Women Lead Pendidikan Seks
July 13, 2021

Heboh Victoria’s Secret dan Inklusivitas yang Dikapitalisasi

Perdebatan tentang wajah baru Victoria’s Secret mengetengahkan isu body positivity, tetapi upaya inklusif perusahaan ini tidak bisa lepas dari urusan bisnis semata.

by Tabayyun Pasinringi, Reporter
Lifestyle // Health and Beauty
Share:

Belakangan, linimasa kita panas karena model dan influencer Michelle Halim mengkritik wajah-wajah baru yang merepresentasikan merek pakaian dalam perempuan, Victoria’s Secret di akun media sosialnya. Ia menyebutkan model berbadan plus-size tidak cocok untuk tampil sepanggung dengan bidadari Victoria’s Secret yang ramping. Selain itu, dalam unggahannya ia menuliskan, memiliki tubuh gemuk adalah wujud kemalasan seseorang menjadi langsing dan cantik. 

Tidak hanya tentang model Victoria’s Secret, Michelle juga mengkritik aktris kulit hitam Jordan Alexander dalam serial Gossip Girl Reboot sebagai ‘burik’ dan tidak pantas menjadi penerus Serena van der Woodsen (Blake Lively) serta Blair Waldorf (Leighton Meester), yang berkulit putih.

Pendapat dari Michelle tersebut dibalas dengan amarah warganet karena melanggengkan standar kecantikan eurosentris hasil manifestasi rasisme dan kolonialisme, menunjukkan fatphobia, dan mengkerdilkan gerakan body positivity. Michelle juga disebut tidak mendukung representasi keragaman perempuan dan memperpanjang hidup standar kecantikan mencekik yang menyebabkan berbagai masalah citra tubuh pada perempuan. 

Di era gencarnya keinginan untuk kesetaraan, aktivisme sosial, serta representasi dan inklusivitas menjadi hal yang terus didorong. Victoria’s Secret pun juga mengikuti arus gerakan sosial tersebut. 

Baca juga: Kritik Polusi Visual, Seluk Beluk ‘Body Positivity’ dan ‘Body Neutrality’

Setelah puluhan tahun mendefinisikan kecantikan perempuan dengan bidadari langsing, seperti boneka barbie, Victoria’s Secret banting setir dan menggaet atlet, aktivis, hingga model ukuran plus-size sebagai wajah barunya. Nama-nama seperti, Megan Rapione, aktivis LGBTQ+ dan atlet sepak bola, model plus-size Paloma Elsesser, Valentina Sampaio, aktris dan model transpuan dari Brasil, dan aktris India, Priyanka Chopra Jonas yang akan merepresentasikan citra baru Victoria’s Secret.

Di satu sisi, gerakan Victoria’s Secret menjadi lebih inklusif untuk merepresentasikan keragaman perempuan, dinilai positif karena menggeser standar kuno tentang tubuh dan kecantikan perempuan yang Victoria’s Secret sendiri ikut kukuhkan. Namun, upaya tersebut juga tidak bisa lepas dari kepentingan menyasar generasi muda yang melek isu sosial

Inklusif untuk Bisnis 

Victoria’s Secret bukan satu-satunya merek fesyen yang mencoba menjadi lebih inklusif. Ada Nike dengan Halima Aden sebagai model berhijab pertamanya hingga Gucci, Prada, dan Zara dengan pakaian gender fluid serta unisex. Pergerakan sosial yang dilakukan merek fesyen biasanya dimulai ketika masyarakat memberikan kritik atas produknya yang minim representasi atau mengokohkan standar citra tubuh usang. Misalnya, H&M yang memberikan variasi ukuran pakaian setelah menerima kritikan. 

Pergeseran merek-merek besar untuk menjadi inklusif tersebut semakin didorong ketika penyanyi Rihanna merilis produk kosmetik Fenty Beauty dan Savage X Fenty untuk pakaian dalam perempuan pada 2017 lalu. Status Rihanna sebagai mega bintang dunia bukan satu-satunya hal yang membuat produknya digemari masyarakat global. Namun, karena sejak awal bersifat inklusif dan ingin merepresentasikan keragaman perempuan tanpa pandang bulu, itu disambut dengan animo positif.

Melissa Hibbert, konsultan merek kecantikan mengatakan, selama ini Victoria’s Secret memiliki satu wajah dan terlibat banyak kontroversi. Maka dari itu, untuk terus bertahan Victoria’s Secret harus mengubah citranya. Namun, tidak hanya memberikan ‘satu wajah’ saja, tetapi beragam wajah yang merepresentasikan dunia. Jika tidak mengikuti itu, maka akan siap-siap untuk ditinggalkan, ujarnya dikutip dari NBC News.

Sebelum melakukan perubahan citra, Victoria’s Secret sempat mengalami hambatan, seperti peragaan busana tahunan oleh bidadari-bidadari supermodel yang terus mengalami penurunan rating dan sekarang diberhentikan secara permanen. Selain itu, tingkat penjualan ikut menurun karena strategi pemasaran dengan peragaan busana tidak merepresentasikan perempuan secara utuh.

Dilansir dari Market Watch, saham Victoria Secret turun pada 2018 menjadi 24 persen yang sebelumnya 31,7 persen pada 2013 karena tidak lagi diminati perempuan muda. Mengutip Vox, pasar modern juga lebih memilih barang yang memberikan rasa nyaman dan ukuran yang beragam, sementara itu Victoria’s Secret tidak lepas dari citra mengobjektifikasi seksual perempuan yang tidak selaras dengan keinginan konsumen masa sekarang.

Pasar modern lebih menghargai keragaman warna kulit dan tipe tubuh yang dimiliki perempuan. Maka dari itu, pencitraan baru yang mengikuti arus pergerakan sosial sekadar menjadi cara Victoria’s Secret tetap relevan, masyarakat terus mengonsumsi, dan perusahaan kembali menjual produk dengan lebih banyak.

Baca juga: Feminisme dan Budaya Pop: Jangan Hanya Mengganti Saluran

Transfobia dan Pelecehan Seksual di Victoria’s Secret

Victoria Secret tidak mendadak menjadi ‘baik’ kepada perempuan. Secara historis, sosok-sosok laki-laki di balik lahirnya merek tersebut juga problematis. Ed Razek, mantan Chief Marketing Officer untuk L Brands, perusahaan yang membawahi Victoria’s Secret memiliki beberapa tuduhan pelecehan seksual, seperti meminta para model untuk duduk dipangkuannya, merendahkan perempuan dengan komentar misoginis, memaksa untuk mencium, hingga meraba-raba tubuh dengan tidak senonoh. 

Merujuk pada pemberitaan The New York Times, beberapa model melaporkan pelecehan tersebut kepada Leslie Wexner, pendiri L Brands, tetapi tidak mendapatkan dukungan yang diinginkan. Bahkan, dalam kasus yang dialami model Andi Muise, ia diberhentikan menjadi model untuk peragaan busana karena menolak aksi tidak senonoh Razek. Casey Crowe Taylor, mantan Public Relation di Victoria’s Secret juga mengatakan, perilaku kejam yang dilakukan Razek dianggap normal bahkan sebagai bahan bercandaan, dan mereka yang mencoba melawan akan dihukum. 

Baca juga: Stop Pandang Kulit Putih Lebih Superior

Razek juga memberi pendapat yang merendahkan transpuan dengan mengatakan, mereka tidak dapat menjual ‘fantasi’ khas yang hanya bisa diberikan oleh Victoria’s Secret. Setelah dikritik habis-habisan di media sosial atas perkataannya tersebut, Razek kemudian meminta maaf lewat akun twitter Victoria’s Secret dan dengan tangan terbuka menerima model transpuan.

Tidak hanya Razek, Wexner juga terus menjadi sorotan karena memiliki relasi yang sangat erat dengan pengusaha dan miliarder, Jeffrey Epstein yang juga pelaku kekerasan seksual dengan mayoritas korban di bawah umur. Mengutip dari The Atlantic, Epstein menggunakan koneksinya dengan Victoria’s Secret untuk melakukan aksi kekerasan seksual. Maria Farmer, mantan pekerja di mansion milik Epstein di New York mengatakan, banyak perempuan muda hingga anak sekolah yang selalu datang untuk ‘audisi’ menjadi model produk pakaian dalam.   

Feminis telah lama mengkritik Victoria’s Secret karena dibuat oleh laki-laki untuk memuaskan fantasi laki-laki. Beatriz Valero de Urquia, jurnalis dari Bitch Media juga mengatakan, upaya untuk inklusif Victoria’s Secret juga masih belum maksimal karena hanya ukuran ‘besar’ tertentu yang diterima oleh merek tersebut.

Selain itu, imbuhnya, Victoria’s Secret juga telah terlalu lama menanamkan standar kecantikan buruk dan menunjukkan cara untuk menjadi cantik adalah dengan berhenti makan yang tentunya berdampak pada kesehatan mental perempuan

Meskipun saat ini mencoba untuk merangkul semua perempuan, usaha ‘revolusioner’ Victoria’s Secret dinilai terlambat. Perubahan dan aktivisme menjadi performatif dan tidak bisa menjamin eksploitasi terhadap perempuan, pekerja, maupun alam ikut berkurang.

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.