Minggu lalu, Twitter dihebohkan dengan pernyataan kontroversial komedian Kiwil yang terekam dalam video wawancara bareng Feni Rose. Saat berbicara tentang pernikahan dengan para istrinya (yes, dia poligami, Saudara-saudari sekalian), eks presenter Silet itu bertanya alasan Kiwil memutuskan untuk berpoligami.
Kiwil bilang, ia berpoligami karena enggak puas dengan perempuan yang sudah ia nikahi. Ketidakpuasannya ini dia coba analogikan dengan menempatkan perempuan sebagai mobil.
"Mobil… mau enggak dikasih mobil satu? Ah, bullshit ah, besok punya mobil ini, mau usaha ini," kata Kiwil menggambarkan manusia yang pada hakikatnya enggak pernah puas.
Publik pun geram, Kiwil sudah pasti jadi bulan-bulanan. Kalau saya diundang di acara itu, muka saya pasti sudah merah padam macam Feni Rose, begitu mendengar alasan kurang ajar Kiwil. Habis gimana, susah payah Bapak Ibu kita melahirkan, membesarkan, mendidik, membuat kita tetap hidup, eh setelah dewasa, seenak jidat lelaki menganalogikan kita dengan benda mati. Apalagi analogi itu digunakan untuk menjustifikasi perilakunya memadu perempuan.
Baca Juga: Berpakaian Tertutup atau Terbuka, Perempuan Bukan Obyek
Mulai dari Makanan sampai Virus
Sebenarnya di dunia nyata yang pahit ini, enggak cuma Kiwil yang punya pandangan merendahkan terhadap perempuan. Ada sederet figur publik yang juga menganalogikan perempuan sebagai benda mati, bahkan virus mematikan. Saya coba beri beberapa contohnya ya, biar kita tahu seberapa buruknya pandangan sejumlah laki-laki ini.
Pertama, kalian ingat enggak saat awal-awal pandemi 2020, yang terhormat Bapak Mohammad Mahfud M.D., Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menganalogikan virus Corona sebagai istri yang tak bisa ditaklukkan oleh laki-laki. Menurut keterangannya, sih, ia terinspirasi dari meme yang dikirimkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan kepadanya. “Corona is like your wife. In easily you try to control it, then you realize that you can't. Then, you learn to live with it.”
Saya tahu Pak Mahfud relatif rajin mengeluarkan pernyataan-pernyataan ajaib, dari restorative justice yang enggak ada justice-justice-nya buat korban pemerkosaan hingga komentar sinetron “Ikatan Cinta” saat negeri tengah genting mengurus pandemi. Masa iya harus ditambah dengan komentar yang tak hanya menunjukkan ketidakbecusan pemerintah memitigasi pandemi, tapi juga menunjukkan betapa seksis dan misoginisnya pejabat tersebut.
Selain Mahfud, analogi perempuan dengan benda mati juga terlontar dari ulama kondang Aa Gym. Dalam sebuah rekaman yang diunggah akun Instagram @mak_inpoh pada Juni lalu, Aa Gym dengan “jenakanya” berbicara soal Teh Ninih, "Ini adalah istri yang sudah 19 tahun mendampingi saya. Sudah tujuh kali turun mesin, hehe."
Kalimat ini dia ucapkan lantaran ia gerah sama hujatan orang-orang yang bilang kalau dia tuh sebenernya enggak cinta sama Teh Ninih dan sengaja mempermainkan perasaan si Teteh. Ya saya, sih sebenarnya paham kalau dia gerah sama hujatan warganet, tapi ya penyampaiannya itu lho. Kok bisa-bisanya ya, istri sendiri disamain sama mesin? Maksudnya, jika mobil itu sudah jadi koleksi antik, lalu ditambah koleksinya atau bisa dijual dan ditukar dengan mobil jenis baru gitu?
Baca Juga: Nur Rofiah: Pernikahan yang Patriarkal adalah Konsep ‘Jahiliyah’
Analogi perempuan dengan benda mati juga paling rajin disampaikan tokoh agama yang lebih banyak merendahkan perempuan, sehingga diprotes kalangan peminis di media sosial. Adalah Felix Siauw, yang pada 2018 sengaja membuat video berisi klasifikasi perempuan menjadi dua tipe: Perempuan pisang goreng dan lapis legit.
Menurut beliau yang ilmu agamanya tinggi, nih, perempuan tipe pisang goreng itu adalah sosok yang enggak bisa menjaga dan menghargai dirinya sendiri. Buktinya, sudah enggak pakai jilbab, buka-bukaan aurat, eh masih enggak punya harga diri karena bisa sepuasnya dipegang-pegang dan dimiliki orang. Nah, kalau tipe perempuan lapis legit, disebutnya punya harga diri tinggi dan menjunjung martabat. Pasalnya, mereka bisa menjaga dirinya sendiri, bisa memantaskan diri mereka pada laki-laki, limited editon, dan harganya tentu lebih mahal.
Bayangkan saja, kamu sebagai perempuan dianalogikan sebagai makanan. Benda mati yang bisa dikonsumsi orang sesuka hati asal mereka punya duit untuk membelinya Parahnya, kalau enggak suka, bisa segampang itu dibuang, dilepeh begitu saja. Sungguh revolusioner, Pak Ustaz!
Kenapa Laki-Laki Suka Menganalogikan Perempuan?
Kalau melihat analogi-analogi para laki-laki ini, kalian mungkin bertanya-tanya, “Sebenarnya ada apa sih dengan mereka?”
Saya juga kadang masih suka bingung kenapa analogi macam tadi terus langgeng di ruang-ruang percakapan kita. Namun, menurut analisis saya, itu enggak lepas dari dua kombo maut, yaitu seksisme dan misogini. Laki-laki macem gini selalu melihat dirinya punya posisi yang lebih terhormat dan superior daripada perempuan. Kalau kata anak zaman now, “Elu sama gue enggak level!”
Karena itu, enggak heran bila akhirnya perempuan ditempatkan di bawah mereka atau dilabeli seenak jidat layaknya objek. Di hadapan para laki-laki, perempuan enggak punya nalar sehebat mereka, apalagi kemampuan untuk menetapkan jalan hidupnya sendiri. Wong perempuan aja (dianggap) hidup buat mereka, doang.
Baca Juga: Akun-akun Mahasiswi Cantik Raup Untung dari Objektifikasi Perempuan
Udah lama banget pemikiran begini menempel di benak banyak laki-laki. Saya dan perempuan lain sering kali cuma dilihat “berguna” karena kami punya alat reproduksi, that’s all. Selebihnya, kami punya laki-laki dan berada dalam kuasa mereka. Makanya, banyak laki-laki suka banget ngedikte perempuan, mulai dari urusan pakaian sampai pergaulan. Tubuh, tubuh kami, tapi kenapa mereka yang repot mengurus printilan-printilannya. Kenapa enggak coba mengurus nalar dan tytyd para lelaki pemerkosa, biar perempuan bisa hidup tenang?
Di titik ini, saya mau bilang pada sesama perempuan, sudah saatnya kita melawan laki-laki seksis misoginis macam ini. Sudah cukup kita mendengarkan kalimat-kalimat merendahkan seperti ini. Sebab sekali lagi, kita bukan objek mati. Baik perempuan atau laki-laki, kita semua setara, sederajat. Perempuan punya nalar yang sama briliannya dengan laki-laki dan perempuan juga punya hak dan kemampuan untuk menentukan pilihannya. Perempuan bukan sosok yang semestinya ada dalam kuasa laki-laki, yang menunggu untuk ditaklukan, atau dipilihkan jalan hidupnya.
Comments