Women Lead Pendidikan Seks
November 25, 2022

Apa itu ‘Child Grooming’, Semua Fakta yang Harus Kamu Tahu

‘Child grooming’ dinormalisasi di produk budaya populer kita, padahal efeknya bisa berbahaya. Apa saja ciri dan bagaimana menghadapinya?

by Purnama Ayu Rizky, Redaktur Pelaksana
Safe Space
apa itu child grooming
Share:

Usia Zahra baru 15 tahun saat Tirta, pria beristri dua itu memboyongnya ke rumah. Ia diancam dan dinikahi paksa karena sang ayah tak bisa membayar utang. Selanjutnya, kita menyaksikan parade kekerasan pada Zahra di rumah itu, dari kekerasan verbal, perundungan, kekerasan seksual, dan aborsi paksa dengan racun. Tak cuma dilakukan oleh Tirta tapi juga dua istri Tirta, serta ibu mertua.

Meski menerima kekerasan, Zahra digambarkan sebagai sosok pemaaf dan tetap mencoba jadi istri yang baik. Karena itulah, Tirta, si pria hidung belang mulai jatuh cinta. Lebih tepatnya mereka saling jatuh cinta.

Cerita barusan diangkat dalam sinetron bertajuk Suara Hati Istri: Zahra yang tayang di Indosiar pada medio 2021. Penggambarannya di layar kaca memang bikin kita ngamuk dan membenci praktik perkawinan anak, kekerasan, poligami, dan sebagainya. Namun, cara sineas sinetron mengetengahkan romansa pria dewasa dan anak perempuan, lalu menormalisasi dan meromantisasi, justru mengekalkan spiral child grooming itu sendiri.

Apa itu Child Grooming dan Tahapannya?

Menurut Merdian, Curtis, Thakker, Wilson, dan Boer (2013), child grooming merupakan salah satu bentuk kejahatan seksual terhadap anak. Pelaku yang dilabeli sebagai groomer dalam hal ini sengaja membuat relasi yang akrab dan dekat dengan korban, bahkan tak jarang keluarga korban. Cara ini dilakukan untuk mencapai tujuan seksual tertentu, tulis mereka dalam “The three dimensions of online child pornography offending yang terbit di Journal of Sexual Aggression.

Psikolog Universitas Indonesia Anna Surti yang diwawancarai Magdalene sebelumnya bilang, tak cuma untuk tujuan seksual, manipulasi groomer juga kerap melibatkan permainan emosi anak, sehingga korban terpuruk secara mental.

Baca juga: Apa pun Alasannya, Grooming adalah Kekerasan Seksual

Masalahnya, terkadang anak yang jadi korban ini kerap tak sadar dirinya tengah di-grooming, khususnya jika ini terjadi di internet. Riset Emily A. Greene-Colozzy dkk bertajuk “Experiences and Perceptions of Online Sexual Solicitation and Grooming of Minors: A Retrospective Report” (2020) menunjukkan ini. Menurut peneliti, 1 dari 5 anak mengalami kekerasan seksual oleh orang dewasa di internet dan tak menyadarinya. Yang mengkhawatirkan, 9 persen di antara korban mau bertemu langsung dan terlibat interaksi seksual dengan groomer.

Kalau pun tak bertemu langsung, groomer ini akan dimintai foto telanjang atau setengah telanjang yang nantinya bakal digunakan sebagai bahan pelecehan seksual. Kadang-kadang juga melibatkan video call sex, chat sex, dan lainnya. Akibatnya, mereka yang menjadi korban child grooming daring mengalami depresi dan gejala trauma seumur hidup. Tujuh puluh persen di antaranya bahkan terus-menerus cemas jika profil mereka diketahui orang lain.

Masalahnya, jumlah groomer ini relatif banyak di internet. Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) memperkirakan, di AS sendiri saja ada 750.000 orang dewasa mencari seks dengan anak-anak setiap harinya. Mereka berselancar di media sosial, komunitas game online, aplikasi kencan, dan platform streaming langsung. 

Setidaknya, ada lima tahapan dari child grooming menurut psikolog klinis John Jay College Elizabeth L. Jeglic Ph.D. di Psychology Today. Pertama, pelaku memilih korbannya. Seleksi korban ini biasanya mempertimbangkan penampilan fisik, karakteristik emosional atau psikologis, seperti karakter anak yang rendah diri, diabaikan, atau punya isu ketidakpercayaan. Selain itu, pelaku juga mempertimbangkan latar belakang keluarga korban: Apakah kontrol orang tua minim, ada penyakit mental, atau dari latar keluarga yang tidak utuh.

Kedua, pelaku mendapatkan akses pada korban dan mengisolasi mereka. Dalam hal ini, pelaku menggunakan banyak strategi untuk mendapatkan akses, termasuk terlibat dalam komunitas anak-anak, pergi ke tempat umum di mana ada anak-anak, dan memanipulasi keluarga. Setelah akses dikantongi, pelaku mencoba untuk mengisolasi anak secara fisik dan emosional dari keluarga dan teman sebaya. Kerap kali pelaku menciptakan situasi di mana korban sendirian, seperti menginap, menjaga anak, atau mengantar anak pulang.

Ketiga, pengembangan kepercayaan. Pelaku sering dipercaya korban dan keluarga karena sikapnya yang ramah. Pelaku lewat sifat manipulatifnya juga mampu membuat anak merasa dicintai, tanpa mereka sadar tengah dieksploitasi kerentanannya.

Keempat, tahap kontak fisik dan percakapan seksual. Di fase ini, pelaku membangun percakapan intim dan sentuhan seksual, dengan tujuan membuat anak tidak peka terhadapnya. Pelaku mungkin mendiskusikan topik seksual, seperti menceritakan lelucon yang tidak pantas sembari menyentuh tubuh anak. Biasanya sentuhan yang dimaksud seperti berpelukan, menggelitik, memijat, dan sejenisnya.

Kelima, pemeliharaan. Maksudnya, pelaku akan mendorong anak untuk menyimpan rahasia, sekaligus meyakinkannya bahwa pelecehan itu normal. Tak jarang pelaku membuat anak merasa bertanggung jawab atas pelecehan tersebut. Bisa juga dengan memberi tahu anak bahwa pelaku mencintai mereka, menekankan betapa spesial dan berharganya korban, menawarkan hadiah kepada anak, atau menjatuhkan hukuman.

Dikekalkan Media, Diromantisasi Produk Budaya Populer Kita

Di awal tulisan dijelaskan, child grooming relatif mudah ditemukan dalam keseharian kita, termasuk dalam budaya populer. Kadang, kita sendiri juga tak menyadari, yang kita konsumsi sehari-hari adalah contoh dari child grooming. 

Misalnya, saat artis Kris Hatta, 34, koar-koar punya pacar serius berumur 14 tahun, dan direstui calon mertua. Kita tak cukup marah saat membaca judul-judul berita di media, seperti Pacari Gadis 14 Tahun, Kriss Hatta Mengaku Nyaman; Terkuak Cerita Awal Kriss Hatta Pacari Si Gadis 14 Tahun, Kini Mau Serius Nikah? Sudah Dapat Restu; Punya Pacar 20 tahun Lebih Muda, Kriss Hatta: Walau Masih Kecil, Tapi Kayak Pacaran Sama Orang Dewasa; atau Pacari Gadis 14 Tahun, Kriss Hatta: Kok Mau Sama Aku.

Judul-judul di atas sepintas tampak meromantisasi hubungan orang dewasa dan anak-anak, seolah-olah itu wajar dirayakan. Seorang artis lelaki yang berhasil memikat anak perempuan cantik dari kalangan biasa saja, bahkan sudah direstui orang tua. Sungguh framing yang ngawur dan bikin ngelus dada. 

Padahal dalam wawancara Magdalene dengan Anna Surti dijelaskan dengan gamblang, apapun alasannya, child grooming adalah kekerasan seksual. Titik. Sebab, ini melibatkan relasi kuasa yang tak setara, ada unsur manipulasi emosi dan fisik. Sehingga, patut ditentang bersama.

Sayangnya, urusan melawan ini tak semudah membalik telapak tangan. Kita begitu mudah menemukan child grooming di film, sinetron, buku, lagu dan membiarkannya (memaafkannya?). Yang paling kentara misalnya ada dalam lirik lagu sohor “Karmila” dari Farid Hardja: “Kukenal dikau lalu jatuh cinta bagai pertama. Dan kucumbu dikau penuh kasih mesra bagai cerita. Kau berulang tahun, kutuang minuman ke dalam gelas. Pada saat itu kutahu usiamu baru sebelas.

Baca juga: Dicap Lebih Lemah, Anak dan Perempuan Muda Rentan Alami Pelecehan Daring

Ada juga lagu anak dari Maluku bertajuk “Ayo Mama”. Bunyi liriknya: “Ayo mama, mama jangan marah beta. Dia cuma, cuma, cuma cium beta. Ayo mama, mama jangan marah beta. Lah orang muda punya biasa.”

Dalam contoh yang lebih baru, ada lagu band The Panas Dalam bertajuk “Pedofilia”: “Sayang engkau masih di TK. Sedang aku S2. Sudut pandang kita berbeda. Usia kita jelas tak sama. Cinta kandas karena usia. Mengapa kita berjumpa.” Meski diniatkan sebagai satir atau komedi, tapi mengangkat topik percintaan anak-anak dan menganggapnya biasa saja adalah kesalahan pertama dalam melawan child grooming. Setidak-tidaknya, selemah-lemahnya iman, perlu ada keberanian untuk bilang bahwa child grooming adalah kekeliruan. Bahwa child grooming adalah kekerasan.

Bagaimana Merespons Child Grooming?

Child grooming adalah tanggung jawab berbagai pihak. Sebagai negara, mereka harus memastikan hadir dengan menyediakan regulasi yang jelas, menegakkan regulasi, dan memastikan aparat penegak hukum paham soal ini. Jangan sampai jika ada kasus child grooming, anak dan orang tua justru mengalami stigmatisasi, sehingga ogah melaporkannya pada aparat.

Untuk media dan orang-orang yang berkecimpung dalam pembuatan produk budaya populer, dari fim, sinetron, buku, hingga lagu, perlu meliterasi diri bahwa child grooming adalah bentuk konkret dari kekerasan seksual. Sehingga, tak perlu dinormalisasi apalagi diromantisasi lagi.

Sementara, untuk orang tua ada tipsnya sendiri. Internet Matters, laman untuk membantu orang tua menavigasi kehidupan digital anak sejak 2014 memberikan beberapa tips mengatasi child grooming. Pertama, jaga kerahasiaan informasi pribadi, seperti nama, usia, jenis kelamin, aktivitas, sekolah, alamat rumah, nomor telepon, juga foto. Kalau perlu, ubah pengaturan akun media sosial orang tua dan anak menjadi privat, agar cuma bisa diakses oleh orang-orang dekat saja. Dalam hal ini sharenting menjadi sesuatu yang ditentang karena secara tak langsung menjadi pintu masuk buat groomer. 

Baca juga: Facebook, Telegram Sarang Predator Seksual, Perempuan dan Anak-anak Makin Rentan

Kedua, tinjau aplikasi, situs, gim daring yang anak gunakan. Bangun percakapan secara jujur dan terbuka dengan anak terkait ini. Namun, jika sulit dan terpaksa, para orang tua bisa membuat akun di mana sang anak beraktivitas di sana. Khususnya di aplikasi gim populer anak, seperti Minecraft atau Roblox, di mana banyak ditemukan tindakan kasar dan unsur kekerasan. Hal ini penting dilakukan, untuk mengeksplorasi jenis aktivitas yang anak lakukan secara daring. Apakah konten yang ia tonton sudah cukup ramah, apakah ada orang asing yang mengajak bercakap-cakap dan berpotensi membahayakan keselamatan anak. 

Ketiga, orang tua perlu mengenal siapa teman anak-anaknya. Penting juga buat orang tua mengingatkan anak batasan-batasan apa saja yang tidak boleh dan boleh dibagi pada temannya.

Keempat, dorong anak untuk berbicara terbuka jika ada hal-hal di jagat maya yang tak membuatnya nyaman. Biarkan topik pembicaraan juga tetap luas, termasuk soal seks atau pendidikan seks. Bahkan terkait pendidikan seks, orang tua justru perlu memulai obrolan itu pertama kali agar anak memahami hak-haknya, fungsi tubuh, organ reproduksi, seks aman, dan sejenisnya.

Kelima, jika diperlukan, buat perangkat lunak pemblokiran. Kita tahu, ada berbagai aplikasi dan perangkat lunak baru yang bisa memblokir, memfilter, dan memantau perilaku daring. Sebagai orang tua, sebelum memutuskan ini, pertimbangkan usia dan kedewasaan anakmu, termasuk ketika ini berhubungan dengan masalah privasi.

Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati 16HAKTP 2022. Magdalene juga membuat tiga series video yang akan tayang secara berkala pada 25 November 2022, 29 November 2022, dan 1 Desember 2022.

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu gender dan kelompok minoritas. Di waktu senggangnya, ia biasa berkebun atau main dengan anjing kesayangan.