Manusia sering berkata, jika ada dua rupa dalam satu pribadi maka yang satu adalah rupa pribadi yang baik sementara yang lainnya adalah rupa pribadi yang buruk. Akan tetapi ada juga dua rupa yang keduanya buruk atau keduanya baik. Atau yang tidak mengetahui apakah dua rupa dalam pribadinya baik atau buruk. Sebab persoalan baik atau buruk kembali adalah sebuah label yang ditentukan oleh konstruksi masyarakat atas dasar moral hidup bersama.
Identitas sosial kerap menjadi penghalang untuk seseorang dapat memperlihatkan pribadinya yang utuh. Ia tidak memiliki cukup keberanian untuk menyatakan rupa yang sebenarnya sehingga harus membuat dua rupa agar tetap dapat diterima oleh orang lain.
Hal ini jelas, karena sebagai makhluk sosial, kita membutuhkan suatu penerimaan dalam lingkungan tempat kita berada. Tanpa adanya hal tersebut, sering kali kita merasa tak bermakna atau benar-benar dianggap ada.
Baca juga: Dogma Agama vs. Empati dan Kemanusiaan
Dilema Hidup Beragama
Tak jarang manusia yang membenci dan menghakimi manusia lain yang memiliki dua rupa. Tanpa bertanya dan mengonfirmasi, mereka berhenti berhubungan dengannya.
Asumsi yang terdapat dalam masyarakat menyatakan bahwa sang pemilik dua rupa tidak pantas untuk menjadi bagian dalam masyarakat karena ia tidak konsisten terhadap dirinya sendiri. Lalu bagaimana membangun hubungan dengan orang lain jika tidak bisa membangun hubungan dengan diri sendiri?
Seorang beragama menyatakan kepada sahabatnya bahwa ia hidup dalam dua rupa. Sejak kecil, ia selalu diberikan nilai-nilai agama dari kedua orang tuanya yang sangat religius. Sang ayah adalah seorang pastoral dan organisatoris gereja, sedangkan ibunya adalah seorang aktivis gereja yang tidak pernah luput untuk mengabdikan dirinya meski banyak keluhan di baliknya.
Di sisi lain, ia adalah anak biasa yang seiring waktu, belajar banyak hal tentang sejarah, kitab suci, kehidupan di masa lampau, konteks permasalahan di masa kini, dan tantangan di masa depan. Hal-hal itu membuatnya kemudian menjadi seseorang yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak mau untuk terkurung dalam agama tertentu.
Sementara itu, ketika ia lulus dari sebuah universitas, entah bagaimana ia memutuskan untuk tidak menjadi seorang pendeta atau guru agama meski jurusannya mengarah kepada dua pekerjaan tersebut. Ia memilih untuk terus mendalami spiritualitas dan moral hidupnya sendiri.
Sampai suatu ketika, ia sangat didesak oleh keadaan ekonomi keluarganya. Tanpa disadari keluarganya, ia mendengar seluruh percakapan mereka yang membuatnya ingin segera memiliki pekerjaan agar hidup mandiri dan tidak membebani keluarga.
Ia belum punya pilihan selain memilih pekerjaan yang linear dengan gelarnya. Karena itulah, ia akhirnya menjadi seorang guru agama, pekerjaan yang tak diinginkannya.
Ia pun membela diri bahwa ia hanya tak sanggup untuk memilih salah satu di antara dua rupa. Ia membutuhkan keduanya. Ia membutuhkan rupa untuk menjadi dirinya sendiri dan rupa untuk bersosialisasi dengan orang lain. Sangat menyiksa barangkali untuk dirinya, tetapi keputusannya membuatnya harus menjalani itu.
Baca juga: Membaca Ulang Ayat Alkitab Soal Hubungan Seksual dengan Lebih Kritis
Merasa Diri Palsu
Jika ditanya, maka ia lebih suka untuk menjadi diri sendiri, menjadi sebuah rupa yang bertuhan namun tak perlu terjebak pada satu agama tertentu. Tapi baginya itu tidak mungkin.
Identitas yang melekat pada dirinya, kehidupan keluarganya yang sangat religius, jurusan dan gelar sekolahnya, jemaatnya yang pernah ia pimpin, lingkungan pertemanannya, lingkungan pelayanan gerejanya dan banyak hal, membuatnya mempertahankan rupa seorang yang harus beragama dan menjalankan rutinitas keagamaan.
Pertanyaannya, apakah kedua rupa dapat menjadi kesatuan rupa yang utuh? Atau apakah kedua rupa harus terus dibedakan satu sama lain dan dijalani sebagai pribadi masing-masing yang tak memiliki keterkaitan?
Mungkin, pertanyaan ini banyak dihadapi oleh orang-orang yang seperti dirinya. Ia yakin ia tidak sendiri, memiliki dua rupa dan hidup dalam kegundahan karena merasa dirinya palsu.
Sebagian dari mereka yang menganggap dirinya palsu menjadi pesimis dan merasa tak layak untuk hidup dengan ribuan pemikiran orang di sekitarnya yang memaksanya untuk menjadi sama dengan mereka. Sebagiannya lagi memilih untuk optimis, dan mengatakan kedua rupa dapat terus hidup bersama di dalam dirinya.
Tuntutan untuk Sesuai Harapan Orang Lain
Ia tak pernah bermaksud ingin menjadi seseorang yang berbeda, malahan ia ingin merangkul semua perbedaan yang ia temui di sepanjang sudut kota yang pernah ia datangi. Tetapi kehidupan memang tak seindah untaian benang yang menjadi satu kesatuan dalam kain yang indah. Kehidupan punya jalannya sendiri untuk selalu mengatur seseorang sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bersama masyarakat.
Tak jarang, ia merasa tidak pernah bebas menjadi dirinya. Tetap saja dua rupa hidup bersama demi terciptanya kehidupan bersama masyarakat yang teratur.
Apakah salah? Apakah benar? Tak ada yang bisa menentukan, tak ada yang sesungguhnya bisa menghakimi. Salah dan benar kembali menjadi sebuah konstruksi masyarakat. Sebuah label etika yang dihidupi secara berlainan antara satu budaya dan budaya yang lain. Selama kita hidup berdampingan dengan orang lain, akan selalu ada tuntutan masyarakat kepada kita untuk dapat menjadi seperti harapan orang lain.
Belajar dari banyak tokoh-tokoh dunia, tak perlu risaukan siapa diri kita. Tetaplah menjadi orang yang berarti bagi orang lain, memberi kontribusi nyata.
Kita semua memiliki peran masing-masing dan temukan peran terbaik yang bisa kita berikan bagi orang-orang di sekitar kita, untuk menolong terciptanya kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan bukan memperparah keadaan itu.
Comments