Women Lead Pendidikan Seks
November 02, 2021

‘Fetish’ terhadap Seragam, Normal atau Tidak, Ya?

Seragam yang dikenakan anak sekolah atau pekerja bisa membangkitkan gairah seksual tersendiri bagi sebagian orang.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
Share:

Beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah akun Instagram yang khusus mengunggah foto laki-laki mengenakan seragam SMP dan SMA. Ternyata, “Ryan” (29), sang pemilik akun yang bekerja sebagai freelancer, memang memiliki fetish—dorongan seksual terhadap objek tertentu baik benda maupun bagian tubuh—terhadap seragam sekolah. 

Ketertarikan khususnya terletak pada kemeja SMP dan SMA yang sudah lama digunakan, dengan kantong OSIS disablon dan memiliki yoke di bagian belakang seragamnya. Koleksi foto yang Ryan miliki dia kumpulkan dari berbagai media sosial.

Dalam wawancara bersama Magdalene pada (29/10), laki-laki yang berdomisili di Cirebon itu berterus terang mengambil foto tanpa izin orang-orang yang bersangkutan. 

“Kebanyakan sih enggak bilang, karena sistemnya saya kumpulin dulu baru upload. Kecuali mereka ada yang tahu dan minta di-tag, ya saya tag ke yang punya foto,” tuturnya.

Selain mengoleksi foto, Ryan juga mengumpulkan seragam sekolah bekas yang kini berjumlah 50 pasang dan disimpan di rumahnya. Biasanya, ia mendapatkannya dari kenalan di media sosial atau membeli di online shop. Di samping seragam sekolah, ia juga memiliki fetish terhadap pakaian dalam bekas, kemeja polos, dan jersey.

Baca Juga: Fetish Bungkus Kain dan Fenomena Pelecehan Seksual Berkedok Riset

Ryan duduk di kelas 1 SMP saat pertama kali merasakan ketertarikan seksual terhadap seragam sekolah. Tiba-tiba, ia bergairah ketika melihat seseorang yang seragam OSIS-nya basah karena berkeringat setelah main futsal atau basket. Hasratnya itu diibaratkan seperti seseorang melihat pasangannya tanpa busana.

“Seragam itu bikin saya sewaktu-waktu ingin masturbasi saat memakainya, atau ejakulasi di atasnya,” akunya. 

Bahkan, ia memiliki area-area favorit pada seragam, seperti bagian ketiak, kerah, kantong, yoke kemeja, dan area logo OSIS. Kemudian, Ryan mengaku jika nafsunya tak bisa terbendung, seragam itu berujung dia robek dan kotori. Meskipun demikian, sejauh ini ia mampu mengontrol hasrat dan emosi dengan baik. 

“Yang penting tahu tempat aja. Padahal ya, kalau lihat segerombol anak sekolah pakai seragam OSIS, atau mereka lagi coret-coret pas kelulusan, pasti bikin sedikit bergairah,” ungkapnya.

Baca Juga: Hati-hati Di Internet dan Pelajari Soal KBGO

Seragam dalam Budaya Populer

Jika menilik budaya populer, selain digunakan sebagai ikon fesyen yang menarik perhatian, seragam juga memiliki konotasi seksual, erotis, sehingga kadang menjadi objek fetish.

Misalnya seragam sekolah dalam serial televisi Elite (2018) dan Meteor Garden (2001) maupun remake-nya pada 2018. Keduanya menampilkan seragam sebagai pakaian modis yang dapat di-mix and match, panjang rok jauh di atas lutut, dan beberapa kancing bagian atas dibiarkan terbuka.

Oleh karena itu, kostum seragam anak sekolah seolah menggambarkan seseorang yang polos terhadap hal-hal bersifat seksual. Pun penulis Katlick School (2006), Sante D’Orazio dan Glenn O'Brien menyatakan, seragam sekolah Katolik sangat menggairahkan, dan ini merupakan fetish yang menarik.

Kemudian, seragam sekolah perempuan di Jepang turut menjadi simbol seks dalam berbagai novel, anime, dan film. Dan hingga saat ini, penggunaannya pun tidak hanya sesuai fungsinya, tetapi juga dijadikan sebagai kostum fetish dan bagian dari tren fesyen.

Tak hanya itu, seragam kepolisian dan pemadam kebakaran pun tak luput dari objek fetish. Dalam konteks ini, profesi seseorang berseragam digambarkan sebagai sosok yang memiliki otoritas dan mengalami perbudakan secara bersamaan, seperti diungkapkan oleh akademisi dari Queensland University of Technology, Australia, Jennifer Craik, dalam bukunya Uniforms exposed: From conformity to transgression (2005).

Namun, terdapat perbedaan antara keduanya. Pada laki-laki, seragam dilihat sebagai hal yang membangkitkan maskulinitas, sedangkan perempuan lebih ke arah seksualitas dan sensualitas.

Sejarawan asal AS, Valerie Steele, menjelaskan awal mula budaya populer memengaruhi seragam. Dalam Fetish: Fashion, Sex & Power (1996), Steele menyebutkan, pada 1970 industri fesyen melakukan seksualisasi terhadap seragam, seperti desainer asal Prancis Thierry Mugler, yang menggunakan seragam berkuda untuk perempuan dan militer.

Sebetulnya, pemaknaan seragam sebagai objek seksual dapat mengancam profesionalitas citra para pekerja, seperti karakter “nakal” yang melekat dalam diri perawat atau pramugari. Pun penelitian yang dilakukan oleh akademisi dari University of New South Wales, Australia, Susan Hardy dan Anthony Corones menyetujui hal tersebut dalam “The Nurse’s Uniform as Ethopoietic Fashion” (2016).

Kini, budaya populer masih memengaruhi penggunaan seragam lewat pakaian yang dikenakan sejumlah musisi pop seperti Britney Spears, Madonna, BTS, dan Seventeen. Atau dalam film dan serial televisi, misalnya Criminal Minds (2005) dan Station 19 (2018).

Baca Juga: ‘Crosshijaber’: Aku Laki-laki, Aku Heteroseksual, dan Aku Berhijab

 

Normalkah Fetish terhadap Seragam?

Menanggapi fetish terhadap seragam, dr. Haekal Anshari, M. Biomed (AAM), Spesialis Seksologi dan Anti-aging menjelaskan, umumnya fetish berkembang saat seseorang memasuki masa pubertas. Biasanya, seseorang yang punya fetish berhasrat terhadap benda mati atau bagian tubuh yang tidak memiliki nilai seksual.

“Sebetulnya semua orang punya fetish, tetapi ada yang wajar, misalnya suami yang bergairah ketika istrinya mengenakan lingerie. Ada juga yang termasuk penyakit,” jelasnya pada Magdalene, (2/11).

Dalam kasus fetish terhadap orang berseragam TNI atau polisi, ia menyampaikan ada kemungkinan seseorang memandang sikap dan postur tubuh si pemakai seragam itu, seperti gagah dan mengayomi. Hal tersebut juga bisa menimbulkan hasrat seksual.

Fetish dikatakan sebuah penyakit atau parafilia apabila seseorang tidak dapat meredam hasratnya. 

“Ada sejumlah faktor yang meningkatkan peluang menjadi fetish penyakit atau parafilia. Misalnya, seseorang punya ketergantungan alkohol, gangguan jiwa, atau depresi,” terangnya.

Menurutnya, ketika seseorang melakukannya secara kompulsif atau berulang dalam enam bulan, bahkan sampai memaksa orang lain untuk mengenakan seragam demi kepuasannya, bisa dikatakan ia tidak dapat mengendalikan fetish-nya tersebut dan membutuhkan pertolongan.

“Kalau seseorang sampai berulang kali membeli atau memegang seragam agar mendapatkan kenikmatan secara seksual, dan ia tidak bisa mengendalikannya, bisa dikatakan itu fetish parafilia,” jelasnya.

Ia pun menuturkan, sesungguhnya seseorang yang mengalami parafilia tidak nyaman dengan perilakunya, tetapi tidak bisa mengubah dan merasa harus memenuhinya terus-menerus. Ketika hal ini terjadi dan sudah mengganggu keseharian seseorang atau merugikan orang lain, dr. Haekal mengatakan seseorang yang bersangkutan perlu menyadari perilakunya tidak lazim, membicarakannya ke orang terdekat, dan berkonsultasi ke psikiater atau psikolog.

“Dalam jangka panjang, fungsi sosialnya akan terganggu karena tidak bisa beradaptasi, mengganggu aktivitasnya, dan membuat orang lain di sekitarnya tidak nyaman. Begitu juga kondisi fisik dan psikisnya,” ucapnya. Lebih dari itu, penyakit ini bisa berujung depresi akibat tidak mampu mengendalikan keinginannya.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.