Women Lead Pendidikan Seks
March 16, 2022

‘Emotional Caretaker’: Lindungi Perasaan Ortu, Dipaksa Dewasa Sebelum Waktunya

Mendengarkan keluh kesah orang tua bisa berdampak buruk pada anak, karena mereka akan berusaha menanggung beban tersebut dan memberikan kenyamanan.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
Share:

Bagi sebagian siswa, popularitas adalah sesuatu yang dikejar untuk menjadi pusat perhatian di sekolah, sekaligus mendapatkan privilese di lingkungannya. Namun, tidak dengan Regina. Content marketing executive di perusahaan telekonsultasi itu justru bersembunyi di balik ketidakpopulerannya, untuk menghindari masalah pertemanan.

Semua berawal dari kebangkrutan perusahaan keluarga saat ia duduk di bangku pertama Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal itu membuatnya berperan sebagai emotional caretaker sang ibu, atau seseorang yang merasa bertanggung jawab atas regulasi emosi orang lain.

Karakternya yang berempati tinggi dan peka terhadap lingkungannya, membuat Regina merasakan atmosfer berbeda di rumah. Juga raut wajah ibunya yang tampak stres, mendorongnya untuk menanyakan peristiwa yang terjadi di keluarga.

“Nyokap jadi emotionally dependent on me, karena dia malu dan bingung mau cerita ke siapa,” ujarnya saat dihubungi Magdalene, (14/3). So, I was carrying the emotional baggage of a 40-year-old woman when I was in junior high school,” sambungnya.

Baca Juga: Apa itu ‘Emotional Blackmail’ dan Bagaimana Cara Mengatasinya

Melansir GoodTherapy, anak cenderung berperan sebagai emotional caretaker seperti Regina, ketika orang tuanya gagal memenuhi kebutuhan dasar yang seharusnya diberikan dengan cukup baik.

Misalnya peran orang tua yang pasif, berada pada posisi rentan, narsistik, bercerai, berpenghasilan rendah, menganiaya fisik, melakukan pelecehan seksual, keinginan bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan sudah meninggal.

Alhasil yang terjadi adalah sebaliknya. Anak berusaha menanggung kebutuhan emosional orang tuanya, agar terbebas dari ketidaknyamanan.

Sejak saat itu Regina tergerak melakukan sesuatu, yakni mencari keberadaan sang ayah yang sempat menghilang beberapa minggu, pasca musibah tersebut menimpa. Pun, ia memutuskan mengurangi beban ibunya, dengan mengejar peringkat pertama dan aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolah. Sehingga, ibunya tidak perlu mengkhawatirkan prestasinya.

Ibarat karakter Charlie (Logan Lerman) dalam The Perks of Being a Wallflower (2012), perempuan 22 tahun itu enggan diketahui keberadaannya oleh banyak orang. Sebab, fokus perhatiannya yang terletak pada pendidikan dan rumah, membuatnya memilih menghabiskan waktu bersama salah seorang sahabatnya.

“Gue nggak hangout dengan orang lain, because I have too many things going on at home,” jelasnya. Kondisi tersebut membentuknya untuk dewasa sejak dini, dan menjadi anak yang paling diandalkan ketimbang kedua saudara kandungnya.

Bukan Tanggung Jawab Anak

Umumnya, seorang anak ingin menyenangkan, mendapatkan validasi, atau lebih terkoneksi dengan orang tua.

Namun, apabila yang anak lakukan gagal memenuhi beberapa hal tersebut, mereka akan merasa cemas, takut, depresi, terisolasi, hingga ditelantarkan. Karenanya, mereka berupaya melakukan apa pun, termasuk berusaha memberikan dukungan secara emosional, atau membantu memecahkan masalah.

Hal itu juga dilakukan oleh Regina yang berusaha memperbaiki situasi keluarganya. “I was the one who tried to fix the problem at home, pokoknya selama nggak berhubungan dengan mencari uang,” akunya.

Maka itu, ambisinya di sekolah bukan hanya untuk mengurangi beban sang ibu, melainkan juga menyenangkan hatinya. Sementara, terhadap ayah, tanpa disadari ia berpikir mampu mengubah karakter laki-laki yang berperan minim dalam hidupnya.

Di sisi lain, orang tua yang sedang berjuang mengatasi permasalahannya dan menderita secara emosional, menemukan anaknya mampu memberikan kenyamanan dan pertolongan. Sehingga mereka menganggap anaknya sebagai sosok yang dapat diandalkan, sekaligus pemecah masalah.

Baca Juga: ‘Silent Treatment’ Orang Tua ke Anak: Kekerasan Emosional yang Tak Terlihat

Padahal, otak anak belum cukup berkembang untuk mengatasi penyebab stres orang dewasa, maupun bertanggung jawab atas regulasi emosi orang tuanya, sebagaimana dijelaskan dalam Wellnest.

Dalam jangka panjang, anak melihat dirinya perlu melindungi orang tua dari emosi dan situasi menantang. Ini membuat mereka terbebani dan mengesampingkan kebutuhan emosionalnya. Bahkan tidak hanya di lingkup keluarga, tetapi juga berpengaruh dalam pertemanan dan hubungan romantis. 

Bagi Regina contohnya, mendengarkan permasalahan keluarganya adalah salah satu penyebab ia jadi people pleaser. Ketika harus memutuskan sesuatu, ia cenderung mengikuti keinginan orang lain. Begitu pula dalam relasi dengan pasangannya, ia cenderung mengalah jika keduanya sedang lelah secara emosional. Alasannya, ia menganggap yang dihadapi pacarnya lebih berat.

Namun layaknya bom waktu, seorang emotional caretaker yang menanggung beban dan trauma orang lain akan meledak pada saatnya, seperti karakter Lexi Howard (Maude Apatow) dalam serial Euphoria (2019).

Sepanjang hidupnya, Howard berusaha kuat setelah kehilangan sosok ayah yang pergi dari kehidupannya, dan ibunya yang kecanduan alkohol. Kemudian, ia tinggal di balik bayangan dan popularitas kakaknya, Cassie Howard (Sydney Sweeney), yang juga lebih rentan jika bersangkutan pada relasi dengan ayahnya, dan  menjalin hubungan romantis.

Selain itu, Howard juga tetap mendukung sahabatnya, Rue Bennett (Zendaya), yang adiksi obat-obatan dan memiliki penyakit mental.

Puncaknya terletak pada dua episode terakhir, musim kedua serial garapan Sam Levinson itu. Ketika Howard meluapkan keluh kesahnya lewat drama yang dipentaskan, dengan mengangkat cerita kehidupannya dan orang-orang di sekitarnya.

Adakah Jalan Keluar Bagi Emotional Caretaker?


Meskipun peran emotional caretaker bisa terbawa hingga dewasa, bukan berarti kebiasaan tersebut tidak dapat dihentikan. Sadar perlu memprioritaskan dan mengenali kebutuhan diri
merupakan langkah awal untuk memulainya, sekali pun sulit dilakukan karena kerap mempertimbangkan perasaan orang tua.

Dalam situsnya, penulis Bethany Webster menjelaskan, kesadaran itu akan muncul ketika seseorang mulai melihat, selama ini kekuatan dalam dirinya diberikan untuk membawa beban emosional orang lain. Akibatnya adalah melemahkan perasaan sendiri karena berusaha mempertahankan ketenangan situasi.

Setelah menyadari perlunya mengutamakan diri sendiri, terdapat beberapa hal lain yang dapat dilakukan untuk terlepas dari beban sebagai emotional caretaker.

Pertama, membangun batasan relasi dengan orang tua. Bukan berarti tembok itu perlu dibangun sedemikian rupa, melainkan dimulai dari hal kecil.

Misalnya seperti dilakukan Regina. Setelah lulus kuliah, ia memutuskan menceritakan kepada ibunya, bahwa peran emotional caretaker yang dijalani membuatnya menomorduakan dirinya. Juga memberatkan permasalahan yang dihadapi sewaktu masih fresh graduate, dan membuatnya cukup depresi.

Baca Juga: Anak-anak, Rekonsiliasi dengan Orang Tua Lewat Cara Ini

“Waktu itu ada masalah dokumentasi visa yang menghentikan gue untuk bekerja selama beberapa bulan,” ucap Regina menceritakan kondisinya di Kanada saat itu, membuatnya berterus terang pada sang ibu.

“Gue punya beban pikiran sendiri, tapi keluarga masih cerita permasalahan mereka,” tuturnya. “Mereka bilang jangan dipikirin, but that sentence was ridiculous because I’m an overthinker.”

Kini ibunya mengurangi bercerita padanya, walaupun di satu sisi ia tetap merasa mendengarkan keluhan adalah salah satu tugasnya di keluarga. Setidaknya, peran itu sedikit berubah, bukan lagi ada kebutuhan untuk menyelesaikan permasalahan, melainkan bersifat sebagai pendengar dan menunjukkan kehadiran.

Kedua, membagikan cerita ke orang lain karena menanggung beban sebagai emotional caretaker bukan perkara mudah. Bahkan, seseorang mampu merasa terjebak dalam pengalaman yang tidak familier karena cerita yang dikeluhkan orang lain.

Ketiga, belajar mengandalkan orang lain. Biasanya, seseorang yang terbiasa diandalkan mengalami kesulitan untuk meminta bantuan atau mengaku dirinya sedang menghadapi masalah. Sedangkan membangun relasi dengan orang lain membutuhkan kedua hal tersebut.

Karena itu, seorang emotional caretaker perlu menanamkan pemikiran, setiap orang berhak merasakan kenyamanan dan mendapatkan dukungan emosional, untuk bertahan dan saling menguatkan.

Pun melepaskan tanggung jawab sebagai emotional caretaker tidak hanya menguntungkan diri sendiri, melainkan orang lain supaya mampu berdaya berdasarkan kekuatannya.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.