Satu abad yang lalu, perempuan di Inggris resmi dilarang bermain sepak bola. Asosiasi Sepak Bola (Football Association atau FA) di Inggris mengeluarkan aturan pada 1921 yang melarang klub-klub menurunkan pemain perempuan di kandang mereka. Larangan yang berlangsung selama 50 tahun ini menyebabkan tidak adanya liga atau organisasi bagi perempuan untuk bisa berlatih dan berkembang dalam olahraga tersebut.
Untungnya, situasi cukup berbeda di 2022. Turnamen Women’s Euro 2022 yang mulai berlangsung pekan lalu–yang terdiri dari 31 pertandingan dengan pemain dari 16 negara–mencatat rekor penjualan tiket.
Tumbuhnya minat pun memengaruhi potensi industri periklanan dalam sepak bola perempuan.
Namun, ada sisi bisnis lain dari suatu olahraga daripada sekadar peningkatan pemasukan. Hal ini melingkupi bagaimana uang digunakan, permainan dikembangkan, dan bagaimana memperlakukan penggemar, pemain, dan penyiar.
Dalam hal ini, pengaruh laki-laki cukup jelas, dari lapangan hingga organisasi.
Di Inggris, contohnya, klub bola perempuan yang sukses harus paling tidak terkoneksi dengan klub bola laki-laki yang terkenal. Pada gelaran Liga Super Perempuan (Women’s Super League atau WSL) tahun 2010, terdapat delapan tim yang berkompetisi. Dari jumlah tersebut, lima di antaranya terafiliasi dengan klub profesional laki-laki yang tergabung dalam Liga Primer Inggris.
Musim lalu, 12 tim turut berkompetisi. Sebanyak 10 di antaranya merupakan afiliasi dari tim di Liga Primer, sementara dua sisanya (Birmingham City dan Reading) terkoneksi dengan kejuaraan English Football League (EFL), yang merupakan liga tersohor kedua di kancah sepak bola Inggris.
Secara keseluruhan, dunia sepak bola masih memiliki keragaman gender yang rendah di ruang rapat. Riset terkini menunjukkan bahwa dua pertiga dari klub-klub yang tergabung dalam empat liga terbesar di Inggris memiliki jajaran eksekutif yang semuanya laki-laki (all-male). Di WSL, tujuh dari 12 tim pun memiliki jajaran eksekutif yang seluruhnya laki-laki.
Baca juga: Kapten Cantik, Bidadari Lapangan: Kosa Kata Media untuk Sepak Bola Perempuan
Representasi eksekutif perempuan hanya mencapai 11 persen di Liga Primer, 4 persen di EFL, dan 19persen di WSL. Hal ini menyampingkan banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa tata kelola yang baik dapat mengarah pada keuntungan finansial yang memuaskan, dan keragaman gender di ruang rapat berkaitan dengan keduanya.
Keuntungan finansial ini penting bagi masa depan persepakbolaan, baik bagi klub perempuan maupun laki-laki. Bahkan, dalam banyak kasus, kondisi keuangan mereka kini tidak dalam posisi aman.
Dalam satu kajian keberlanjutan tentang finansial bisnis sepak bola laki-laki yang dilakukan oleh saya dan Kieran Maguire dari University of Liverpool, kami meninjau berbagai tolok ukur finansial (seperti risiko likuiditas dan pengeluaran gaji yang tidak lebih dari 70 persen pemasukan). Kami menemukan bahwa hanya tiga klub di Liga Primer yang tidak terpapar risiko kegagalan memenuhi kriteria-kriteria ini.
Karena kurangnya informasi publik mengenai posisi keuangan WSL, kami tidak bisa melakukan analisis serupa. Akan tetapi, kami dapat melihat bahwa lima klub WSL terafiliasi dengan tim sepak bola laki-laki yang perusahaan induknya memiliki risiko di mayoritas tolak ukur yang kami gunakan. Hal ini merupakan kabar buruk bagi klub-klub perempuan, yang seringkali dilihat hanya sebagai “bisnis sampingan” dari klub laki-laki. Oleh karenanya, mereka sering menjadi target pemotongan anggaran.
Baca juga: Sepak Bola Perempuan Semakin Diminati, Namun Disparitas Tetap Ada
Kesetaraan dan Kepemilikan Saham
Cara lain untuk menilai keberlanjutan finansial adalah dengan melihat ekuitas, atau kepemilikan saham dalam klub.
Bagi kelangsungan bisnis, ekuitas harus positif, yang artinya klub harus memiliki nilai lebih. Namun, dalam persepakbolaan, kita kerap melihat ekuitas negatif, atau ketika pemilik klub harus terus membakar dana agar klub bisa terus berjalan.
Di WSL, hanya tiga klub yang memiliki ekuitas positif selama musim 2020-21. Sembilan klub sisanya bangkrut secara teknis. Dalam industri lain, klub-klub ini harusnya sudah tidak lagi beroperasi.
Walaupun klub bola laki-laki yang terafiliasi dengan klub perempuan ini akan terus memberikan dukungannya melalui hibah dan pinjaman, dari sembilan klub WSL yang memiliki ekuitas negatif, empat di antaranya terafiliasi dengan klub laki-laki yang juga memiliki ekuitas negatif. Ini merupakan skenario yang mengkhawatirkan, apalagi mengingat kondisi keuangan di liga laki-laki.
Dampak permasalahan finansial ini menyebabkan delapan dari 22 anggota Liga Primer masuk administrasi Peradilan Tinggi semenjak Liga Primer dimulai. Putusan tersebut dapat mengurangi poin mereka dalam liga. Jika hal ini terjadi terhadap perusahaan induk mereka, sangat mungkin tim perempuan yang terafiliasi akan mengalami hal yang sama.
Tampaknya, afiliasi dengan klub bola laki-laki dapat membawa risiko maupun manfaat bagi klub perempuan. Klub bola perempuan tidak akan sukses tanpa didampingi klub bola laki-laki top. Namun hal ini membuat mereka tidak memiliki kemandirian finansial.
Baca juga: Pledge United: Menolak Kekerasan terhadap Perempuan dengan Sepak Bola
Tanda-tanda perbaikan memang mulai muncul. Pemerintah Inggris telah mengumumkan pengkajian mengenai bagaimana liga perempuan sebaiknya dijalankan. Kini, terdapat berbagai aturan resmi yang mendorong keragaman yang lebih besar dan perbaikan tata kelola.
Akan tetapi, banyak persoalan yang mesti diatasi terkait pendanaan, representasi, dan agensi. Demi memastikan bahwa Euro 2022 dapat meninggalkan warisan yang akan terus bertahan, sangat penting bagi tim perempuan untuk dilihat sebagai klub tersendiri, dengan risiko dan manfaat yang datang bersama kemandirian mereka.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments