Women Lead Pendidikan Seks
December 07, 2022

4 Hal yang Harus Kamu Tahu dari Kongres Ulama Perempuan II

Sebagai perhelatan agama yang perjuangkan hak-hak perempuan, ada 4 hal yang harus kamu ketahui dari KUPI II.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues
Kongres Perempuan Indonesia
Share:

Kongres Ulama Perempuan (KUPI) II resmi ditutup pada (26/11). Acara itu dihadiri 1.600 peserta dari 32 provinsi Indonesia, dengan puluhan ulama perempuan dari 31 negara. Kongres yang mengangkat tajuk "Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Membangun Peradaban yang Berkeadilan" itu dihelat di UIN Walisongo Semarang dan Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari.

Pemilihan lokasi universitas dan pondok pesantren menurut Nyai Badriyah Fayumi, Ketua Pengarah Majelis KUPI II karena kedua tempat itu punya tradisi keilmuan agama Islam yang khas.

“Pesantren mewakili tradisi keilmuan Islam yang berbasis turots atau belajar secara urut sampai khatam. Sementara, kampus mewakili tradisi keilmuan Islam yang melihat satu persoalan secara tematik dan komprehensif dengan pendekatan disipliner,” kata dia dalam konferensi internasional KUPI, (23/11).

Produk pemikiran kampus yang berbasis penelitian dan pesantren yang berbasis kekayaan khazanah kitab inilah yang kemudian tercermin dalam naskah musyawarah keagamaan KUPI. Naskah musyawarah keagamaan itu bersifat progresif lantaran mempersatukan teks dan konteks, baik konteks lokal maupun internasional. 

Nyai Badriyah menambahkan, KUPI diharapkan bisa membuka diskusi baru dan mengadvokasi isu-isu penting. Magdalene merangkum hal-hal penting apa saja yang dibahas dalam KUPI II. Apa saja?

Baca Juga: KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara

1. Kedepankan Pengalaman Perempuan dengan Tiga Konsep

Kiai Faqihuddin Abdul Kodir atau Kiai Faqih bilang pada Magdalene, secara struktural dan kultural, umat Islam berada dalam suasana patriarkis ribuan tahun. Ini berdampak pada tafsir agama mayoritas yang lumayan bias dan tak adil gender, karena dibuat oleh ulama laki-laki, berdasarkan pengalaman mereka.

Sebaliknya, pengalaman perempuan luput jadi perhatian. Karena monopoli laki-laki inilah, KUPI hadir sebagai terobosan buat tradisi keilmuan Islam. Dalam KUPI, perempuan jadi poros narasinya. Maksudnya, semua pengetahuan dan pengalaman perempuan dicatat, dan tafsir yang lebih ramah minoritas pun dibuat, termasuk dalam fatwa agama.

Ada tiga konsep yang diusung, yakni kesalingan (mubadalah), keadilan hakiki perempuan, dan kebaikan (ma’ruf). Nyai Nur Rofiah menjelaskan, KUPI melazimkan konsep mubadalah karena ini adalah prinsip dasar kemaslahatan dalam Islam untuk laki laki dan perempuan.

“Segala kemudaratan atau keburukan serta bahaya, harus dicegah dari laki laki dan perempuan. Pun, kebaikan atau rahmah (harus) ada untuk kedua belah pihak,” ucapnya.

Sementara, konsep keadilan hakiki perempuan dipakai karena ia bersandar pada pengalaman biologis perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui) dan sosial perempuan (kesetaraan gender). Nantinya, pendekatan ini harus memastikan laki laki tidak menjadikan standar tunggal dalam maslahat perempuan.

Terakhir, konsep ma'ruf digunakan dalam menyikapi tradisi yang berbahaya bagi perempuan. Dalam ma’ruf, kesadaran untuk memerhatikan kondisi khas dan keamanan perempuan memang dipandang sangat penting.

Baca Juga: Kyai Husein Muhammad Sang Ulama Feminis

2. Refleksi KUPI I yang Dijadikan Bahan Evaluasi

KUPI pertama kali digelar di Cirebon pada 2015 lalu. Dalam lima tahun, KUPI sebagai gerakan sosial banyak membangun solidaritas, menyuarakan, dan mengadvokasi hak-hak perempuan lewat fatwanya. Misalnya, fatwa tentang kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan lingkungan.

Salah satunya fatwa haram yang dikeluarkan KUPI terkait kekerasan seksual, yang terbilang sukses. Dalam hal ini, KUPI menjadi garda depan dalam mendorong pengesahan Undang-Undang Penghapusan Tindak Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurut Nyai Badriyah, hampir dalam setiap pembahasan UU TPKS, KUPI selalu diundang oleh anggota parlemen untuk memberikan pandangannya dalam perspektif Islam yang adil gender.

Berbanding terbalik dengan fatwa terkait kekerasan seksual, fatwa KUPI terkait kerusakan lingkungan diakui oleh Kiai Faqih kurang terlaksana dengan baik. Merespons itu, Ruby Kholifah, Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menyampaikan secara langsung pada Magdalene, isu kerusakan lingkungan yang dibawa pada KUPI I masih terlalu besar.

Padahal kita tahu, butuh energi besar untuk melibatkan negara dan korporasi, sehingga dengan gerakan yang baru dimulai, KUPI belum mampu melakukannya dengan baik. Apalagi di KUPI I, mereka tidak menggandeng ulama perempuan yang sudah memiliki based practices terkait.

Di episode keduanya, KUPI mengerucutkan permasalahan kerusakan lingkungan lewat pengelolaan sampah berkelanjutan. Pengerucutan itu, ujar Ruby, penting karena rekomendasi aksi yang ditawarkan tentu lebih konkret dan mudah dijalankan secara bertahap.

“Di KUPI II kita lebih realistis. Jadi dipastikan sudah ada orang yang sudah bekerja dalam isu ini. Mereka berdedikasi dan siap mengawal, sehingga akan bisa terlihat perubahan yang lebih nyata nantinya.”

Baca juga: Konferensi Internasional KUPI II: Teguhkan Eksistensi Ulama Perempuan

3. 5 Fatwa KUPI II

KUPI II berhasil menelurkan sikap keagamaan atau fatwa. Fatwa itu merupakan bagian dari proses mewujudkan gagasan kerahmatan (rahmatan lil ‘alaminâlamîn) dan kemaslahatan (akhlaâq kariîmah) dalam kehidupan.

Dibacakan oleh Fatum Abu Bakar (PP Al Khoirot, Ternate) Mohammad Khatibul Umam (PP An-Nuqayah Guluk Guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur), Masyitah Umar (Guru Besar UIN Antasari), dan Nurul Mahmudah (ulama perempuan muda dari Jombang), lima fatwa KUPI adalah sebagai berikut, dikutip langsung dari rilis pers KUPI II:

Pertama, mengenai peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Menurut KUPI, hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara. Karena itu, tindakan melakukan peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama hukumnya haram bagi setiap lembaga negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya.

Kedua, mengenai pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan. Hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah terbagi menjadi tiga bagian, haram bagi mubasyir (pelaku langsung) atau eksekutor mutasabbib (penyebab tidak langsung), sedangkan makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) bagi orang yang tidak mempunyai wewenang.

Ketiga, mengenai perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan. Disampaikan bahwa wajib hukumnya bagi negara, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, masyarakat, dan orang tua melakukan perlindungan terhadap perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan. Hal ini karena, pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, mental, tetapi juga sosial, ekonomi, politik dan hukum 

Keempat, mengenai perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan/atau psikiatris. Sedangkan hukumnya haram bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab dan kemampuan namun tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan.

Kelima, mengenai perlindungan perempuan dari bahaya pemotongan dan/atau perlukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis. KUPI secara tegas menegaskan hukum P2GP tanpa alasan medis adalah haram. Dengan demikian, wajib hukumnya menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan P2GP tanpa alasan medis.

4. Rekomendasi KUPI II

Selain lima sikap keagamaan atau fatwa, KUPI II juga menghasilkan delapan rekomendasi yang dibacakan oleh Manajer Program Fahmina Institute, Roziqoh Sukardi dan perwakilan pejabat yang hadir, yakni Staf Ahli bidang Hukum Kementerian Agama, Abu Rohmad, Anggota Parlemen GKR Hemas, dan Wakil Bupati Sumenep, Madura, Eva Khalifah.

Delapan rekomendasi KUPI II antara lain:

1. Bahwa rekognisi eksistensi ulama perempuan telah diterima di kalangan masyarakat, pesantren, perguruan tinggi, pemerintahan, media, dan kalangan dunia internasional. Oleh karena itu:

a. Negara harus menjadikan KUPI sebagai mitra kerja strategis dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan isu-isu strategis bangsa, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga desa/ kelurahan.

b. Masyarakat sipil perlu menjadikan Jaringan KUPI sebagai mitra strategis dalam membangun gerakan sosial untuk peradaban yang berkeadilan.

c. Jaringan KUPI perlu diperkuat, baik kapasitas, akses, maupun sumber daya, dalam membangun peradaban yang berkeadilan bagi seluruh umat manusia.

2.Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan, menyebabkan perempuan tersudut oleh kehamilan, stigma, dan diskriminasi, karena itu:

a. Negara harus mengubah dan menyelaraskan regulasi yang berpihak pada keselamatan dan perlindungan jiwa perempuan dan mengimplementasikannya dengan konsisten.

b. Negara harus mempercepat penyusunan dan implementasi berbagai kebijakan yang terkait kelompok rentan kekerasan, terutama peraturan pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

c. Masyarakat sipil perlu terlibat dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan negara, melakukan edukasi masyarakat, dan pendampingan pada korban.

d. Jaringan KUPI perlu mengakselerasi gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan perspektif pengalaman perempuan dalam pandangan keagamaan.

3. Sampah bukan semata urusan perempuan, tetapi tanggung jawab semua pihak. Demi keberlangsungan lingkungan hidup dan kelestarian alam, maka:

a. Negara perlu memperlakukan isu sampah sebagai isu penting dan genting dengan merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang partisipatif, melibatkan pelaku usaha, konsumen, dan struktur negara hingga ke desa.

b. Masyarakat sipil mengambil peran dalam gerakan penanggulangan sampah.

c. Jaringan KUPI perlu memperkuat masyarakat dengan pandangan keagamaan untuk menanggulangi sampah.

4. Ekstremisme beragama telah terbukti berdampak langsung terhadap rusaknya kemaslahatan perempuan, seperti peningkatan kekerasan terhadap perempuan atas nama agama. Oleh karena itu:

a. Negara wajib melindungi seluruh warga negara, laki-laki dan perempuan, dari bahaya ekstremisme dengan memperkuat nilai-nilai moderasi beragama.

b. Masyarakat sipil perlu melakukan pendidikan kritis pada masyarakat dan mempromosikan praktik dan pandangan keagamaan yang moderat, toleran, dan inklusif.

c. Jaringan KUPI perlu memperkuat perempuan sebagai aktor perdamaian berbasis pengalaman dan pengetahuan perempuan.

5. Praktik pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak telah terbukti menyengsarakan pada keberlangsungan hidup perempuan dan peradaban, oleh karena itu:

a. Negara harus memastikan implementasi regulasi-regulasi terkait untuk menghentikan praktik pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak.

b. Masyarakat sipil melakukan pengawasan negara dalam implementasi regulasi serta melakukan pendidikan masyarakat untuk menghapus pemaksaan perkawinan dan mencegah perkawinan anak.

c. Jaringan KUPI perlu menyosialisasikan pandangan KUPI dan memperluas jaringan untuk gerakan menghapus pemaksaan perkawinan dan mencegah perkawinan anak.

6. Pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis terbukti memberikan dampak mudarat bagi perempuan. Sehingga:

a. Negara harus mengadopsi pandangan keagamaan yang melarang praktik P2GP  tanpa alasan medis melalui pembuatan regulasi dan tahapan implementasinya.

b. Masyarakat sipil perlu mengadopsi dan jaringan KUPI perlu menyosialisasikan pandangan keagamaan KUPI yang mengharamkan P2GP tanpa alasan medis di masyarakat.

7. Menyerukan solidaritas bagi masyarakat muslim, khususnya kelompok perempuan di berbagai negara yang mengalami opresi dan krisis kemanusiaan, terutama Afghanistan, Iran, Myanmar, Turki, dan China (Uyghur), dan menuntut pemerintah di negara-negara tersebut untuk menghentikan tindakan opresi dan menjamin kemaslahatan warganya dengan semangat Islam rahmatan lil 'alamin yang meletakkan penghormatan pada hak-hak perempuan.

8. Mendorong tumbuhnya gerakan ulama perempuan di berbagai komunitas lokal dunia dengan berbekal pada pengalaman KUPI sebagai inspirasi, di mana gerakan intra dan interfaith, demokrasi, pelibatan laki-laki, dan keadilan lingkungan dilandaskan pada pengalaman dan pengetahuan perempuan. 

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.