Women Lead Pendidikan Seks
June 24, 2020

Hiperseksual sebagai Dalih Pamungkas Poligami

Hanya di Indonesia hiperseksual atau hiperseks dijadikan dalih oleh suami yang ingin berpoligami, dan dikabulkan oleh pengadilan agama.

by Jafar Suryomenggolo
Issues // Politics and Society
Kekerasan_Poligami_KDRT_Selingkuh_KDP_SarahArifin
Share:

Dua poster soal kampanye poligami beredar luas di media sosial.  Yang pertama adalah “Kelas Poligami” di Bekasi yang akan diselenggarakan 28 Juni 2020, dan yang kedua “Workshop Sukses Poligami” yang akan dilangsungkan 5 Juli 2020. Keduanya menghadirkan Hafidin, seorang pria asal Serang yang mengaku telah 20 tahun menikah, memiliki empat istri dan 24 anak. Ia mengklaim “mudah mengamalkan syari’at poligami” dengan cara “istri tidak menolak dipoligami”.

Tentu saja ini bermasalah dan seharusnya dilarang.

Persoalan poligami telah banyak diulas. Penulis Pratiwi Juliani dalam artikelnya di Magdalene menilai poligami adalah budaya yang menunggangi agama. Terutama di masyarakat yang masih terbelenggu dalam sistem patriarkal, perempuan dan anak yang justru akan menjadi korban.

Sayangnya, Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (masih!) membolehkan poligami. Hampir 80 persen permohonan poligami dikabulkan oleh Pengadilan Agama. Syarat-syarat yang ditetapkan sebetulnya tidak mudah, salah satunya adalah adanya persetujuan dari istri (atau istri-istri).

Izin poligami tersebut wajib diajukan ke Pengadilan Agama setempat. Di Pengadilan Agama, syarat persetujuan tersebut diwujudkan menjadi syarat administratif berupa “surat pernyataan tidak keberatan dimadu” dari istri pertama dan dari calon istri.

Di beberapa Pengadilan Agama, istri pertama diminta hadir dalam sidang izin poligami. Harapannya, hakim dapat menimbang dan menilai langsung apakah benar persetujuan dari istri pertama tersebut.

Agar permohonannya dikabulkan, suami mesti mengajukan dalil bahwa poligami adalah keharusan baginya. Salah satu alasan yang sering dipakai adalah bahwa suami mengaku hiperseksual atau “hiperseks” dan istri tidak mampu lagi melayani kebutuhannya. Di sinilah, dalil tersebut berubah menjadi dalih.

Baca juga: Isu Besar Bagi Muslim: Pernikahan Nabi Muhammad-Aisyah dan Poligami

Dari data yang saya himpun berdasarkan putusan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia selama 2010-2019, dalil bahwa suami adalah seorang hiperseks cukup mencolok, terutama di Pengadilan Agama di Jawa dan Sumatra.

Dalil suami hiperseks ini dipergunakan oleh para laki-laki tanpa pandang usia. Contohnya, dalam satu kasus di Pasuruan, Jawa Timur, pada 2015, suami berusia 57 tahun mengaku sebagai hiperseks. Istri pertamanya berusia 37 tahun, dan mereka telah menikah selama 10 tahun dan memiliki 2 orang anak.

Alasan ini juga dipergunakan oleh suami tanpa pandang usia perkawinan, baik yang baru maupun telah lama menikah. Ada suami berusia 25 tahun di Bengkulu pada 2016 yang mengaku hiperseks ketika hendak memperistri lagi seorang perempuan berusia 24 tahun. Padahal istri pertama berusia 23 tahun, dan mereka baru menikah selama setahun dan memiliki satu orang anak.

Dalam kasus lain di Mojokerto, Jawa Timur, pada 2014, sepasang suami-istri telah menikah selama hampir 33 tahun dan memiliki tiga orang anak yang sudah dewasa. Suami berusia 51 tahun dan calon istri keduanya berusia 34 tahun, sepantar dengan anak pertamanya. Perkawinan panjang ternyata bukan jaminan seorang suami makin mengerti kondisi istri.

Kasus-kasus izin poligami dengan mempergunakan dalil suami hiperseks ini ternyata lebih mudah dikabulkan. Alasan hiperseksualitas dianggap bukan suatu keanehan, malah telah menjadi dalih pamungkas dalam mengajukan izin poligami agar lolos dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama, di seluruh Indonesia.

Pembenaran oleh istri pertama

Sulitnya, dalih suami hiperseks ini dibenarkan oleh istri pertama. Semua izin poligami yang menghadirkan istri pertama di Pengadilan Agama membenarkan dalil tersebut.

Dalam satu kasus di Ciamis, Jawa Barat, pada 2017, istri pertama mengatakan, “Termohon (istri pertama) telah menyetujui Pemohon (suami) untuk berpoligami, karena Pemohon hypersex sehingga Termohon tidak dapat memuaskan kebutuhan biologis Pemohon dan Termohon lah yang menganjurkan kepada Pemohon agar berpoligami.”

Baca juga: Kenapa Poligami Pejabat Publik Patut Digugat

Dalam kasus lain di Pasuruan pada 2015, istri pertama mengakui bahwa “Termohon (istri pertama) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri karena Termohon sering kecapaian bekerja dan harus mengurus rumah tangga serta anak-anak, akibatnya Termohon sering menolak saat diajak hubungan intim layaknya suami istri.”

Kalimat serupa dapat juga ditemukan di banyak kasus yang lain di daerah lain. Seakan-akan hal ini sudah menjadi kelaziman bagi para istri pertama untuk menerima dan membenarkan dalil tersebut dengan menyalahkan dirinya sendiri. 

Anehnya pula, hampir di semua kasus yang ada sepanjang 2010-2019, calon istri kedua mengakui telah mengetahui bahwa calon suaminya adalah seorang hiperseks. Mereka juga menyatakan bahwa mereka dapat menerimanya.

Pembenaran oleh istri pertama (dan yang dilanjutkan oleh calon istri kedua) menandakan bahwa sang istri tidak memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri. Suami malah memperlakukan tubuh istri seperti robot pemuas nafsu syahwatnya, dan sama sekali tidak memedulikan keinginan istri alih-alih mengakui tubuh istri adalah milik istri.

“Hiperseks” sebagai konstruksi sosial

UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak mengakui suami “hiperseks” sebagai salah satu alasan untuk mengabulkan permohonan izin poligami. Anehnya, di hampir semua dokumen putusan Pengadilan Agama atas izin poligami ada tertera kalimat berikut: “Oleh karenanya Pemohon (yaitu suami) sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama apabila pemohon tidak melakukan poligami”. Seakan-akan Pengadilan Agama di berbagai daerah di seluruh Indonesia punya semacam juklak untuk menyusun kalimat yang sama dan sebangun tersebut. 

Baca juga: Menghadiri Diskusi Tentang Poligami dan Inilah yang Saya Pelajari

Kalimat itu menandakan bahwa dalil suami “hiperseks” telah sering dipergunakan secara meluas selama 10 tahun terakhir ini. Dan ia menjadi sedemikian rupa tersusun rapi sebagai alasan yang terlihat “masuk akal” hingga akhirnya diterima oleh hakim Pengadilan Agama sebagai kebenaran yang alamiah. 

Lebih parah lagi, dalam satu kasus di Pengadilan Agama Purwodadi, Jawa Tengah, pada 2014, majelis hakim (yang semuanya pria!) menyatakan bahwa “hiperseks” adalah “alasan alternatif” untuk mengabulkan permohonan izin poligami.

Seorang kader perempuan dari sebuah partai yang mengaku mengusung nilai-nilai Islam bahkan membenarkan hiperseks sebagai “kondisi alamiah”. Baginya, seorang suami hiperseks tidak akan cukup memiliki seorang istri, sehingga poligami adalah keharusan alami.  

Padahal hiperseksual adalah konstruksi sosial yang dipergunakan untuk merujuk kejantanan laki-laki, bahwa nafsu syahwat pria dianggap lebih kuat daripada perempuan. Ia juga dipergunakan untuk membenarkan pria berhak “jajan” di luar. Ini adalah ciri khas masyarakat patriarkal.

Hanya di Indonesia dalil suami hiperseks dipergunakan untuk membenarkan poligami. Negara lain tidak ada yang menjustifikasinya. Istri yang membenarkan poligami adalah bukti ketertindasan perempuan dalam sistem patriarkal. Dalil suami hiperseks adalah dalih pembenaran poligami yang mencederai akal sehat kita semua, dan karenanya harus ditolak.

Kami tidak tahu apa yang menjadi dalil Bung Hafidin pada saat dirinya meminta izin poligami di Pengadilan Agama (tiga kali!). Apa pun alasannya, seharusnya ia malu telah menganjurkan dan mengomersialkan poligami.

Jafar Suryomenggolo bermukim di Paris (Perancis). Ia adalah penerima LITRI Translation Grant 2018 atas terjemahan beberapa cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019).