparing (2011) Naoko Muramatsu, profesor dari Universitas Illinois dan Hiroko Akiyama, profesor dari Universitas Tokyo menjelaskan, Jepang sedang mengalami tahap yang dinamakan super aging society. Baik di daerah rural atau urban, masyarakat Jepang mengalami hal serupa. Diprediksi pada 2030, di Jepang satu dari setiap tiga orang akan berusia 65+ tahun dan satu dari lima orang berusia 75+ tahun.

Mereka berdua kemudian mengelaborasi lebih jauh bahwa super aging society menjadi masalah di Jepang karena angka fertilitas di Jepang kian menurun. Asahi Shinbun misalnya melaporkan bahwa pada tahun 2020 angka fertilitas Jepang adalah 1,36 anak per perempuan, di mana angka ini secara bertahap turun dari 2,12 anak per perempuan pada tahun 1971.

Kendati angka fertilitas terus menurun, menurut Muramatsu dan Akiyama kita tidak bisa semata-mata menyalahkan perempuan. Hal ini karena menurut mereka dalam skala makro, kebijakan mengenai distribusi tenaga kerja dan kesejahteraan sosial yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini masih mencerminkan kesenjangan kesetaraan gender yang lebar.

Dengan sistem kesejahteraan yang tidak memadai untuk pengasuhan anak dan orang tua, perempuan masih diharapkan memainkan peran yang cukup besar untuk memikul tanggung jawab dan menanggung biaya sosial ini dengan sedikit dukungan dari masyarakat atau layanan pemerintah.

Hal ini bisa dilihat misalnya walau Shinzou Abe sempat menerapkan kebijakan Womenomics untuk meningkatkan peran perempuan dalam ekonomi dan politik. Namun, sayangnya kebijakan ini bisa dibilang gagal memenuhi tujuannya. Menurut Indeks Kesenjangan Gender Global 2020 misalnya Jepang menempati peringkat 120 dari 156 negara dalam indeks, peringkat di belakang negara-negara lain di Asia Timur, termasuk Korea Selatan di tempat 102 dan Cina di 107.

Dari data tersebut maka dapat disimpulkan pemerintah Jepang masih memiliki PR besar untuk memperkecil jurang kesenjangan gender. Dengan membagi peran setara antara perempuan dan laki-laki dalam ranah domestik dan publik, masalah super aging society sekali pun dapat teratasi secara perlahan.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.