Tiga tahun lalu, saat Disney mengumumkan akan membawa The Little Mermaid jadi live action dan memilih Halle Bailey jadi pemeran Ariel, internet geger. Tagar #NotMyAriel muncul dari orang-orang rasis yang mempermasalahkan warna kulit Bailey, dengan alasan Ariel asli (berdasarkan versi 1975) bukan orang kulit hitam dan keputusan Disney itu mencemari logika kartun aslinya.
Mereka yang membawa-bawa logika ini lupa kalau Ariel adalah putri duyung, makhluk fantasi.
Kisah The Little Mermaid sendiri diadaptasi dari karya pendongeng asal Denmark, Hans Anderson, yang menulis Ariel sebagai metafora kisah cinta tak sampainya pada seorang lelaki. Jika merunut “logika” para rasis ini, bukankah harusnya Ariel diganti jadi pria homoseksual dari Denmark?
Kericuhan serupa muncul lagi setelah Disney merilis teaser pertama film tersebut. Di dalamnya ada penampakan Bailey sebagai Ariel untuk pertama kali. Di Tiktok, sejumlah rasis kembali mengeluarkan argumen serupa. Menurut mereka, Bailey merusak imajinasi masa kecil mereka, dan tidak cocok memerankan Ariel yang dikenal sebagai putri duyung kulit putih dengan rambut merah terang.
“Hancur aja imajinasi gue sebagai anak perempuan yang dari dulu nonton, tiba-tiba live action-nya dibikin, diubah sedemikian rupa cuma gara-gara diversity. Bukan gue enggak setuju sama diversity, tapi menurut gue a bit too much aja, akhir-akhir ini segala sesuatu tuh dibikin terlalu berlebihan karena lo mau nunjukin semuanya tuh sama, semuanya oke. Berlebihan. Kayak jatuhnya, maksa,” kata akun @nthstphns97, yang sebelumnya mengunggah video dirinya tantrum menonton trailer The Little Mermaid dengan caption: “imajinasi masa kecil gue hancur lebur seketika.”
Baca juga: Putri Duyung Disney Berkulit Hitam, Kenapa Tidak?
Komen serupa juga sempat ramai di Twitter. “No matter how hard I explain, people that don’t get it, simply wont,” kata seorang bernama Kezia.
Jossie Marcelli Risaputra, salah satu pengguna Tiktok bahkan dirujak netizen karena videonya mengolok-olok trailer The Little Mermaid dan melakukan blackface. Ia memutar video reaksi menonton trailer The Little Mermaid, sambil memakai masker (face sheet) hitam dan memutar backsound reaksi anak perempuan kulit hitam yang gembira melihat Ariel diperankan Halle Bailey. Akun itu lalu menonaktifkan diri karena backlash yang diterima.
Yang terakhir ini memang parah sekali dan betul-betul tidak sensitif. Blackface sendiri punya sejarah panjang di Amerika Serikat. Praktik ini dulu dipakai orang-orang teater untuk merias aktor mereka (yang biasanya orang kulit putih) agar bisa memerankan orang kulit hitam. Ia berangkat dari sejarah kelam politik segregasi AS yang rasis dan menindas orang-orang kulit hitam.
Praktik ini meninggalkan luka besar buat orang kulit hitam dan generasi Afrika-Amerika, yang kini sudah jadi kesadaran global. Terutama semenjak rasisme pada orang kulit gelap (colorism) masuk jadi diskursus arus utama di media dan budaya populer.
Buat orang-orang macam Kezia, Jossie, dan rasis sejenisnya berikut pelajaran yang perlu kalian pahami:
Argumen “Diversity yang Dipaksakan” Kalian Terlalu Dangkal
Alasan “diversity yang terasa maksa” seperti disampaikan akun @nthstphns97 di Tiktok, adalah argumen yang sering kali muncul dari para penggemar serupa. Aja Romano, jurnalis Vox menulis, “Argumen begini sangat keras muncul dari kalangan politisi sayap kanan dan influencers konservatif.”
Mereka menyebut alasan diversity yang disampaikan Disney (ataupun rumah produksi besar lainnya) sebagai bagian dari “woke agenda”, atau agenda orang-orang yang sering memperjuangkan keadilan sosial. Lalu, membingkai alasan tersebut sebagai sesuatu yang buruk.
Daripada merasa keberagaman itu penting, orang-orang begini menganggap representasi di layar lebar cuma mengganggu “imajinasi masa kecil”. Alasan ini juga bermasalah, karena abai pada kenyataan bahwa layar tontonan kita dan produksi media populer masih berpusat pada satu kelompok saja: laki-laki, kulit putih (kaukasia), dan kelas berada.
Dominasi itu sejalan dengan dunia yang memang dikuasai kelompok tersebut selepas kolonialisme. Untuk waktu yang lama, film-film produksi Hollywood misalnya, lebih berkuasa di negara-negara “dunia ketiga” seperti Indonesia. Jumlah tayangnya lebih luas dari film produksi dalam negeri sendiri. Mereka bahkan sering dapat kesempatan tayang di stasiun TV nasional, di jam-jam prime time.
Biasanya, distributor TV dan bioskop akan pakai alasan “produksi dalam negeri masih sedikit dan jelek” untuk membenarkan pilihan mereka. Namun, untuk mendorong jumlah produksi lebih banyak dan memperbaiki kualitas, mereka biasanya akan berdalih tak punya banyak modal. Sehingga pilihan untuk menayangkan film-film Hollywood jadi keputusan utama, karena lebih mudah, murah, dan semacam ada jaminan sudah pasti ada yang nonton.
Lantas, kenapa Hollywood (Disney dan perusahaan produksi besar lainnya) harus membiasakan diversity ke film-film buatannya? Karena, sebagai ekonomi terbesar di dunia industri film, mereka yang paling bertanggung jawab pada tontonan kita. Banyak penelitian telah menjelaskan bagaimana dan apa yang kita konsumsi di media, memengaruhi keputusan-keputusan politis di dunia nyata.
Data di tahun 2017 saja, menyebut dari 900 film yang diproduksi Hollywood dari 2006-2017, aktor kulit putih menguasai layar sampai 70,7 persen. Dalam sisa yang cuma 29,3 persen, kelompok tak terwakili lainnya seperti orang kulit hitam, Latin, Asia, dan disabilitas harus berbagi.
Data yang berjudul Inequality in 900 Films : Examining Portrayals of Gender, Race/Ethnicity, LGBT, and Disability from 2007-2016 itu, menyebut aktor-aktor minoritas bahkan seringnya tidak punya dialog.
Angka representasi itu yang coba terus didorong lebih banyak, agar lebih banyak pula penonton yang merasa terwakilkan di layar TV.
Rasisme Diciptakan Orang Kulit Putih, Dilanggengkan Kelas Menengah “Ngehe”
Di Amerika sendiri, argumen “forced diversity” atau “keberagaman yang dipaksakan” itu memang muncul dari kebanyakan orang-orang kulit putih.
Jurnalis dan ahli drama Amanda-Rae Presscot punya jawabannya. Ia telah meneliti dan mencatat ada pola copy-paste (menyadur) komentar yang dilakukan para fans rasis ini di internet. “Orang-orang yang marah tentang ratu kulit hitam dan bangsawan Asia Selatan di Bridgerton (Netflix) adalah orang yang sama yang marah-marah tentang peri, penyihir, dan duyung yang diperankan orang kulit berwarna,” kata Presscot pada Romano di Vox.
“Forced diversity” jadi yang paling sering muncul, dan tujuannya untuk mengalihkan percakapan dari isu sebenarnya: rasisme.
Lantas kenapa argumen yang sama muncul juga dari para indons—alias beberapa contoh di atas? Alasan utamanya adalah peninggalan kolonialisme. Cacat pikir orang kulit putih tentang segregasi berdasarkan warna kulit itu tertinggal di setiap tanah yang pernah mereka jejaki. Itu sebabnya, politik representasi jadi penting. Terutama buat seluruh negeri yang punya sejarah merepresi orang-orang berkulit gelap.
Ini bukan cuma masalah orang Amerika Serikat, kolonisasi orang kulit putih terjadi di mana-mana. Indonesia pernah juga jadi lahan basah langganan jajahan bangsa Kaukasia, dari Spanyol, Inggris, sampai Belanda.
Jadi, seperti kata Romano di artikelnya, argumen tentang “forced diversity” ini amat dangkal karena datang dari ketidaktahuan sejarah penindasan pada kelompok minoritas. Terutama karena kebanyakan para rasis tidak sadar kalau yang dilakukannya adalah hal politis dan membahayakan.
Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris
Fenomena para fans Disney yang menyerang trailer The Little Mermaid dengan argumen rasis sebetulnya agak mirip dengan fenomena Karen—sebutan untuk perempuan dewasa, kelas berada, kulit putih, bias kelas dan rasis, yang suka bilang “saya ingin bicara pada manajer kamu” tiap merasa ada yang ingin diprotes.
Orang-orang mulai memanggil semua perempuan yang punya deskripsi di atas sebagai Karen, sebagai respon atas fenomena Missing White Woman Syndrome. Istilah itu dicetuskan pembawa berita kulit hitam Gwen Ifill, untuk mendeskripsikan kekhawatiran berlebihan media ketika perempuan kulit putih hilang atau mendapat serangan tindak kriminal, jika dibandingkan dengan perempuan kulit berwarna atau hitam (ras lain).
Para haters The Little Mermaid versi Halle Bailey juga punya kesamaan profil: mereka datang dari kelas berada, privilese pendidikan, lengkap dengan bias kelas dan ketidaksensitifannya pada isu ras dan gender yang terjajah; Biasanya juga tinggal di kota-kota besar.
Apakah kita akan memanggil orang-orang rasis dan bias kelas ini Kezia atau Jossie atau Natalia ke depannya?
Isu yang Lebih Penting Dikritisi: Sampai Mana “Representation Matters” Telah Berhasil?
Sebetulnya, ketimbang mengkritisi diversity yang mulai berjalan di Hollywood, energi kita bisa dipakai untuk menyoroti tingkah problematik lainnya Disney dan perusahaan raksasa serupa. Dalam upaya mereka memberikan tontonan beragam, perusahaan-perusahaan ini sering kali menjual slogan “representation matters” dalam film-film yang mereka produksi.
Baca juga: Janji Surga Lewat Poligami dalam ‘Keep Sweet: Pray and Obey’
Upaya itu diwujudkan dalam bentuk meng-casting aktor-aktor kulit hitam dan berwarna (BIPOC) jadi karakter utama. Seperti yang dilakukan Disney dalam The Little Mermaid. Namun, yang tak banyak orang sadar, alih-alih memproduksi cerita baru yang memang ditulis, diproduksi, dan mempekerjakan orang-orang minoritas, Disney lebih sering melakukan reboot atau remake.
Memproduksi ulang film-film lama mereka adalah strategi bisnis yang baik, karena mereka bida mengeksploitasi intelectual property (IP) sendiri sehingga lebih hemat, sekaligus lebih menguntungkan. Ketimbang membuat cerita-cerita baru yang lebih beragam dan memang dibikin oleh para kreator minoritas.
Gagasan “representation matters” juga sebetulnya bermasalah, karena tetap melakukan penyaringan dalam prosesnya. Orang-orang minoritas yang dipilih jadi pemeran utama, misalnya, cuma dipilih untuk menggenapi kuota keberagaman yang telah ditentukan. Cerita-cerita yang diproduksi juga sering kali masih memakai white gaze sebagai minoritas, sehingga penggambaran orang-orang minoritas tetap jadi yang dipinggirkan, dianiaya, atau menderita. Jika bermimpi pun, keinginan mereka sering kali masih mirip-mirip karakter-karakter kulit putih di film-film kulit putih yang sudah pernah dibikin.
Representation matters juga menciptakan ilusi “yang boleh tampil” di media. Maksudnya, karena slot atau pun ruang yang sebetulnya tetap terbatas, orang-orang minoritas harus bersaing dengan sesamanya untuk mendapat pengakuan dari industri (yang pembuat keputusan/kebijakannya) masih dikuasai orang-orang kulit putih.
Comments