Tanggal 17 Agustus 1947, di bagian selatan benua Asia, Sir Cyril Radcliffe membangun perbatasan antara dua daerah yang sekarang kita kenal sebagai Pakistan dan India. Ketika itu, Sir Cyril Radcliffe melakukannya untuk memisahkan kekuasaan di kedua daerah tersebut. Kejadian itu memunculkan makna bahwa pembatasan berarti kemerdekaan bagi Pakistan dan India untuk mengelola daerah baru mereka.
Radcliffe mungkin tak membuat garis perbatasan berdasarkan jenis kelamin, tapi berdasarkan kepercayaan atau agama. Pasalnya ketika itu, terjadi huru-hara di daerah Pakistan dan India melibatkan dua kelompok agama besar: Islam dan Hindu. Delhi, Amritsar, dan Lahore oleh Radcliffe diubah menjadi arena gulat antara dua kelompok. Pergulatan tersebut melibatkan adegan-adegan menyeramkan seperti pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, pembakaran, penghancuran, dan sebagainya.
Pada saat perhatian orang-orang tersedot ke isu pertikaian antar-agama masyarakat Pakistan dan India, film Begum Jann (2017) yang disutradarai Srijit Mukherji muncul dan mencoba menggambarkan situasi kala itu dari sudut pandang lain. Bukan soal pembatasan terkait agama Hindu dan Islam, melainkan soal pembatasan perempuan.
Baca juga: ‘Bandit Queen’ Kebangkitan Perempuan Penyintas Kekerasan
Film produksi India ini berkisah tentang pembatasan India-Pakistan melalui Radcliffe Line yang berimbas pada penggusuran rumah bordil milik perempuan bernama Begum Jaan (Vidya Balan). Ketika pihak-pihak berkepentingan seperti dari Muslim League dan Indian National Congress terus mendesak Begum Jaan untuk segera mengevakuasi rumah bordilnya, perempuan tersebut bersama pekerja seks di sana menolak untuk hengkang. Di situlah konflik demi konflik terjadi sampai berujung pada tragedi kematian orang-orang yang membela keberadaan rumah bordil tersebut.
Pada adegan awal film, digambarkan perempuan mendapat kekerasan seksual dari beberapa pria di bus saat malam hari. Ia tidak hanya disentuh, tetapi juga dipukuli dan mendapat tindakan kekerasan seksual lainnya.
Adegan itu memperlihatkan realitas bahwa perempuan perlu dibatasi waktu aktivitasnya. Malam bukan waktu yang ramah bagi perempuan sehingga bila ia mau bebas dari rasa tidak aman, ia harus menuruti pembatasan waktu aktivitas. Realitas macam ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Radcliffe bahwa tindakan membatasi ialah benar untuk “kemerdekaan”.
Drama Sejarah Kemerdekaan India
Sepertinya, pandangan Radcliffe mengenai “membangun perbatasan untuk kemerdekaan” juga disepakati oleh beberapa laki-laki. Kakek, ayah, kekasih, paman, dan kakak adalah beberapa orang yang mungkin menyepakati ujaran Radcliffe itu.
Kita bisa melihat kondisi serupa dalam novelet Midah (2003) yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Ayah Midah berpikir layaknya Radcliffe dengan membatasi putrinya untuk bernyanyi keroncong adalah bentuk kemerdekaan yang seharusnya Midah rasakan. Keroncong ketika itu dimaknai sebagai musik kotor, seks bebas, juga kenegatifan lainnya, sehingga pembatasan yang dilakukan sang Ayah dianggapnya sebagai upaya membebaskan Midah dari pergaulan buruk dengan para lelaki yang menggeluti musik sama.
Tindakan membatasi yang justru dikatakan baik karena individu tidak akan menerima hal buruk hanya terlihat dalam persepsi si pembuat perbatasan. Dalam keseharian, ini dapat terwujud misalnya dari peraturan negara, norma sosial budaya, atau larangan dari orang-orang terdekat.
Persepsi ini coba diruntuhkan oleh Begum Jaan. Ia menolak cara pandang yang menyiratkan mengenai pembatasan merupakan kemerdekaan untuk perempuan.
Baca juga: 4 Film India Kontroversial yang Angkat Isu Agama dan Perempuan
Film India Soal Perlawanan Berbuah kesedihan
Dalam adegan lain di Begum Jaan, penyangkalan dan perlawanan terhadap sikap yang ingin membatasi tindakan selalu dihadirkan. Misalnya ketika terjadi konflik yang dipicu saat Radcliffe Line atau garis pembatas buatan Radcliffe memotong rumah bordil Begum Jaan.
Pembatasan yang terjadi dalam adegan sengketa rumah bordil di Begum Jaan tidak hanya pembatasan secara kasat mata. Jika menilik lebih dalam, kita bisa menemukan pesan bahwa pembatasan juga terjadi dalam konteks moralitas seseorang.
Dengan membuat pembatasan yang memaksa para perempuan di rumah bordil tersebut minggat, pembuat batasan seolah punya tujuan mulia: Memerdekakan mereka dari sifilis, laki-laki pemburu seks, dan keburukan lainnya.
Dalam film, tersirat pesan bahwa perlawanan bukan berarti kesejahteraan. Perlawanan justru bermakna sedih, sengsara, malang, suram, nelangsa bagi perempuan. Sejak perempuan mengatakan kalimat perlawanan, sejak itu pula ia akan menerima air mata dan luka. Ini ditegaskan ketika Begum Jaan menolak mengikuti instruksi pihak berwenang untuk mengosongkan rumah bordil miliknya. Saat itu, ia menerima kesedihan berbentuk kiriman daging oleh penduduk, yang berasal dari anjing peliharaan Begum.
Nasib sama dapat terlihat pula dari kisah Midah. Perlawanan atas perintah ayahnya yang menentang Midah untuk bergabung ke dalam orkes keroncong berujung pada kemalangannya: Diperkosa oleh kawan satu orkesnya.
Melalui contoh dari Begum Jaan dan cerita Midah ini, kita dapat menangkap bahwa realitas di dunia ini tak ramah terhadap perempuan, bahkan kadang sampai membikin sengsara.
Dalam Begum Jaan, kebebasan yang sebenarnya baru datang saat roh dan raga tokoh-tokoh seperti Begum, Amba, Rani, Rubina, dan Lata berpisah. Hanya dalam kematian mereka tidak lagi terkekang oleh berbagai pembatasan.
Realitas tak kunjung membaik. Ironis, pada saat kemerdekaan India dan Pakistan tercapai, penjajahan terus terjadi pada kaum perempuan.
Comments