Mungkin banyak yang benci, tapi impresi yang bilang KKN di Desa Penari terasa seperti film/ sinetron azab, rasanya tak berlebihan. Formulanya sama. Bisa dikupas secara objektif jika melihat pesan moral: “Jangan berbuat yang tidak-tidak di rumah orang lain”, atau “jangan melanggar aturan”, atau “jangan berzina” dalam filmnya. Apalagi jika memperhatikan bagaimana elemen agama dan “yang gaib” hadir dalam jahitan plotnya.
Plot “melanggar aturan (agama)” di sinetron-sinetron azab televisi biasanya dipotret sebagai perilaku jahat yang akan dapat ganjaran. Ganjaran itu berbentuk cara mati yang tak wajar—elemen lain yang juga hadir di KKN di Desa Penari.
Pesan-pesan tentang kematian atau penguburan aneh dan mengerikan selalu muncul di ujung cerita sinetron-sinetron azab yang mulai populer sejak 2004. Muzayin Nazaruddin dalam penelitiannya Menonton Sinetron Religius, Menonton Islam Indonesia menyebut sistem rating jadi alasan utama kenapa genre ini terus diproduksi.
“Beberapa judul sinetron religius ini sangat populer dan menempati sepuluh acara dengan rating tertinggi,” tulis Muzayin. Kepopuleran itu cukup stabil selama bertahun-tahun.
Setidaknya, sampai 2015, berdasarkan data Nielsen tahun itu, sinteron-sinetron azab: Masih punya rating tertinggi, ditempatkan di jam-jam prime time, bahkan penonton di 11 kota di Indonesia menghabiskan 20 persen waktu menontonnya untuk program tersebut.
Ketertarikan penonton televisi—yang aksesnya relatif lebih mudah dan murah—pada plot cerita sinetron azab, sebetulnya bisa dilacak juga pada penonton bioskop kita—yang juga biasa dikenal sebagai demografi “pengunjung mal”.
Dalam Jejak Film Horor Nusantara, Viriya Singgih mencatat sejumlah momen ketika film horor jadi kesayangan penonton Indonesia. Bahkan, di beberapa momentum jadi penanda kembalinya penonton ke bioskop—sebagaimana KKN di Desa Penari kini dirayakan media karena pencapaiannya sebagai film terlaris sepanjang masa di Indonesia, sekaligus kebangkitan bioskop Indonesia setelah dibantai pandemi COVID-19.
Fenomena serupa juga pernah terjadi pada Jelangkung (2001), karya Jose Purnomo. Film —yang bercerita tentang empat sekawan asal Jakarta melakukan wisata horor ke desa Angkerbatu—ini dipotret media pasca-reformasi sebagai titik balik film horor Indonesia, terutama karena berhasil menggaet lebih dari 1,5 juta penonton. Ia, bersama-sama Petualangan Sherina (2000), didapuk jadi penanda sehatnya pasar penonton film Indonesia.
Pada awal sejarah film Indonesia, Tengkorak Hidoep (1941) karya Tan Tjoei Hock juga jadi salah satu film paling laku di rentang 1940-1941, sebelum industri film Indonesia terpaksa tiarap karena pendudukan Jepang, 1942.
Pada 1971, fenomena serupa kembali terjadi pada Lisa karya M Syarieffudin dan Beranak dalam Kubur karya Awaludin dan Ali Shahab. Masih dalam catatan Viriya, jumlah penonton yang membludak membuka jalan bagi kemunculan berbagai film horor lainnya. Rentang 1972-1980, ada 22 judul film horor diproduksi. Selang satu dekade, angkanya melonjak hampir empat kali lipat.
“Bisa dikatakan, ini adalah kejadian berulang dari zaman penjajahan Belanda, Orde Baru, hingga reformasi. Saat satu film horor meledak di pasaran, ia membuka sebuah ceruk di pasar dan jadi pilihan lain bagi kebutuhan masyarakat akan hiburan. Segera, film horor pun jadi komoditas kapitalis yang terus ditingkatkan produksinya,” tulis Viriya.
Para pembuat film Indonesia, terutama mereka yang duduk di bangku-bangku eksekutif: Macam produser, sutradara, ataupun sutradara cum penulis, dan para pemilik rumah produksi besar, tampaknya memang percaya bahwa membuat film adalah tentang merawat pasar. Jumlah penonton, terutama setelah reformasi, dijadikan indikator pencapaian kesuksesan sebuah film. Bahkan di titik tertentu, jadi patokan apakah sebuah genre akan diproduksi lebih banyak atau tidak.
Jumlah penonton juga jadi strategi promosi agar rumah produksi dipercaya investor. Dalam wawancara ekslusif 2019 lalu, Mira Lesmana bilang pada saya, “Sebelumnya cara begini tabu banget. Pada enggak mau ketahuan lah angka penontonnya berapa di hari pertama, tapi saya buka aja. Waktu itu AADC2 dapat 200 ribuan,” kata Mira, percaya diri.
Hitung-hitungan transparan dari para produser ternyata dapat sambutan baik. Sejak 2016, orang-orang yang punya duit mulai melirik industri film lebih dalam lagi, salah satunya berkat kebijakan pemerintah Indonesia yang membuka peluang investasi dalam sektor ekonomi kreatif.
Secara tak langsung kebijakan itu membuat angka produksi film terus bertambah, yang menurut Mira, mau tak mau juga bikin kualitas film ikut terkerek. Sebelumnya, para produser memang sadar bahwa kisah cinta anak SMA dan horor adalah dua genre primadona di pasar Indonesia.
Tiket KKN di Desa Penari yang laris manis bisa dibaca lewat sejarah film horor nusantara yang memang dicintai penontonnya dari generasi ke generasi. Sekaligus dari cara pasar dan para pembuat film saling memengaruhi selera pasar, membuat film-film horor terutama yang diadaptasi dari wahana lain punya potensi laris.
Namun, daripada menjawab faktor apa saja yang menarik orang-orang ke bioskop untuk menonton KKN di Desa Penari, tulisan ini lebih tertarik untuk membaca: apa makna di balik pencapaian stempel laku keras yang diperolehnya.
Baca juga: Tiga Jam Uji Nyali di Gedung CC PKI (Bagian I)
Genre Horor Desa dan Hantu ala Orde Baru
Mustahil membaca apa dampak makna ketenaran KKN di Desa Penari tanpa membongkar elemen-elemen yang ada di dalamnya. Kritik film memungkinan pembacaan itu lewat narasi dan kode-kode sinematik dalam film, yang kemudian dimaknai dengan bantuan konteks dan sejarah serta situasi sosial-budaya.
Kritik yang paling ramai muncul setelah film ini tayang adalah diskursus tentang potret desa-kota di dalamnya. Respons itu tak mengejutkan, mengingat kata ‘desa’ jelas-jelas tertera dalam judulnya. Plot orang kota (dalam hal ini mahasiswa-mahasiswa dari universitas di kota) mengunjungi, bahkan (sok tahu) mencoba menyelesaikan permasalahan di desa juga gamblang jadi penggerak cerita utama.
Tak heran jika desa, sebagai tempat horor terjadi, jadi konten film yang menggugah percakapan.
Sudah banyak yang membaca “pelanggengan” citra misterius desa lewat pandangan orang kota dalam KKN di Desa Penari. “Film KKN di Desa Penari secara konsisten mengukuhkan gambaran soal kemisteriusan desa ini,” tulis Dwiki Aprinaldi di Jawa Pos.
Film ini, menurutnya, memasukkan formula seperti “ajaran Islam yang dijadikan antitesis kemerosotan moral” dan “warga desa yang direkam tidak ramah”.
“Dengan cara-cara seperti ini, desa semakin terpisah saat penonton dijauhkan darinya; ia punya penghuni dan cara hidup yang bisa jadi berbeda memang, namun pengasinganlah yang menciptakan keganjilan dan kengerian dalam penggambaran serta pemahaman tentangnya,” tambah Dwiki.
Sepakat dengan Dwiki, saya menemukan unsur-unsur kentara dalam KKN di Desa Penari yang juga menonjol dalam produksi film-film horor Indonesia era Orde Baru. Terutama setelah 1981, ketika Soeharto lewat Badan Sensor Film (BSF) mengeluarkan Kode Etik Produksi Film Nasional. Di dalamnya, negara mewajibkan film-film nasional untuk menjaga moral dan menjunjung nilai-nilai kesatuan nasional.
Menurut catatan Viriya, aturan itu berimbas pada para tokoh agama yang kerap muncul dalam film horor sebagai solusi masalah gaib yang ada.
Ustaz-ustaz ini tak jarang hadir sebagai deus ex machina, istilah dalam film untuk merujuk serangkaian plot dengan masalah yang tampaknya tak terpecahkan tiba-tiba diselesaikan intervensi pihak yang tak terduga. Biasanya, juga akan membawa ke ujung cerita yang bahagia.
Contohnya bisa ditonton dalam Pengabdi Setan (Sisworo Gautama Putra, 1980) atau Ratu Ilmu Hitam (Imam Tantowi, 1981). Film-film horor serupa kemudian muncul sampai rentang 1990-an.
Elemen ustaz sebagai deus ex machina kembali hadir sebentar di ujung KKN di Desa Penari. Ia berfungsi sebagai penjelas sekaligus penegas pada karakter Nur (Tissa Biani), tentang arwah nenek buyut yang menjaganya. Si ustaz memang tidak terlibat dalam proses pertarungan dengan jin Badarawuhi, tapi tampaknya sengaja dihadirkan, meski sebentar, sebagai penerang plot “kekuatan gaib” Nur.
Dalam genre horor, ada istilah folk horror atau horor desa/kampung yang dikenal sebagai salah satu subgenre-nya. Di Hollywood, tempat produksi dan ekonomi perfilman terbesar di dunia, istilah ini dikenal pada 1970. Namun, terma ini baru tenar setelah 2010, saat digunakan dalam dokumenter BBC, berjudul A History of Horror.
Standar folk horror adalah memilih kelompok yang jauh dari hidup mainstream (baca: perkotaan) sebagai pusat cerita. Biasanya, “folk” yang dipilih punya karakter: tidak modern, percaya takhayul, dan punya situasi ekonomi-sosial-politik yang dipandang stagnan oleh orang urban, alias orang kota.
Contoh-contoh yang paling populer belakangan di antaranya: Midsommar (Ari Aster, 2019), Candyman (Nia Dacosta, 2021), The Medium (Banjong Pisanthanakun, 2021) dan Perempuan Tanah Jahanam (Joko Anwar, 2019). Menariknya, film-film tersebut sekaligus contoh film-film folk horror yang melakukan otokritik pada genre ini.
Dalam Midsommar, Candyman, atau The Medium, misalnya. Masing-masing film itu menyimpan putaran plot yang mengkritik genre folk horror. Midsommar mengritik representasi desa yang identik gelap dan terbelakang dengan menyajika desa Harga yang terang benderang dan tetap mengerikan. Sementara, Candyman dan The Medium mengobrak-abrik konsep “desa sebagai tempat horor terjadi” dengan ujung film yang memenangkan “setan-setan gentayangan” di desa.
Di Candyman, pemenangnya adalah arwah Candyman dan semua luka generasi laki-laki kulit hitam yang jadi korban brutalitas polisi rasis di Cabrini Green. Sedangkan dalam The Medium, pemenangnya jelas hantu-hantu buruh (Red Shirts) yang gentayangan di desa Isan.
Perempuan Tanah Jahanam, meski tidak berhasil ke luar dari jeratan potret desa versus kota dan masih melanggengkan konsep “desa sebagai tempat seram, terbelakang, brutal, dan misterius”, masih lebih unggul dari KKN di Desa Penari dalam merepresentasikan karakter-karakter perempuannya.
Bahkan, tokoh-tokoh perempuan dalam naskah Joko Anwar itu bisa dibilang menjadi otokritik buat trope Final Girl, yang juga langgeng di film-film horor Indonesia.
Baca juga: Tiga Jam Uji Nyali di Gedung CC PKI (Bagian II)
Potret Perempuan-perempuan dalam Film KKN di Desa Penari
Trope Final Girl adalah sebutan untuk plot di film horor dengan karakter utama perempuan yang dijadikan survivor di ujung cerita. Biasanya, akan jadi orang paling terakhir melawan atau mengonfrontasi monster dan setan di film itu.
Istilah ini pertama kali dicetuskan Carol Clover di bukunya Men, Women, and Chainsaws keluaran 1992. Final Girl punya ciri-ciri serupa: Muda, pintar, dan diasosiasikan sebagai anak baik, yang biasanya digambarkan dengan tidak minum alkohol, tidak merokok, dan perawan.
Hadirnya Final Girl juga tak terlepas dari sejarah manusia membenci dan membatasi tubuh perempuan. Barbara Creed menulis dalam Monstrous Feminine, hampir di seluruh kebudayaan punya cerita atau folklore tentang monster atau setan yang punya bentuk perempuan. Mitos-mitos itu digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan. Supaya perempuan tidak ke luar batas dari peran-peran yang ditetapkan pada mereka.
Peran-peran yang harus dipatuhi itu, tentu saja, didirikan dari mitos-mitos patriarki yang sudah langgeng dalam banyak budaya.
Perempuan-perempuan dalam Perempuan Tanah Jahanam berusaha melanggar ciri-ciri Final Girl yang diatur nilai patriarki. Maya dan Dini, dua karakter utamanya, berani dan tegas. Tergambar dalam keputusan mereka mencari warisan ke kampung orang, atau adegan mengusir laki-laki di dari toilet saat mereka sedang santai merokok. Keduanya juga tidak dibingkai sebagai perempuan “pure” yang baik-baik, tidak merokok, tidak berbohong, dan polos, sebagaimana tipe-tipe Final Girl di era horor Hollywood sebelum 1990-an.
Di Indonesia sendiri, kesadaran pembuat film horor tentang otokritik pada Final Girl lewat genre horor memang belum kelihatan. Contoh selain Perempuan Tanah Janaham juga datang dari naskah Joko Anwar yang ditulisnya untuk film garapan sutradara Kimo Stamboel, Ratu Ilmu Hitam (2019).
Plot film itu membela hantu perempuan korban kekerasan seksual yang dilakukan pemilik panti asuhan.
Sementara dalam KKN di Desa Penari, yang hadir gamblang justru sebaliknya. Pesan-pesan tentang pembatasan pada perempuan hadir kuat sekali sejak awal film. Nur dan Widya, sebagai dua Final Girl, adalah representasi dari perempuan baik-baik. Setidaknya, itu terlihat dari pakaian mereka yang tidak digugat, seperti yang dialami Ayu.
Ayu, sebagai karakter perempuan yang berani, bersifat kepemimpinan, malah diberi ganjaran kematian setelah melakukan/mengajak Bima bersenggama. Hawa nafsunya dianggap sebagai tindakan tidak pantas dan perlu dihukum.
Lucunya, dalam satu dialog, Bima yang mengaku juga terjebak hawa nafsu justru berlindung di balik “khilaf”. Sehingga membebankan kesalahan pada Badarawuhi (jin dengan rupa perempuan) dan Ayu, yang menaksirnya.
Baca juga: ‘Our Father’: Cerita Korban Pemerkosaan Medis Cari Keadilan
Dua penggambaran perempuan dalam KKN di Desa Penari ini—protagonis alias perempuan baik yang digambarkan Nur dan Widya, serta antagonis alias perempuan jahat dan perlu dihukum seperti Ayu dan Badarawuhi—adalah potret domestifikasi perempuan yang sering muncul dalam film-film horor Orde Baru.
Anggit Pangastuti dalam Female Sexploitation in Indonesian Horror Films, menyebut representasi perempuan baik (good woman) dalam bingkai media di era itu adalah yang pasrah dan bergantung pada laki-laki. Sementara tokoh ‘setan-setan perempuan’-nya hadir sebagai konsekuensi jika melanggar sekat-sekat yang sudah dibikin buat mereka. Karakter-karakter yang diperankan Suzanna dalam rentang 1971-1990an biasanya dibangun dengan gagasan tersebut.
Nur dalam KKN di Desa Penari punya semangat yang sama. Ia tak sungkan membatasi moral-moral kawannya dan berlaku sebagai ‘yang memberi vonis’ atau ‘yang membuat keputusan’. Tapi, tak ada yang lebih mengingatkan pada hantu-hantu ala Orde Baru selain sepotong kalimat Nur pada Pak Prabu di ujung-ujung film.
“Kami yang minta maaf, Pak. Kami melanggar amanah, Bapak,” kata Nur, sambil salim.
Lantas apa makna di balik laris manisnya tiket KKN di Desa Penari? Jika ada yang menebak akan ada ledakan jumlah produksi film horor berplot serupa karena industri yang latah, saya tak akan kaget. Sebagaimana pembukaan panjang tulisan ini, film horor Indonesia memang punya sejarah latah mengikuti tren, tiap kali ada produksi yang angka penontonnya meroket.
Namun, pertanyaan sebetulnya bukan itu. Kesetiaan penonton Indonesia sudah teruji zaman dan rezim, mari beranjak dari sana. Saya lebih tertarik melihat bagaimana fenomena ini juga menjawab pertanyaan-pertanyaan ketimpangan di ranah produksi film yang masih belum terjawab. Misalnya, tentang honor figuran setan yang suting seharian, tapi cuma dibayar Rp75 ribu?
Maksudnya, apa yang manis dicicipi kursi produser kan belum tentu terasa sama dari bangku ekstra, atau kru lain.
Comments