,Menonton drama Korea adalah sebuah bentuk self-care. Kalian boleh saja tidak setuju dengan pernyataan tersebut tapi bagi saya, terutama sejak melakukan swakarantina dan pembatasan fisik sejak Maret, hal tersebut adalah sebuah kebenaran yang hakiki. Di tengah-tengah pandemi yang sampai sekarang belum tahu ujungnya seperti apa dan fakta bahwa saya tinggal di negara yang makin hari makin seram (like, seriously), menonton sesuatu yang ringan dan menyenangkan adalah jalan ninja saya untuk merawat kesehatan mental saya.
“That’s such bullshit. SJW jaman sekarang kebanyakan sok-sokan kesehatan mental. Apaan sih enggak usah lebay deh.”
Well, enggak semua orang mempunyai tameng yang bagus untuk menolak semua pikiran-pikiran buruk yang hinggap di kepala. Tapi saya sih butuh sekali pengalihan. Dan drama Korea adalah jalan keluar yang terbaik (not that I need an excuse). Saya bisa saja menonton film-film klasik seperti The Godfather atau 2001: A Space Oddysey, tapi sekarang bukan waktunya untuk menonton drama yang menampilkan kepala kuda dimutilasi atau opera luar angkasa. Yang saya butuhkan adalah mbak-mbak cantik dan mas-mas ganteng saling jatuh cinta dan jelas drama Korea menyediakan itu.
Saya menikmati Itaewon Class yang mengajarkan saya bahwa balas dendam akan menjadi tontonan sinematik kalau kamu adalah Park Seo-Joon. Encounter menunjukkan bahwa galau dengan latar belakang matahari terbenam di Amerika Selatan akan menjadikan rasa kehilangan dan mendamba perasaan cinta jauh lebih sensasional. Dan tentu saja The World of the Married, yang memperlihatkan bahwa balas dendam itu harus dipikirkan masak-masak. Jangan pernah lengah sekali pun.
Baca juga: ‘The World of the Married’: Pelakor, Drakor, dan Inspirasi Sekelas Ted Talks
Kedahsyatan The World of the Married membuat saya bingung harus menonton drama Korea apalagi. Dan ini sulit karena ada begitu banyak sekali pilihan. Saya sempat mencoba Crash Landing On You tapi ternyata tidak cocok. Hospital Playlist juga sama. Sampai kemudian teman saya mengunggah foto tiga karakter memakai tracksuit warna-warni berjalan di pantai. Mereka kelihatan keren sekali. Saya tanya teman saya tersebut, apa judul dari drama Korea tersebut. Dia menjawab: Sweet Munchies.
Baru tayang 25 Mei 2020, Sweet Munchies mempunyai premis yang menarik. Chef Park (Jung Il-Woo) hari itu sedang sial karena bukan saja bapaknya mengalami kecelakaan, tapi mitra bisnisnya juga mundur. Sementara itu, sutradara muda bernama Kim A-Jin (Kang Ji-Young) sedang pitching sebuah variety show tentang seorang chef yang gay. Kim A-Jin sendiri adalah langganan dari bistro Chef Park yang sepi pengunjung.
Kamu bisa menebak ke arah mana drama Korea ini akan berjalan. Chef Park berpura-pura menjadi gay untuk mendapatkan uang demi meraih mimpi dan biaya pengobatan bapaknya. Rasanya mungkin seperti Coffee Prince jilid 2. Kecuali bahwa ada seorang desainer bernama Kang Tae-Wan (Lee Hak-Joo yang juga bermain sebagai karakter antagonis dalam The World of the Married) yang merupakan seorang closeted gay yang naksir Chef Park.
Baca juga: Menonton Komedi Romantis di Halaman Buku
Premis seperti ini sebenarnya bukan barang baru dalam genre komedi romantis, dan formula “pura-pura” ini sudah sering diolah dalam berbagai bentuk. Tapi ternyata pembuat drama Korea ini (penulis Park Seung-Hye dan sutradara Song Ji-Won) mempunyai amunisi yang cukup ampuh untuk membuatnya segar. Semua formula dan klise yang ada dalam komedi romantis ada di sini, tapi eksekusinya cukup brilian.
Episode pertama Sweet Munchies benar-benar menjelaskan dengan detail dan cukup menghibur alasan-alasan para karakter-karakter melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Sehingga ketika saya sampai di akhir episode dan melihat Chef Park berpura-pura menjadi gay, saya tidak merasa keberatan.
Drama Korea Sweet Munchies Tampilkan Isu Sensitif
“But, Can, it’s 2020. I think it’s problematic.”
Saya paham maksud kamu. Tapi yang bagus dari Sweet Munchies (paling tidak jika dibandingkan dengan Coffee Prince yang punya premis sama) adalah bagaimana dia membawa isu sensitif ini menjadi sebuah bahan diskusi yang menarik. Ada dua karakter gay di film ini. Yang satu out and proud dan yang satu masih tertutup. Menjadi diri sendiri adalah salah satu pembahasan utama dalam serial ini.
Kisah cinta dan dinamika tempat kerja membuat Sweet Munchies menjadi sebuah tontonan yang asyik. Manis tapi ada substansi. Ringan tapi berisi.
Selain kisah cintanya, yang juga membuat drakor ini sangat menggigit (saya menghabiskan enam episode dalam dua hari, saking bikin ketagihan) adalah dunia kerja karakter utamanya yang digambarkan secara tiga dimensi tanpa mengurangi unsur dramanya. Kim A-Jin yang bekerja di televisi digambarkan memiliki bos yang tegas, teman kerja yang setia, senior yang suka ngelawak, teman yang nyebelin, dan senior yang minta “enggak sengaja” disiram dengan air keras. Dinamika kerja inilah yang membumbui Sweet Munchies menjadi sebuah tontonan yang asyik. Dia manis tapi masih ada substansi. Dia ringan tapi masih tetap berisi.
Dan untuk membuatnya menjadi tontonan yang gampang dikunyah, pembuatnya membungkus drama Korea ini dengan visual yang warna-warni. Wardrobe setiap pemain benar-benar dipikirkan dengan masak-masak. Setiap props yang ada benar-benar mencolok mata. Dan ini belum sampai adegan ketika Chef Park mulai masak. Kamu pasti ngiler. Karena saya menemukan diri saya memesan Nasi Padang jam 3 pagi saking laparnya melihat Chef Park membuat masakan.
Dengan penyuntingan yang mantap (durasi setiap episode mencapai 80 menit tapi berjalan mulus tanpa ada satu pun adegan atau momen yang berpanjang-panjang), musik yang menyenangkan dan akting para pemerannya yang natural, Sweet Munchies sangat berpotensi untuk menjadi drama Korea yang dicintai oleh para penontonnya. Bukannya penonton Indonesia suka sekali dengan sesuatu yang receh tapi dibungkus dengan sesuatu yang extravaganza? Sweet Munchies memenuhi kriteria itu semua!
Baca juga: Bercermin Dari Gerakan Fundamentalisme Agama di Korea Selatan
Tapi ternyata tebakan saya salah. Setelah episode keenam (dan sungguh kesal karena sekarang saya harus menunggu dua episode per minggu seperti rakyat jelata lainnya), saya menemukan fakta bahwa serial ini ternyata mempunyai rating yang sangat rendah. Rating tertingginya hanya 1,5 persen. Bandingkan dengan The World of the Married yang rating terendahnya adalah 6,2 persen. Penontonnya sedikit sekali.
Apa kabar dengan penonton Indonesia? Saya cek Twitter, ternyata tidak banyak orang yang membahas drama Korea ini. Padahal apa yang ada dalam Sweet Munchies sudah memenuhi semua syarat untuk menjadikannya sebuah tontonan yang sangat adiktif. Kalau kamu suka dengan komedi romantis yang membuatmu senyum-senyum gemas, drama Korea ini saya jamin akan membuat kamu merasakan itu semua.
Kemudian saya teringat saya satu hal.
Ceritanya.
Kisah cinta tentang karakter LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) sulit mendapatkan respons yang hangat dari penonton arus utama. Bahkan di Korea Selatan pun. Sentimen terhadap konten LGBT ini bahkan juga dibahas dalam salah satu episode Sweet Munchies. Bos Kim A-Jin bertanya beberapa kali, kenapa Kim A-Jin ingin mengangkat chef gay sebagai karakter utama acara yang akan dibuatnya. Belum termasuk para demonstran yang meminta stasiun TV tersebut untuk memberhentikan acara yang dibuat Kim A-Jin karena acara tersebut bisa membuat anak mereka menjadi gay.
Sayang sekali, padahal Sweet Munchies menurut saya adalah hiburan yang sangat pure.
Terakhir, Ria Ricis mau enggak ya nonton drama Korea ini kalau dia tahu ceritanya tentang cowok ganteng pura-pura jadi gay demi menolong bapaknya?
Sweet Munchies bisa disaksikan di VIU.
Comments