Barangkali dalam alam pikir Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pernikahan adalah solusi bagi segala permasalahan. Dan juga sebaliknya, pernikahan yang ia cap tidak benar adalah sumber ketidakberesan di negara ini. Baru-baru ini, ia mengedepankan pernikahan sebagai salah satu faktor kemiskinan. Dalam sebuah webinar, ia mengatakan, "Ini sesama keluarga miskin, besanan kemudian lahirlah keluarga miskin baru, sehingga perlu ada pemotongan mata rantai keluarga miskin.”
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini memang gemar sekali punya ide “brilian” seputar pernikahan. Bila mau diingat, pada Februari lalu, ia mengusulkan fatwa terkait pernikahan antarkelas pada Menteri Agama Fachrul Razi. Menurutnya, perlu ada aturan yang mewajibkan orang kaya menikahi orang miskin untuk menekan timbulnya kemiskinan baru.
Pikiran yang dikemukakan oleh Muhadjir ini sesungguhnya memperlihatkan bahwa ia tidak memiliki kapasitas berpikir yang mumpuni untuk menganalisis masalah negara. Ia tidak melihat bahwa kemiskinan adalah masalah yang struktural. Kemiskinan hari ini mencerminkan kegagalan negara untuk mengelola kekayaan sumber daya alam kita serta menyeimbangkannya dengan sumber daya manusia yang dimiliki. Bukankah rumah tangga miskin yang disebut Muhadjir jumlahnya mencapai 20 persen rumah tangga Indonesia itu penyebabnya adalah karena tidak memiliki akses ekonomi?
Kita telusuri lagi konteks penyampaian pernyataan Muhadjir tersebut. Pernyataan tentang besanan rumah tangga miskin tadi dilontarkan dengan membawa latar belakang masalah kesehatan anak Indonesia, yakni stunting atau tumbuh kembang anak yang tidak optimal. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, angka stunting di Indonesia pada 2019 mencapai 27,67 persen, atau di bawah syarat Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mengharuskan turun di angka 20 persen.
Kondisi ekonomi rumah tangga memang bisa jadi salah satu penentu optimal atau tidaknya pemberian gizi pada anak untuk mencegah stunting. Kondisi stunting memang berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Ini yang digarisbawahi Muhadjir dengan pernyataan pendukung lainnya, "Itu menurut dokter. Saya lupa ya yang menyampaikan, tetapi beliau sangat pakar yang saya harus sangat percaya dengan beliau. Ketika orang stunting itu sudah tidak bisa dibenahi lagi kemampuan kecerdasannya," jelasnya.
Baca juga: Kesuksesan Bukan Cuma Soal Ikhtiar, Tapi Juga Latar Kelas Sosial
Saya memahami yang ia khawatirkan, bahwa kondisi stunting di Indonesia ini bisa memengaruhi kualitas angkatan kerja produktif nantinya. Sementara angkatan kerja produktif berkualitas juga menentukan keberhasilan ekonomi—kaya atau miskinnya—suatu negara.
Tapi, coba kita lihat lagi, bukankah ini adalah tugas pemerintah untuk mengatasi angka stunting? Ini warganya, loh. Masa harus disuruh cari cara sendiri? Sederhananya, balik lagi ke logika berpikirnya Muhadjir, kalau enggak berharap punya keturunan stunting, ya jangan jadi rumah tangga miskin. Caranya? Jangan nikahi orang dari rumah tangga miskin, juga. Ya, maka tibalah kita pada jalan buntu, Pak!
Stunting di Indonesia disebabkan oleh pola makan tidak sehat. Masih banyak orang tua di Indonesia yang—bahkan karena kondisi terpaksa—berpikir bahwa makan adalah semata-mata tentang mengisi perut anaknya. Sehingga, anak-anak belum tentu mengonsumsi makanan padat gizi. Ini adalah tugas pemerintah untuk membentuk kesadaran ini sampai ke tingkat bawah.
Jalan pintas mengaburkan fakta generasi mie instan
Tak hanya perkara akses pengetahuan kesehatan anak dan pengasuhan, masalah yang utama ya, kembali lagi pada masalah ekonomi rumah tangga. Pada 2019 lalu, Badan PBB untuk Dana Anak-anak (UNICEF) menyatakan bahwa rata-rata balita malnutrisi di tiga negara Asia, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina mencapai 40 persen. Hal ini terjadi lantaran diet yang tidak sehat seperti banyaknya konsumsi rutin mi instan—yang rendah nutrisi dan kaya lemak trans serta garam. Bahkan, negara kita—yang juga produsen mi instan populer di dunia internasional—adalah konsumen mi instan terbesar kedua setelah Cina.
Baca juga: Mengapa Anak dari Keluarga Miskin Cenderung Tetap Miskin Saat Dewasa: Riset
Berdasarkan data Asosiasi Mie Instan Dunia, 12,6 juta mie instan dikonsumsi di Indonesia pada 2018. Jumlah ini lebih banyak tipis dari akumulasi mi instan yang dikonsumsi oleh warga di dua negara—Jepang dan India. UNICEF menengarai hal ini terjadi karena harga mi instan murah untuk dijangkau rumah tangga miskin. Di samping itu, penyajian mi instan untuk asupan rutin juga karena alasan kepraktisan penyiapannya bagi orang tua yang dua-duanya sibuk bekerja.
Inilah yang sebenarnya kita hadapi. Bahwa banyak orang tua dari rumah tangga yang disebut miskin oleh Muhadjir harus bekerja dua-duanya—tentu bukan demi membuktikan bahwa logika berpikir Pak Menko salah. Apakah negara mengurusi ke mana perginya anak-anak ini saat orang tuanya bekerja atau minimal siapa yang mengurus mereka? Banyak, loh, ibu-ibu buruh yang sudah harus berangkat kerja pukul 5.30. Ya, waktu mereka memang terbatas untuk menyiapkan makanan. Dan mie instan sering kali jadi jawaban. Apakah negara memfasilitasi orang tua bekerja—agar angka kemiskinan negara ini turun—dengan tempat penitipan anak atau daycare yang memiliki nutrisionis sendiri untuk memberikan asupan sehat pada mereka, yang juga punya praktisi psikologi perkembangan untuk mengoptimalkan kecerdasan anak-anak ini agar mereka nantinya jadi angkatan kerja produktif yang berkualitas?
Bila pun tak ada, seharusnya negara setidaknya bisa menjamin keterjangkauan pangan sehat seperti protein hewani yang harganya memang tidak murah bagi seluruh rumah tangga. Kalau pun ada yang berkomentar, “Ya, beli saja tahu atau tempe, kan murah. Masa goreng gitu sebentar saja masih enggak punya waktu juga?” Halo, anak kita tidak bisa cuma makan tahu-tempe serta nasi dan kerupuk. Balita butuh lebih banyak protein hewani yang mengandung zat besi untuk pertumbuhan holistiknya. Balita kekurangan zat besi adalah salah satu masalah kesehatan kita juga.
Baca juga: Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Indonesia
Bimbingan perkawinan, negara mampu bayar?
Untuk mengatasi masalah kemiskinan yang disebabkan oleh pernikahan sesama kelas miskin, solusi yang dianggap sesuai oleh Muhadjir sendiri adalah bimbingan bagi para calon pengantin. Akan tetapi, bimbingan pranikah yang dianggap ideal—mencakup materi mengelola hubungan, kesetaraan, kesalingan, manajemen keuangan, kesehatan reproduksi, serta menyiapkan generasi berkualitas terkendala anggaran negara dalam melakukan pemerataan pelatihan para fasilitator.
Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Muhammad Adib Machrus, menyebutkan bahwa hingga akhir 2019, jumlah fasilitator yang telah lulus bimbingan teknis hanya sekitar 2.000 orang. Sementara, jumlah Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia mencapai 6.000 kantor. Inilah yang menyebabkan masih banyak yang belum bisa menikmati bimbingan perkawinan yang ideal, sebab masih banyak KUA yang masih mengandalkan Kursus Calon Pengantin berupa ceramah seputar materi fikih pernikahan oleh penghulu—yang banyak dinilai misoginis.
Nah, negara saja masih kekurangan duit untuk pemerataan pelatihan pernikahan dan pengasuhan yang ideal; menyediakan lapangan pekerjaan, serta memungkinkan keterjangkauan pangan sehat untuk seluruh rumah tangga dan pendidikan apik untuk semua anaknya. Kok, terus-terusan menuntut warganya bebas dari kemiskinan. Sudah begitu, menyalahkan jodoh lagi. Jodoh kan bukan Pak Menko yang mengatur. Nasib kita juga bukan di tangan jodoh semata.
Heran, kenapa bisa Pak Menko berhasrat mengaburkan kegagalan pemerintah dalam mengelola aset serta mendistribusikannya secara merata ke seluruh warganya ke dalam simplifikasi yang lebih mikro, yakni kalau kamu miskin, ya itu karena keluarga yang melahirkanmu miskin. Berikutnya, kamu jadi tetap miskin, karena jodohmu juga dari keluarga miskin.
Comments