Krisis virus Corona (COVID-19) yang telah dinyatakan sebagai pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) berimbas tidak hanya pada kesehatan, juga situasi finansial, salah satunya bagi pekerja lepas yang tidak memiliki penghasilan bulanan.
Fotografer Adrian Mulya, misalnya, yang menyambung hidup dari satu proyek ke proyek lain mulai ketar ketir memikirkan masa depan keluarganya. Beberapa acara yang tiap tahunnya ia garap tidak digelar tahun ini, dan proyek bersama sejumlah lembaga nonprofit juga dibatalkan.
“Gue harusnya akhir Maret ini ke Masamba, Sulawesi Selatan. Ini proyek tahunan dari salah satu NGO, tapi acaranya dibatalin. Mungkin ke depannya enggak akan ada juga,” ujar penulis buku Pemenang Kehidupan itu kepada Magdalene (17/3).
Adrian, 45, yang sudah menjadi pekerja lepas atau freelancer sejak 2011 itu paham betul dengan risiko memiliki penghasilan tidak tetap. Ia selama ini menyiasatinya dengan menyewakan apartemen milikinya lewat aplikasi AirBnB. Tapi di tengah kebijakan pembatasan sosial dan larangan bepergian di banyak negara, apartemennya pun sepi penyewa. Ia pun juga waswas menerima penyewa dari mancanegara yang bisa saja berpotensi membawa virus.
“Tapi ya mau gimana lagi, gue juga harus proteksi diri kalau ketemu penyewa,” ujarnya.
Hilangnya penghasilan karena banyak acara dibatalkan sangat memukul komunitas seniman, seperti Aliansyah Caniago yang bergerak dalam seni pertunjukan. Undangan program residen yang sedianya dilaksanakan di Tazmania, Australia, juga terancam ditunda.
“Di komunitas seniman sih yang paling terasa pameran-pameran yang ditunda. Kalau enggak ada pameran jadinya enggak ada yang lihat dan otomatis pembeli pun enggak ada,” ujar Aliansyah, 33.
Hilangnya penghasilan menjadi tantangan besar, apalagi Aliansyah memiliki anak yang berusia satu tahun. Untungnya, sang istri Raisa Kamila, masih bisa mempertahankan pekerjaannya sebagai peneliti yang pekerjaannya bisa dikerjakan di rumah, serta tidak memerlukan interaksi sosial ataupun kerumunan.
Baca juga: Kerja dari Rumah Saat Krisis Corona: Sistem Susah-susah Gampang
“Sejak awal tahun 2020 memang Alin belum dapet project lagi. Biasanya kalau sudah begitu kita mencari koneksi dengan orang-orang yang sudah kita kenal. Jaringan yang kita punya dikontak terus, ada kerjaan lagi enggak nih,” ujar Raisa.
Pekerjaan lepas lainnya yang terpengaruh krisis virus COVID-19 ini termasuk penerjemah, seperti yang dirasakan Yulia Fitri Utami. Sejumlah konferensi internasional yang memerlukan penerjemah seperti dirinya urung digelar.
“Minggu lalu masih ada konferensi, masih bekerja sebagai interpreter. Untuk yang mendatang katanya dijadwalkan ulang karena ada imbauan untuk tidak konferensi dulu,” ujar Yulia.
Menyiasati keuangan
Para pekerja lepas yang bergantung pada proyek dua kali lebih rentan dalam krisis Corona ini karena harus mencari jalan untuk bertahan hidup di tengah banyaknya pembatalan.
Certified Financial Planner Metta Anggraini mengatakan, krisis Corona secara umum berdampak pada tiga aspek sekaligus. Pertama, dampak psikologis seperti kepanikan dan ketakutan. Kedua, dampak fisik yang membuat tubuh menjadi rentan tertular apalagi saat bekerja. Ketiga, dan yang paling krusial, adalah dampak keuangan seperti adanya biaya tidak terduga untuk membeli produk sanitasi atau alat bantu proteksi diri. Kemudian dampak keuangan yang paling dikhawatirkan adalah kekurangan atau kehilangan pendapatan, terutama bagi freelancer.
“Untuk orang yang terima gaji bulanan mungkin akan biasa aja, tapi kalau pekerja harian lepas dan banyak projek yang dibatalin, otomatis mereka harus bekerja lebih keras untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dari dampak krisis pandemik ini,” ujar Metta.
Menurutnya, hal utama yang paling harus diperhatikan adalah pengeluaran. Perlu ada perhitungan terperinci mengenai jumlah penghasilan serta pengeluaran setiap bulannya.
Baca juga: 5 Pekerjaan Paling Rentan Selama Krisis Corona
Bagi pasangan Aliansyah dan Raisa, pengaturan pengeluaran di tengah krisis Corona dimulai dengan mengubah gaya hidup, seperti mengurangi membeli makanan dari luar dan memilih berbelanja bahan makanan di pasar untuk dimasak di rumah.
“Misalnya, dulu biasa beli kopi susu di luar sekarang bikin di rumah aja. Biasanya dulu belanja suka ke Ranch Market yang organik-organik, kalau sekarang ya sudah ke pasar aja,” ujar Raisa.
Mengganti gaya hidup menjadi minimalis, dan mengurangi hal-hal yang tidak penting menurut Metta menjadi kunci utama dalam menghadapi krisis. Biaya hiburan juga bisa dipangkas karena kebijakan pembatasan sosial.
“Kalau kita merasa perlu udara segar karena mumet kerja terus ya jalan-jalan di depan kompleks aja. Cari hiburan yang murah dan minim resiko. Gaya hidup minimalis tapi tetep sehat,” ujar Metta.
Jika berkaca Cina, krisis akibat COVID-19 ini mengalami puncaknya sekitar 60-80 hari atau sekitar tiga bulan. Artinya jika di Indonesia kasus pertama terdeteksi tanggal 2 Maret, paling tidak kita harus mempersiapkan keuangan hingga bulan Mei.
“Selama tiga bulan ke depan, kita sudah harus sangat berhati-hati mengatur pengeluaran yang harusnya semuanya serba basic aja. Sisa uang dari penghasilan bisa ditabung untuk bekal sampai krisis Corona meredam. Sebagai freelancer sudah jadi hal yang wajib punya tabungan darurat,” tambahnya.
Selain itu, Metta menyarankan untuk melihat peluang untuk mendapatkan penghasilan alternatif meski di tengah krisis ini.
“Usaha makanan dan logistik menjadi dua bidang yang nantinya akan sangat dibutuhkan selama masa karantina,” ujarnya.
Comments