Film horor The Conjuring 2 yang beberapa bulan lalu meramaikan layar perak dunia disebut sejumlah kritikus film sebagai salah satu film paling seram tahun ini, sampai mendapat rating R atau dewasa meskipun sama sekali tidak mengandung adegan seks maupun kekerasan.
Salah satu aspek yang membuat The Conjuring 2 dianggap sangat menakutkan tentu saja adalah kehadiran Valak, iblis berkedok biarawati yang menghantui pikiran Lorraine dan mengusik kehidupan keluarga Hodgson.
Valak digambarkan tak jauh berbeda dengan perempuan-perempuan penebar teror yang hadir dalam film, buku, dan produk-produk budaya pop lainnya. Memang, kisah-kisah tentang hantu berwujud perempuan bukanlah fenomena baru. Mulai dari Siti Ariah alias Si Manis Jembatan Ancol, legenda hantu cermin Bloody Mary, hingga Sadako dan kemunculannya yang ikonik dalam film The Ring, kehadiran mereka dalam sejarah dan budaya pop kontemporer sarat dengan persepsi dan stereotip yang tak banyak berubah sejak bertahun-tahun lalu.
Si Manis Jembatan Ancol, misalnya, diceritakan sebagai arwah dari seorang gadis bernama Siti Ariah yang melarikan diri dan kemudian dibunuh karena menolak untuk diperistri seorang saudagar kaya. Jenazahnya kemudian dibuang di area persawahan sekitar 400 meter dari Jembatan Ancol. Berangkat dari kisah tersebut, di sekitar Sunter dan Ancol sering terjadi penampakan gadis cantik yang diyakini sebagai hantu Siti Ariah.
Nasib Sundel Bolong juga tak jauh beda. Dalam filmnya yang diperankan oleh Suzanna, Sundel Bolong merupakan penjelmaan dari seorang mantan pekerja seks komersial yang diperkosa dan bunuh diri. Arwahnya kemudian gentayangan untuk membalaskan dendam pada orang-orang yang telah menyakitinya.
Sosok hantu yang muncul di film-film horor Asia lainnya seperti The Ring dan The Grudge juga merupakan manifestasi dari perempuan yang telah dicemooh, dilecehkan, dan dianiaya bahkan hingga kematian mereka.
Jika saja kita dapat melihat di balik gaun putih dan rambut hitam panjang yang menutupi wajah mereka, hantu-hantu ini bukan saja karakter yang menimbulkan simpati bagi penontonnya, tetapi juga merupakan sosok perempuan yang memberontak melawan batasan-batasan sosial selama hidupnya.
Dalam hal ini, kisah-kisah horor merupakan bentuk narasi pra-feminisme dari perempuan-perempuan yang mampu menumbangkan asumsi dan peran tradisional mereka sebagai istri, ibu, dan anak yang patuh dengan melampiaskan tekanan dan kemarahan yang dipendam seumur hidupnya, bahkan jika hal tersebut harus dibayar dengan kematian tragis. Kehadirannya adalah simbol dari ketakutan atas kekuatan yang mampu dimiliki oleh perempuan, jika saja tidak dibatasi oleh beragam aturan dan tradisi yang cenderung merugikan mereka.
Seperti yang telah disebutkan oleh Barbara Creed dalam The Monstrous Feminine, seluruh kebudayaan memiliki bentuk perempuan yang menyerupai monster. Bentuk monster tersebut berbeda di masing-masing masyarakat, namun semuanya merepresentasikan hal-hal alamiah yang dimiliki perempuan sebagai “abjek”, yaitu sesuatu yang mengganggu identitas, sistem, tatanan, serta menyalahi batas dan posisi.
Secara historis, representasi perempuan sebagai monster ini digunakan untuk menjustifikasi pembatasan terhadap perempuan, dengan cara menunjukkan bahwa jika perempuan tidak berlaku sebagaimana peran yang ditetapkan untuknya, ia akan berubah menjadi monster, atau sesuatu yang ganjil dan menakutkan.
Keganjilan atau monstrositas tersebut muncul ketika seseorang gagal untuk memahami suatu hal (baik melalui bahasa maupun bentuk rasionalisasi lain). Ketika makna tak dapat dicapai, muncullah monstrositas tersebut. Hal-hal yang tidak dapat dipahami kemudian harus didemonstrasikan—istilah yang secara etimologis berasal dari istilah Latin monstrum yang berarti keanehan dan kemudian berubah bentuk menjadi monstrare yang berarti menunjukkan atau memperlihatkan. Dengan begitu, film horor merupakan salah satu upaya untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan hanya bisa ditampilkan.
Meskipun demikian, horor selalu menjadi genre yang menantang batas dan terus menerus mempertanyakan status quo. Horor menyinggung subyek-subyek yang selama ini dianggap tabu, membahas tema-tema sensitif dengan lepas dan lantang.
Dalam masyarakat dimana tubuh perempuan dianggap sebagai sesuatu yang “kotor”, sesuatu yang hanya bisa dibicarakan lewat bisik-bisik dan harus dirahasiakan, horor mampu menguak tabir itu dan mengupas hal-hal seperti pemerkosaan, menstruasi, serta sisi gelap dari kehamilan, melahirkan, dan menjadi seorang ibu melalui metafora monster tersebut.
Perempuan-perempuan dengan keinginannya untuk memberontak yang bahkan tidak dapat dihalangi oleh kematian telah menempati tempat spesial sebagai sosok hantu dalam budaya populer kontemporer. Namun menarik untuk mempertanyakan bagaimana hantu-hantu ini akan ditampilkan di sebuah dunia yang lebih egaliter, yang tidak melihat perempuan sekedar berdasarkan penampilan mereka, kemampuan mereka untuk melahirkan dan membesarkan anak, serta hubungan mereka dengan orang lain.
Lebih dari separuh penduduk dunia adalah perempuan, dan cerita kami juga pantas dan perlu untuk didengar. Kami memiliki pengalaman dan kekhawatiran yang bisa jadi tidak akan pernah sepenuhnya dipahami. Hidup sebagai seorang perempuan adalah hidup dalam sebuah film horor, yang menjadi katarsis dari ketakutan-ketakutan yang selama ini terpendam.
Zara Zahrina adalah mahasiswi Universitas Airlangga jurusan ilmu komunikasi. Zara telah menulis mengenai musik keras yang marah di http://subofasia.com dan tata rias di http://skeletale.blogspot.com.
Comments