Citayam Fashion Week (CFW) tengah hangat dibicarakan di banyak tempat. Semua bermula dari konten TikTok wawancara dengan pasangan remaja yang nongkrong di kawasan Stasiun MRT Dukuh Atas di Jakarta.
Gaya berbicara blak-blakan, cablak, dan penuh jargon dari para remaja ini mengundang tawa penonton. Ditambah gaya fesyen yang unik, mereka sukses jadi pusat perhatian khalayak.
(@aep_008/Instagram)
Remaja berusia belasan tahun ini mayoritas berasal dari daerah penyangga Jakarta seperti Depok, serta Citayam dan Bojonggede di Bogor. Namun, tak sedikit pula yang berasal dari Jakarta seperti Ancol, Tanjung Priok, dan Cakung. Mereka datang ke kawasan Dukuh Atas untuk mencari teman, pacar, atau sekadar menghabiskan waktu.
Fenomena ini bukanlah barang baru di Indonesia.
Beberapa dekade sebelumnya, anak muda Jakarta sempat menguasai kawasan Blok M (Melawai). Pada era ‘80-90an, Blok M adalah tempat 'ngeceng’ anak gaul ibu kota. Aktivitas mereka akrab disebut jalan-jalan sore (JJS). Mereka saling adu gaya fesyen dan unjuk kemampuan menari breakdance.
Di kancah global, berbagai kawasan juga pernah menjadi pusat munculnya subkultur jalanan baru.
Kita ingat Stasiun Harajuku di Tokyo, Jepang, yang jadi pusat gaya Harajuku yang nyentrik – dari gotik sampai punk, dari vintage sampai lolita – yang dipopulerkan anak muda Jepang pada 1964. Bahkan, gaya ini menjadi cikal bakal perkembangan salah satu subkultur terbesar dunia yaitu cosplay.
Berkembangnya tren gaya Harajuku pada waktu itu salah satunya karena kawasan itu dilengkapi dengan distrik perbelanjaan yang menyediakan tren terbaru dari pakaian hingga makanan.
Korea Selatan pun punya ruang temu bagi anak muda Seoul yang trendi nan modis – salah satu yang terkenal adalah Hongdae Street. Seperti di Harajuku, Hongdae menawarkan berbagai tempat berbelanja pakaian, sepatu, dan aksesoris berharga murah. Kafe dan restoran pun bertebaran dengan menu favorit anak muda.
Serupa dengan kisah Blok M, Stasiun Harajuku, dan Hongdae Street, kawasan Sudirman-Dukuh Atas pun telah berevolusi menjadi ruang temu modern bagi remaja dan anak muda pinggiran Jakarta untuk memamerkan identitas mereka di tengah bisingnya ibu kota.
Baca juga: 3 Sisi Lain ‘Citayam Fashion Week’ di Stasiun Sudirman
Bagaimana MRT Dukuh Atas Jadi Magnet Subkultur Baru
Sebelum Stasiun MRT Dukuh Atas dibangun, kawasan ini hanyalah jalan raya tempat lalu lalang para pekerja yang berkantor di Sudirman.
Kini, wajah lama Jakarta sudah berganti dengan paras baru yang modern. Saat Pemerintah DKI Jakarta selesai membangun Taman Dukuh Atas pada 2019, ruang terbuka itu mulai hidup dan menjadi ruang interaksi masyarakat.
Dukuh Atas memang dikembangkan sebagai Transit Oriented Development (TOD), atau sistem transportasi terintegrasi pertama Jakarta yang mempertemukan berbagai transportasi publik seperti MRT Jakarta, TransJakarta, kereta KRL Commuterline, kereta bandara, dan LRT Jabodebek.
Kemudahan akses transportasi dari wilayah sekitar Jakarta seperti Depok dan Bogor, membuat para remaja berduyun-duyun ke ruang publik terbuka tersebut. Selain nyaman untuk nongkrong, harga jajanan kaki lima juga terjangkau kantong. Berbekal Rp20.000 hingga Rp50.000, mereka sudah dapat membeli minuman dan cemilan.
Ketika berkunjung ke Taman Dukuh Atas, saya juga jadi paham mengapa tempat ini menjadi hits di kalangan remaja pinggiran.
Penataan taman yang apik, tempat berjalan kaki yang luas, dan sepinya lalu lintas kendaraan membuat kita betah berlama-lama. Belum lagi latar belakang gedung pencakar langit membuat foto dan video terlihat keren – pemandangan yang mungkin tak kalah dengan kota metropolis di luar negeri.
Lanskap inilah yang belum dimiliki kota-kota penyangga Jakarta sehingga membuat remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok) rela berjejalan untuk menikmati suasana ibu kota.
Kebutuhan untuk membuat konten media sosial pun membuat kawasan seperti Dukuh Atas semakin populer di kalangan remaja.
Berkaca dari riset saya pada 2018, remaja Generasi Z merupakan kelompok yang gencar memakai media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Tingginya kebutuhan untuk membuat konten yang cantik di media sosial membuat semakin banyak remaja yang datang ke sana.
Ada yang memang sekedar ingin tahu, namun tak sedikit pula tertarik membuat konten dan mencari ketenaran. Tidak hanya itu, mereka juga berupaya bertemu dan berfoto dengan para 'remaja selebritas’ CFW yang populer berkat Tiktok seperti Bonge, Jeje, Roy, dan Kurma untuk diunggah di media sosial sebagai bentuk eksistensi diri.
Fenomena CFW memang tak lepas dari upaya kota Jakarta untuk mempercantik diri melalui penciptaan ruang yang ‘Instagrammable’ – seperti taman, trotoar luas, dan jembatan penyeberangan. Selain itu, kemudahan akses transportasi dan kebutuhan membuat konten media sosial menjadi beberapa pencetus utama munculnya CFW.
Ketiga hal inilah yang kemudian menjadi magnet hadirnya subkultur baru di Jakarta.
Baca juga: Siapkah Indonesia Usung ‘Genderless Fashion’?
Membidik Potensi Citayam Fashion Week
Kehadiran CFW memang tak lepas dari kritikan. Sampah berupa tumpahan makanan, minuman, dan puntung rokok di sekitar area Dukuh Atas menimbulkan kesan kotor. Belum lagi, aktivitas duduk bergerombol di pinggir jalan membuat pengunjung lain kesulitan untuk berjalan.
Namun, munculnya CFW, selain melambangkan mulai kembalinya akses ruang publik bagi semua golongan warga, sebenarnya juga memiliki potensi melahirkan gaya fesyen jalanan (street fashion) khas Jakarta Raya.
Gaya tersebut merepresentasikan kelompok pinggiran yang mampu bergaya tanpa menghabiskan banyak biaya. Ditambah lagi, pakaian yang dikenakan pun banyak berasal dari merek lokal.
Untuk melihat potensi CFW, kita dapat berkaca pada proses lahirnya budaya Hip Hop di Amerika Serikat (AS) pada tahun 70-an hingga 80-an, yang dipelopori remaja Afrika-Amerika di kawasan kota New York.
Meskipun awalnya dikritik dan dipandang sebelah mata karena dianggap meresahkan dan mengotori lingkungan, Hip Hop berhasil menjadi gaya arus utama anak muda Amerika lintas kelas. Seni jalanan dengan elemen musik, fesyen, tarian breakdance, dan grafiti ini kemudian naik sebagai kekuatan dominan budaya populer pada era 90-an. Hip Hop berhasil berkembang dari budaya jalanan lokal menjadi industri internasional bernilai miliaran dolar.
Memang, butuh jalan panjang menjadikan CFW sebagai subkultur yang berpengaruh di panggung dunia. Selain itu, sosialisasi berkala untuk menjaga kebersihan dan ketertiban di Dukuh Atas juga perlu dilakukan agar area terhindar dari pelanggaran hukum seperti konsumsi alkohol di bawah umur dan penyalahgunaan narkotika.
Pemerintah juga bisa lebih gencar memfasilitasi kreativitas di berbagai ruang publik modern – dari pertunjukan fesyen hingga live music. Bisa jadi, ini menjadi magnet yang melahirkan berbagai subkultur baru yang melibatkan berbagai golongan sehingga membuat Jakarta semakin berwarna.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments